005

header ads

CERPEN: Pindah Tempat | Karya : Bagus Sulistio

Mereka bagai kembali lagi ke dalam penjajahan. Ada yang bertelanjang dada lalu menyelami sungai buatan. Sembari membawa penyaring bundar yang digoyangkan. Berharap ada secuil logam berharga yang tersangkut di benda itu. Lalu sebagian dari perkumpulan ini ada yang hanya berdiri santai mengamati. Tanpa merasa kasihan kepada yang lain.
Parno, salah satu dari mereka yang bertelanjang dada menghentikan pergerakannya. Dengan kening yang dikerutkan sambil memegang dadanya yang polos. Nafasnya tersengal-sengal dan semakin tak beraturan. Tentu saja itu mengundang perhatian teman-temannya. Bahkan kelompok yang hanya mengamati.
"Hay pak tua, kenapa kau ini? Tak usah berpura-pura lah." Ucap salah satu dari mereka yang tugasnya mengawasi.
Bukannya menjawab, Parno malah berjalan menuju tepian perairan dengan kaki yang terseret-seret. Tanah yang kering menjadi alasnya untuk berbaring. Teman-temannya ikut menghampiri. Menanyakan keadaannya bahkan sampai ada yang menawarkan bantuan. Tapi Parno menolaknya.
Juan, pemimpin kelompok yang tugasnya bersantai ikut menghampiri kerumunan. Ia menyingkirkan badan-badan basah yang menghalangi tujuannya. Terkadang badan basah itu menjauh dengan sendirinya. Karena sangat segan dengan orang itu.
Sesampainya di samping tubuh Parno yang tergeletak ia hanya memandangi dan berkata, "Kau pulang saja jika tak sanggup bekerja lagi dan jangan kembali lagi. Yang lain kembali bekerja."
Seketika kerumunan itu hilang bak ditelan bumi. Kini tinggal Parno dan Juan yang masih ditempat yang sama. Tetapi tak lama kemudian Juan kembali di kursi nyaman nan teduh tuk melihat teman-teman Parno. Sedangkan Parno kembali ke kolam yang keruh, yang ia sanding setiap hari.
Matahari kian meninggi. Air keringat para pekerja tercampur baur dengan air kolam itu. Mungkin jika dikecap, air kolam akan berasa asin seperti perjuangan mereka. Tapi tidak dengan air di sekitar Parjo. Rasanya cenderung pahit ditambah oleh sesaknya nafas yang ia punya. Terhentinya nafas bisa berbarengan dengan terhentinya pekerjaannya. Dia tak dapat menyamai dengan pekerja lain yang cekatan. Pergerakannya kini semakin lemah. Selemah nafasnya. Matanya juga lemah tak dapat terbuka dengan lebar. Kini malah semakin menutup, menutup dan rapat.
***
Ranjang yang diatasnya terdapat kasur lantai menjadi tempatnya sekarang. Parjo masih bingung kenapa dia bisa pindah ke tempat senyaman ini. Siapa yang memindah tubuh kerempeng Parjo? Matanya menjelajahi sekitar. Memastikan dimana lingkungan saat ini ia jajaki. Ternyata benar, ini kamar yang penuh kisah romantis dengan kekasihnya. Tapi kemana istrinya? Kenapa ia hanya ditemani dengan segelas teh. Yang belum tahu suhu teh itu. Dipegangnya gelas bergagang itu. Teh tak terasa panas, cuma hangat. Diminumnya teh hangat itu bagai unta yang telah berjalan ratusan kilometer. Belum tuntas minuman itu sebuah suara menghentikan pergerakannya.
"Udah sadar pak?" Wanita paruh baya menghampiri Parjo.
Paijo hanya melirik wanita tersebut sembari meletakkan gelas yang menyisakan sedikit air teh. Kemudian terdiam memandangi wajah seorang yang berada di sampingnya itu.
"Kata mantri, Bapak harus istirahat dulu. Nda usah kerja. Nih makan dulu nanti minum obatnya." Kata istrinya sambil menyodorkan sepiring nasi dengan tempe goreng yang menghiasi.
"Kalo bapak gak kerja nanti kita makan apa toh, Bu?" Tangannya yang keriput menggapai piring yang disodorkan istrinya.
Pertanyaan Parjo tak dapat dijawab oleh istrinya. Ia hanya menghela kemudian pergi meninggalkan suaminya yang ditemani oleh nasi. Walaupun sedang sakit nafsu makan Parjo tetap ada. Dengan waktu yang singkat makanan sederhana itu habis tuntas. Disambung dengan teh yang masih tersisa sedikit, ia turut habiskan. Kini tinggal tiga jenis obat yang berada di atas meja yang menemani. Parjo menggapainya dan membuka satu persatu bungkus obat itu.
