005

header ads

JALAN SUNYI, KUMPULAN PUISI VANERA EL ARJ

kumpulan puisi Vanera el Arj--penyair yang meninggal 29 Desember 2014 silam--bertajuk JALAN SUNYI. Semoga buku ini diridhoi oleh Allah dan almarhum.
Buku ini diterbitkan oleh Lentera Internasional. 50% hasil penjualan buku akan diserahkan kepada kelurga yang ditinggalkan atau disumbangkan kepada yatim sebagai amalan almarhum. Tergantung kesepakatan antara penerbit dan pihak keluarga almarhum.
Bagi yang berminat, sudah boleh memesan. Harga Rp35.000,- belum termasuk ongkos kirim.
***
VANERA EL-ARJ, PENYAIR YANG PULANG
Oleh Muhamad Rois Rinaldi *(
I
Dalam lingkaranMu, yang kucoba pahami adalah cinta. Namun selalu yang engkau minta aku pahami adalah duka. Kini dalam purnama, luka dan duka adalah dua jiwa dalam satu nyawa bernama Cinta; menjadi aku yang senantiasa menjadi purba dalam lautan pemahaman dan makna tanda baca. Engkau dan hanya Engkau tujuanku, dan kerelaanMu yang kucari. Engkau lebih mengerti jalan mana yang harus kulalui. (Vanera El-Arj)
Saya tidak bisa mengaku bahwa saya mengetahui banyak hal tentang Vanera El-Arj. Tidak, sungguh tidak banyak yang saya ketahui mengenai Vanera, atau El, atau Va, atau panggilan-panggilan kasih sayang lainnya yang beragam ditujukan padanya. Karena begitu banyak hal yang tidak saya pahami darinya, baik dari caranya diam atau caranya bicara. Tetapi paling tidak, saya mengenali sebagian kecil mengenai dirinya. Karena perkenalan dengannya tidak dapat dikatakan sebagai perkenalan yang singkat. Sekitar tahun 2011-2012 saya mulai mengenalinya, bukan dari nama atau rupa, melainkan karya yang saya baca dari buku yang diterbitkan Sembilan Mutiara. Entah apa judulnya, mungkin Guci Berdarah atau Kamboja. Buku itu hadiah dari Noor Aisya, penyair Singapura yang karya-karnyanya juga tergabung di dalamnya.
Saya sempat mengatakan pada Noor Aisya bahwa saya suka puisi yang ditulis oleh penyair bernama Vanera El-Arj, lengkap dengan catatan-catatan kecil yang saya berikan kepada Noor Aisya agar disampaikan pada Vanera El-Arj (kemudian saya lebih merasa akrab memanggilnya, El). Saya melihat potensi kesadaran jiwa yang besar dalam diri seorang El. Potensi kesadaran itu yang akhirnya membuat saya kerap memaklumi berbagai hal teknis yang dilalaikan. Sebagian ahli sastra mungkin akan menanggapnya sebagai kesalahan elementer, sementara saya kadang menyepakati kadang tidak, tergantung mana yang lebih bermanfaat.
Waktu terus berjalan, lelaki kelahiran Wonosobo 13 April 1989 yang memili nama asli Ahmad Muadzin El-Zahid ini kemudian cukup menyita perhatian, meski saya tidak selalu menunjukkan ketertarikan dengan cara yang verbal. Saya dan El kemudian dipertemukan melalui media sosial, Facebook. Dimulailah penelusuran-penelusuran saya terhadap penyair muda berbakat ini. Melalui obrolan di berbagai kesempatan, ia lelaki yang tidak banyak bicara. Kalimat-kalimat yang digunakan cenderung singkat dan padat. Dari kalimat-kalimat padat dan singkat itu, saya menemukan kedalaman cara pikirnya: tenang dan sangat hati-hati.
Ketenangan dan kehati-hatian dalam diri anak muda berusia 20-an merupakan gejala langka. Sebagaimana kita ketahui--apalagi di zaman serba panas ini--manusia lebih senang dengan ketergesa-gesaan dan kepanikan. Mengetahui potensi kematangan emosional yang dimiliki alumni Fakultas Syari’ah dan Hukum Islam Universitas Sains Al-Qur'an (UNSIQ) Jawa Tengah di Wonosobo yang aktif menulis sejak tahun 2003 ini, saya semakin optimis, pada waktunya ia akan menemukan maqam puisi yang cemerlang.
