005

header ads

PUISI: Bagus Likurnianto


Risalah Kelahiran

Kelahiranku adalah genangan waktu. Tapih-tapih daun berguguran itu membalut napas ibu. Lampu tasbih dunia, bapak nyalakan di sepanjang anak-anak sungai ketuban mengalirkan air mayang dari rahim kasih sayang

Zikir hujan di malam lalu menyisakan tetes cinta yang menunjam ke dalam nadiku, bunga-bunga tawa bermekaran di taman bibir kakek dan nenek. Sementara lembah telingaku tengah menjadi sarang kesunyian gusti pangeran

Dengan tubuh kecil masih berlumur doa, aku menangis sebab jantung bumi yang ringkih telah mengutuk aliran darah moyangku. Maka, perut ibu yang alastu harus menanggung seluruh hikayat nestapa

Pun bapak dan airmatanya mulai menggenggam lembut selimut nyawa di atas ranjang subuh dan lenguh orang-orang yang semalam menanam biji waktu untuk sewindu rindu buai hangat pelukan ibu

Purwokerto, 7 Desember 2018



Bagus Likurnianto
Kumbang-Kumbang Azazil

Akulah kumbang yang telur-telurnya diasuh azazil di ranting-ranting yang semenjak dahulu selalu menusuk langit, kini aku telah menetas setelah dierami hangat sinar sore yang memancar-mancar di tanah asarmu

Di dekat semak sarangku, sebaris zikir mulai mengalir dari pegunungan tinggi ke anak sungai waktu. Mengiringi terbang pertamaku dan rentetan capung-capung merah di senja nestapa di antara musim bunga yang tiba-tiba menepi di sela-sela tasbihmu, mekar menjadi kepayang dan kasih sayang dihamparkan menuju lembah kasturi hingga ke muara tak terperi

Agar terlihat terang perjalanannya, kuciptakan lentera dari sujud, wirid, dan kiblat yang telah belasan abad mewadahi cahaya Cinta. Mata dan buritan tubuhku kujelmakan sebagai maghrib yang sakral: tak boleh ada duka dan luka di sandekala yang lapuk ini, pun serangga-serangga yang fasih mengisyaratkan silsilah musim telah kembali bersembunyi ke dalam tanah yang sepi

Dan di altar daun lontar itu, sambil menghadap ke cakrawala aku mengeja malam yang perlahan-lahan menabur sunyi, sementara angin menghembus diri menggugurkan daun-daun kering yang kian remuk dimakan waktu dan usia

Purwokerto, 27 November 2018

Bagus Likurnianto
Siapa Aku dan Siapa yang Berbaring itu?

o, Tuhan
tak seorang pun yang kukenal di sini
orang-orang beramai-ramai menangisi airmata hitamnya
sementara aku lebih memilih merenungi anugerahMu

sejak kecil aku telah melihat pintu di dalam pintu yang lain
di dalamnya lagi seorang tua membaca catatan rambut putihnya
anak kecil berlari riang dengan kibaran kain merah
jubah panjang yang mengikat petuah dan lidah

di suatu tempat yang jauh itu
di sebuah rumah di tengah laut dadaku sendiri
aku tak sempat memahami sesuatu yang terjadi pada jiwaku
aku mendapati tubuhku masih tergeletak di ranjang lelapnya

siapa aku dan siapa yang berbaring itu?
aku bahkan tidak bisa merasakan detak waktu di dalam dadaku
lalu aku pergi sebagai angin menghembus diri
menyusup di pohonan tempat burung-burung menjadi sufi

di ujung jalan yang kutapaki ini
kulihat lilin kecil menyala dengan api biru membakar waktu
pun di kanan-kiriku cumalah penjara sunyi
yang membelenggu duka dan rindu

o, Tuhan
aku melihat seluruh masa kecilku
saat orang-orang selalu menertawai kesendirianku di masa lalu
dan aku hanya mengenal namaMu

pada mulanya, memang tak ada yang mau berteman denganku
aku seperti binatang menjijikan menjelma gundukan
arang yang hancur di tepi jalan, setiap kali kulalui halaman rumah
orang-orang selalu membicarakan bisik-bisik yang aneh

begitu jelas dan mengherankan, tapi telingaku akhirnya bisa tertutup
semenjak ibu menuntunku meninggalkan segenap
pintu masa lalu – kisah pilu di lorong waktu
: aku kembali menuju tubuhku