"Ini air putihnya buat minum obat, Pak." Istrinya menghampiri kembali membawa cangkir besar.
Disautnya cangkir itu dan diletakkan di atas meja. Istrinya kini berada di sampingnya. Menemani bagaikan permaisuri yang setia kepada sang raja. Tapi alasannya duduk samping suaminya bukan karena setia saja. Tapi karena kasihan dan takut kehilangan. Cuma Parjo yang menghiasi kehidupannya. Anak mereka yang seharusnya menjaga sepasang suami istri yang mulai rentan itu, malah sibuk dengan keluarga kecilnya.
Obat yang tadinya tak diperhatikan oleh Parjo. Kini ia mulai telan satu persatu ke dalam mulutnya. Didorong oleh air putih yang istrinya bawakan tadi. Berharap obat itu tak berhenti di dalam mulut Parjo yang membuat rasa pahit yang amat terasa. Tapi pahitnya obat bukan seberapa dengan kehidupannya. Jadi ia tak mau rasa pahit oleh obat yang ia makan menambah rasa pahit hidupnya.
"Bu, bukankah obat ini harganya mahal? Darimana ibu membayar semua ini?" Tanya Parjo.
Istrinya tak mau menjawab. Tapi Parjo sudah tau darimana uang tuk membayar mantri dan obatnya berasal. Cincin satu-satunya di jari istrinya sudah hilang tak terlihat. Pasti sudah dijual tuk menebus ini semua.
"Sudah-sudah. Bapak Istirahat saja tidak usah memikirkan uang pembayaran obat."
Parjo hanya mengangguk lalu istrinya keluar dari kamar meninggalkannya. Ruangan itu kembali senyap. Hanya Parjo manusia yang berada di tempat itu. Ia mulai bosan dengan kesendirian ini. Kemudian ia merebahkan beban tubuhnya di kasur yang sangat tipis ini. Memandang langit-langit kamar yang sudah lama ia tak renovasi lagi. Sebenarnya ia ingin sekali merenovasi gubuk yang penuh kenangan. Akan tetapi ia tak punya waktu dan yang paling penting adalah uang. Untuk makan saja terkadang kurang.
Pikirannya kini kemana-mana. Semakin berat ia memikirkan sesuatu, rasa sesak di dada semakin terasa. Sebenarnya penyakit apa yang ia idap? Ia lupa tak menanyakan kepada istri tentang hasil pemeriksaan mantri. Tuk meringankan rasa sesak, Parjo berusaha memejamkan mata. Berkat obat yang ia makan, dengan mudah ia terlelap.
***
Gubuk kecil Parjo kini disesaki para tetangga. Anak-anaknya pun sekarang pulang dan menemani istrinya Parjo. Suasana penuh riuh tersebut tak terelakkan lagi. Tapi halaman depan rumah Parjo basah dan becek. Tercecer beberapa bunga di tanah itu.
Walaupun anak-anak pulang, istri Parjo tidak merasa senang sama sekali. Ia memakai pakaian hitam dan menutupi matanya dengan kain hitam. Kain hitam itu digunakan membendung air yang keluar dari matanya. Di depan istri Parjo terdapat Parjo itu sendiri. Ia sedang terlelap di tempat yang berbeda. Ia pindah. Yang tadinya di kamar sekarang berada di ruang tamu. Yang tadinya tangan, kaki dan kepalanya nampak terlihat sekarang tubuhnya tertutup rata oleh kain putih. Yang tadinya bisa bernafas walaupun berat sekarang sama sekali tak bernafas.
" Yang sabar ya Bu. Semoga Bapak Parjo di tempat yang mulia di sisi-Nya. Bolehkah kami mulai menyikapinya,Bu?" Kata seorang tetangga Parjo.


Purwokerto, 21 Januari 2019


Bagus Sulistio 
Lahir di Banjarnegara pada tanggal 16 Agustus 2000. Sekarang ia tinggal di pondok pesantren Al hidayah karangsuci, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah. Saat ini sedang menuntut ilmu di IAIN Purwokerto jurusan pendidikan bahasa arab. Ia aktif dalam organisasi Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban ( SKSP ) Purwokerto. Karyanya sering menang dan dijadikan antologi dalam sebuah lomba tingkat nasional yang di adakan oleh penerbit indie. Diantaranya penerbit jejak publisher, ellunar publisher, pejuang antologi, dan masih  banyak lagi.  Dan pernah dimuat di media online negeri kertas. Nomor WhatsApp dan handphone 085725125034. 


#cerpen

Posting Komentar

0 Komentar