Selain kematangan emosioanal ia juga memiliki semangat berkarya yang menggembirakan. Semangat itu paling tidak dapat dilihat dari proses berkarya yang terus dijalaninya dengan sabar dan progres yang baik dari waktu ke waktu. Akan tetapi, harapan adalah harapan, kenyataannya tidak selalu sesuai harapan-harapan itu. Pada 29 Desember 2014, saya ditelpon Arafat AHC, penyair Demak—yang juga sahabat saya. Ia menyampaikan kabar bahwa Vanera El-Arj pulang ke pelukan Gusti Allah.
Dengan suara yang memberat dan napas yang agak patah, saya berkali-kali menanyakan pada Arafat mengenai kebenaran kabar tersebut. Saya sempat berusaha atau sebut saja berharap Arafat sedang bercanda. Sayang sekali, Arafat tidak memberi saya ruang untuk berharap lain, El telah pulang lantaran penyakit radang selaput otak yang telah lama ia sembunyikan. Penyair muda berbakat akhirnya benar-benar dihentikan langkahnya di usia 25 tahun, di mana ia sedang begitu keras memperjuangkan hidup dan kehidupannya. Ia dikebumikan di Wonosobo, di kampong halamannya. Tidak ada yang terbaik selain doa dari semua pembaca. Diharapkan kesediannya mengirim alfatihah bagi El (Ahmad Muazin El-Zahid).
II
Sedikit kisah mungkin perlu saya paparkan di sini, agar pembaca dapat gambaran—meski serba sedikit—mengenai Vanera el Arj, penyair yang telah pulang: Waktu di Cilegon dalam rangka Temu Penyair Asia Tenggara pada Oktober 2014 silam, saya mendapatkan laporan dari Arafat bahwa El muntah darah. Sebagai sahabat sekaligus penitia pelaksana, saya bergegas memeriksa keadaan El. Ia berkali-kali mengatakan kepada saya bahwa ia baik-baik saja. Meski El berusaha menyembunyikan kesakitannya, saya memaksanya untuk mengikuti permintaan saya, yakni periksa ke dokter, diantar oleh salah seorang dari tim kerja saya.
Setelah kegiatan Temu Penyair Asia Tenggara selesai, saya, Dimas Indiana Senja, Ka Tyo, dan Arafat memutuskan untuk berwisata alam ke Baduy Banten. El pun tampak begitu bersemangat, bahkan ketika akan naik ke Baduy Dalam yang harus menempuh 4-5 jam pendakian, ia tidak sama sekali protes atau tampak lelah. Malah saya yang protes, karena fisik saya yang tidak memungkinkan juga kesehatan El yang masih mengkhawatirnya. Wal hasil, kami hanya berputar-putar di wilayah yang tidak terlalu tinggi.
Dalam perjalanan itu, berkali-kali saya melihat begitu banyak yang ia sembunyikan. Semacam kegelisahan tapi bukan kegelisahan; seperti kemuraman tapi aura muram itu tidak saya temukan; serupa ketenangan tapi bukan ketenangan yang sebagaimana biasa saya temukan di mata kebanyakan orang. Misteri yang terasa di dalam batin saya itulah yang mendorong saya untuk terus berjalan di sisi El, ketimbang bersama Arafat, Dimas, dan Tyo.
Seperti halnya ketika Arafat, Tyo, dan Dimas sibuk menawar pernak-pernik Baduy. Saya dan El memilih duduk santai di jembatan rotan. Ia memegang setangkai ranting dengan kaki yang terjulur, sedangkan saya dengan tangan kosong, sesekali menyentuh kakinya. Selain bicara mengenai pohon-pohon besar yang mulai langka dan tentang bagaimana air mengalir dari sumber ke muara, ia juga banyak bicara tentang kebaikan, ketulusan, dan pengorbanan manusia atas manusia. Saya berusaha tidak banyak bicara—aslinya saya sangat cerewet—dan dengan khidmat mendengarkan setiap kalimat yang diutarakan El. Hanya sesekali saya menimpali dan mengingatkan agar El tidak lupa minum obat.
Ia beberapa kali menyampaikan kekecewaannya kepada manusia yang mencerdaskan dirinya hanya untuk menipu orang-orang bodoh; memanfaatkan orang-orang lugu; meniadakan kemurnian kemanusiaan demi napsu binatang. Dan banyak lagi yang ia sampaikan waktu di Baduy atau waktu lain di tempat lain. Kisah yang cukup panjang jika diutarakan semuanya. Saya rasa sekelumit yang saya sampaikan cukup untuk menjadi gambaran bagaimana sikap dan pikiran seorang El.