Purwokerto, 8 Desember 2018

Bagus Likurnianto
Risalah Boneka Sawah

Doa para petani telah mengakar di bebanjar petak sawah yang menghampar. Sebelum datangnya murai perdu, kau duduk merangkai-rangkai sekar setangkai mawar dengan perih kau anyam tikar belukar yang tergelar lebar menggelepar

Maka, kudegupkan dada bergeming mengiring napas hening, lalu terdengar suara lenguh kerbau yang tak pernah risau akan kuning tunduk padi, keringnya tanah-tanah retak, ritual embun di rimba tahun di kelilingi ritus reranting diaraksorai dengan daunnya yang berguguran menuju pagi ditempa matahari:

Nyalakanlah duhamu dengan sepenggal tengadah sebelum belalang sembah mengajarimu memetik wajah cinta. Akulah gilar: boneka gabah yang ditanam di tegalan cahaya digertak prahara. Mengawasi petak-petak sawah

Dari hamparan dukana yang menumpahkan Cinta di belantara. Pun apa yang padi sabdakan tiada lain sebagai pertanda bahwa kesunyian usia tengah bersujud di pematang. Semoga rumpun sawah yang membentang tidak lagi mengubah arah pandang meski orang-orang sedang menempuh jalan simpang

Pesawahan, 12 November 2018


Bagus Likurnianto
Padrao dos Descobrimentos

telah kuarungi lautan doa pesisir timur paling luhur
sebelum rintikan embunmu mengalamatkan jatuh membasahi
bentangan layar kapal siar tuan saudagar mengisahkan
perasan isak saputangan kacung dan gelisah sepanjang zaman
aroma risau pakaian lusuh semampai bertarung melawan laut
dan dengus bandit-bandit tua tercium dari ruang tipu daya paling asing

setelah abad-abad berlalu, aku melipat laut lalu kutuang keluhku
ke dalam gelas waktu di tangan gaharu tersenyum menyapa
armada-armada yang mengembara sepi
di dada bandar tua tangannya menjeram setikam belati
siap bersembunyi lewat pelukan di pangkuan resah adipati

lentera dermaga tak mampu terangi suramnya malam
perompak dan kapal hitamnya tergiring dari pulau yang tertikam wajah ricuh
begitu pula carut marut di sepanjang samudera merayakan debur
di jantung laksamana terselubung dalam tingkap jubah agung
seorang tua yang menaksiri lautan panjang di atas perahu usianya
sehingga kini zaman itu mulai berlayar kembali

Purwokerto, 28 September 2018





Bagus Likurnianto, lahir di Banjarnegara, 9 Januari 1999. Beralamatkan di Dukuh Taman Sari, Kelurahan Parakancanggah, RT 04/I Banjarnegara. Saat ini ia masih berstatus sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam dan bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. Kegemarannya membaca dan menulis. Beberapa tulisannya telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, Malang Post, Yayasan Hari Puisi Indonesia, Solopos, Harian Rakyat Sultra, Minggu Pagi, Sastra Purnama, Kabar Madura, Radar Mojokerto, Radar Banyumas, Radar Cirebon, Majalah Simalaba, Nusantara News dan lainnya. Puisinya termaktub dalam beberapa publikasi antologi bersama, seperti: Wangian Kembang (Konvensyen Penyair Dunia: Malaysia, 2018), a Skyful of Rain (Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival: Banjarbaru, 2018), Puisi untuk Lombok (Apajake: Rantauprapat, 2018), Rumah Kita (Tembi Rumah Budaya: Yogyakarta, 2018), dan lainnya. Ia telah menjuarai beberapa lomba kepenulisan, antara lain: juara III penulisan puisi Provinsi Jawa Tengah (Kearifan Lokal Lokalitas yang Arif: Pekan Seni Mahasiswa Daerah XIV, 2018), juara I penulisan puisi hari kartini (Ibuku Kartiniku: Antero Literasi Indonesia, 2018), juara II lomba cipta puisi hari santri nasional (Pesantrenku Keren: Semarak Santri Nusantara, 2017), juara III kreatifitas seni mahasiswa (Fantastik: Festival Akhir Tahun IAIN Purwokerto, 2018). Nomor Hp. 089632158881. Alamat email: blikurnianto@gmail.com.


#PUISI


Posting Komentar

0 Komentar