Selain ruang yang tidak memadai, saya juga tidak terlampau melankolia. toh, El pernah bilang, bahwa segala yang ada di dalam dirinya suatu ketika akan hilang dari kefanaan. Saya takut El tidak merestui jika banyak cerita tentang dirinya. Cukuplah pembaca tahu, El adalah penyair muda yang dimiliki Indonesia. Penyair yang pulang dengan segala keheningan yang ditinggalkan di kepala dan jiwa orang-orang yang dekat dengan dirinya. Dan mungkin keheningan itu akan masuk dalam kepala jiwa para pembaca, melalui kumpulan puisinya yang bukukan ini.
III
Penerbitan antologi puisi ini mulanya dari pertanyaan dan pernyataan kawan-kawan yang ditujukan kepada saya. Dengan redaksi yang berbeda-beda pertanyaan dan pernyataa kawan-kawan saya simpulkan pada satu hal: “membukukan puisi-puisi Almarhum”.
Persoalannya kemudian, bagaimana cara menerbitkannya? Menerbitkan antologi puisi bukan perkara mudah, lantaran puisi masih jadi anak tiri dalam khazanah penerbitan masa kini. Tetapi saya yakin kekuatan “niat baik”. Saya melalui organisasi yang saya pimpin, Lentera Internasional, berusaha mengumpulkan puisi-puisi El yang tercecer, dibantu beberapa penyair: Anna Mariyana (Kalsel), Dimas Indiana (Pustaka Senja Yogya), Arafat AHC (Demak), Rini Intama (Tangerang), Tosa Putra (Sembilan Mutiara Trenggalek), dan lain sebagainya.
Penerbitan antologi puisi Vanera El-Arj adalah jalan yang layak ditempuh. Karena jejak seseorang yang 'berarti' tidak boleh begitu saja dihapus dari setiap ingatan. Dalam hal ini saya harus berterima kasih kepada keluarga Vanera el Arj yang telah mengizinkan kami menerbitkan kumpulan puisi ini dan juga kepada kawan-kawan yang turut membantu baik materi maupun dorongan semangat sehingga buku ini sampai di tangan pembaca.
IV
Seperti apa sesungguhnya puisi-puisi El, dan apa sesungguhnya yang ingin disampaikan penyair sebelum ia pulang ke keabadian? Banyak! Begitu banyak yang ingin disampaikan. Sebagaimana penyair pada lazimnya, El ingin menyampaikan kegelisahan-kegelisahannya mengenai hidup dan kehidupan. Di mana ia kadang meletakkan dirinya sebagai objek dan kadang sebagai subjek atau kadang tidak berada di keduanya. Hal yang paling spesifik dan yang saya tandai dari puisi-puisinya adalah cinta yang tidak profan. Cinta yang begitu ia sakralkan sebagai inti atom pemikiran-pemikirannya.
Puisi-puisi yang lahir dari rahim pemikiran pemuda matang yang juga matang dalam bersikap memang memiliki “nilai” yang tidak sekadar. Penyair ini tampak bersikeras mengurai nilai-nilai cinta dalam berbagai aspek sebagaimana dalam penggalan beberapa puisi berikut ini:
...
Catatan-catatan yang pernah kutulis dan akan kupelajari yang selanjutnya berharap aku memahaminya seakan-akan tak pernah ada. Yang kurasai selalu engkau masih dalam satir yang begitu dalam - misteri yang begitu gelap. Sedang siluetmu senantiasa melambaikan tangan agar aku lekas memelukmu.
...
(AKAN ENGKAU)
...
Sunyi melarik puisi
Puisi merilis bunyi
Bunyi diam mati
Akukah yang tak mampu menggenggam hasrat?
Ataukah rindu ini teramat menyanyat
Mengharap dilayat?
Bunga malam mengharu pekat
Aku: sekarat!
(RINDU YANG GELAP)
1/
Kau masih saja sebagai misteri
dalam otakku yang kecil,
dalam hatiku, kandil.
meski kau ada
bersama sepanjang sejarah.
: Nafas
...
(UMMI: EL-FIRZH)
...
Maukah engkau mengajakku duduk di beranda atau sekedar duduk di teras, pun bahkan apabila duduk-duduk hanya di tepi jalanaku sungguh merasa sendiri, dan berharap engkau berkenan menyapamengajakku bercerita tentang entah tentang brantahmelahirkan diskusi-diskusi konyol penuh tawa, juga mempuisikan hidup yang semakin membuat lena seperti tragedi telenovela.
...
(AKU TETAP SENDIRI)
...
Dan benar, sebentar saja sinar matahari yang jatuh ke permukaan tanah tikungan sebelum jembatan itu merubah suasana angin yang berkesiur. Sedari subhuh yang masih sayup, waktu itu masih hanya sekedar seberkas sinar putih yang menembus fajar
...
(TIKUNGAN SEBELUM JEMBATAN)
Begitulah cara El menyelipkan Cinta dalam puisi-puisinya. Kadang kata “cinta” digunakan sebagai penegas keberadaan cinta dalam cinta Sang Pecinta dan kadang ditiadakan untuk menyembunyikan tirakat cinta Sang Pecinta cinta, tanpa menghilangkan esensi cinta itu sendiri.
Selain cinta atas pengertian yang luas dan dalam, ada hal-hal yang dapat diperhatikan melalui puisi-puisinya, yakni kesadaran mengenai “kematian”. Begitu banyak soal kematian yang ia tulis, baik kematian yang ditulis dengan tegas ataupun dengan samar dan nyaris sulit diterka. Bahkan pada 12 November 2014 sebelum akhirnya saya dan kawan-kawan tidak dapat berkomunikasi dengan El baik melalui Facebook maupun handphone, ia mengirimkan puisi terakhirnya melalui inbok:
DALAM CAHAYA
Kau
dan aku adalah jarak;
melebur
dalam cahaya.
Grand Mangkuputra, Cilegon, 23 Oktober 2014
SANG PEJALAN
Tanpa alas kaki Sang pejalan
tak berhenti, sampai
cahaya tak silaukan mata.
Cilegon, Dzulhijjah 1435 H
Apakah dua puisi di atas sebagai isyarat atau firasat? Apapun, firasat atau isyarat sesungguhnya bukan hal yang amat sangat tidak dapat disentuh manusia. Pada dasarnya, alam semesta senantiasa memberikan sinyal pada jiwa manusia, mengenai hal-hal yang tidak kasat. Tidak heran, jika kemudian penyair mempu menangkap sinyal-sinyal itu, terlepas dengan sadar atau tidak. Karena simpul-simpul kehidupan, uraian-uraian kejadian, serta rahasia-rahasia di dalamnya sesungguhnya tertutup dan terbuka. Manusia dapat menangkap itu, tentu saja pada batas-batas tertentu.
Dari berbagai kenangan yang masih terawat oleh ingatan, hal yang paling dekat adalah status yang ditulis El pada 29 November 2014, sebulan sebelum ia berpulang. Dalam statusnya tersebut, El dengan sangat gamblang meminta doa kepada kawan-kawannya agar didoakan husnul khatimah. Meski beberapa kawan mengamini status tersebut, tentu tidak ada yang menyangka hanya berjarak 30 hari El benar-benar pulang. semoga juga benar-benar husnul khatimah sebagaimana pengaminan sahabatnya, Rini Intama dan kawan-kawan dalam status.
Lebih sederhana, barangkali perlu ditarik juga ke ranah yang lebih logis dan memungkinkan dapat diterima dengan mudah: El sesungguhnya tengah membangun kesadaran-keadarannya sebagai seorang manusia yang penyair atau sebagai penyair yang manusia. Bahwa segala yang baru akan rusak dan hilang. Setiap yang dilahirkan akan menemukan kematian: kesinambungan kesadaran akan hakikat dunia dengan kefanaannya serta hakikat alam akhirat dengan kekekalannya. Rasanya, apa yang dipikirkan dan direnungkan oleh seorang Vanera El-Arj sangat penting dan perlu juga direnungkan oleh kita semua.
Sebagai penutup, bacalah penggalan puisi El yang seolah sebagai wasiat bagi keluarga, sahabat, dan kerabat. Wasiat yang memberikan rambu-rambu bagaimana mengenang seorang Vanera El-Arj:
...
aku ingin mengenangmu bukan dalam takutku,
aku ingin mengenangmu bukan dalam tangisku,
aku ingin mengenangmu bukandalam bimbang dukaku,
namun....
aku ingin mengenangmu dalam cinta
...
(AKU, KAU, DAN DIA)
Banten, 2016
*( Muhammad Rois Rinaldi, Presiden Lentera Internasional dan Ketua Umum Rumah Baca Bintang Al-Ikhlas Banten.
***
BERIKUT PANDANGAN SAHABAT-SAHABAT ALMARHUM
Menikmati sajaksajak El, saya seperti digiring ke tepi waktu. Saat kali pertama & terakhir bertemu. Di tifa satu. Senyap,asing tapi damai. Boleh dikata, pilihan diksi El lembut. Tapi romansa puitiknya mengetuk. Mirip gumaman yang berisi doa. Dan saya mengamini ...
"Sebab ada yang harus kububuhkan agar nisanku tak hanya megah, namun sumringah berkah." NISAN- Vanera El Arj.
(Seruni Unie, penikmat puisi dari Solo)
Va, panggilan saya untuk Achmad Muadzin atau Vanera el Arj. Satu tahun kenal dengan dia mungkin bukanlah waktu yang lama bagi orang lain, tapi bagi saya pada waktu tersebut Va sudah banyak memberikan pelajaran untuk saya. Va begitu bersahaja, begitupun tulisan-tulisannya. Dia menulis dengan hati yang benar- benar sampai pada "penyerahan", pada tingkat spiritual yang tinggi. Kadang dia mengajak berdiskusi tentang tulisannya, meminta saya untuk "membaca" tapi Va tidak pernah menyalahkan apa yang saya ungkapkan terhadap tulisannya, dia mengajari saya memahami dan menyelam pada tulisan hingga sampai pada tafsirnya. Tersirat pada setiap tulisan yang dia kirimkan pada saya sebuah pesan tentang penerimaan yang agung, mungkin tidak semua orang sampai pada level itu dan sayapun tak mencapainya. Va pernah bilang bahwa menjadi seorang penulis itu tak ada kamusnya kehabisan ide, jika kehabisan ide berarti itu bukan penulis, tapi orang yang menulis demi sesuatu.
(Anna Mariyana, Penyar Kalimantan Selatan)
Sebuah karya sastra bisa dinikmati oleh orang lain karena banyak hal alasan. Bisa jadi karena pemilihan diksi, susunan kata dan hal yang lainnya. Namun hal yang lebih penting dari itu adalah ungkapan perasaan, letupan emosi atau penjabaran isi hati yang mewakili ihwal ruhani. Pengalaman batin si penulis, pengamatan lingkungan juga merupakan faktor penting dalam menulis.Yang memahami maksud puisi sebenarnya hanyalah si penulis itu sendiri. Karya-karya Vanera El Arj atau El tak ubahnya secangkir kopi, yang dia sendiri telah meminumnya. Sehingga dia bisa mendiskripsikan bagaimana cita rasa kopi itu menurut lidah dan perasaannya. Dia merasakan pahit kopi kehidupan dalam perjalanan yang pernah dia lakukan saat dia tidak tahu harus kemana dalam perjalanan itu. Usia bukan menentukan kemahiran seseorang dalam berkarya sastra. Terkenal atau bukan juga bukan tolak ukur. Bahkan banyak karya yang terkenal setelah orang tersebut telah tiada. Meski diusianya yang terbilang muda karya El melampaui batas usianya. Bahkan sebelum perjumpaan dengan Tuhannya, ia sempat melampiaskannya dalam sebuah tulisan. Akhirnya " tak ada gading yang tak retak ". Selamat Jalan El, di alam sana tentunya engkau membacakan syair bersama Jalaluddin Rumi.
(Eppril Wulaningsih, penggiat literasi asal Ponorogo, tinggal di Taiwan)
Pertama, sebetulnya el--panggilan akrab kepada Vanera-- bukanlah sekedar penyair dan ia tidak begitu senang jika hanya disebut sebagai penyair. Lantaran penyair hanya menjadi puzzle untuk melengkapi diri el yang sebetulnya manusia. Maka jika hanya menemukannya dalam ranah teks perpuisian saja kita hanya memandang el sebelah mata. Meski begitu kekuatan teks el bisa menjadi ngaji urip bagi yang hidup--mungkin bagi yang hatinya mati juga. Selain sebagai penyair el merupakan pelaku kesejarahan, filsafat dan pemikir yang banyak hasilnya tidak ia tulis dalam bentuk puisi. Paling disana(alam barzah), ia sedang ngopi sama malaikat sembari menertawakan kita yang terlalu bisik dan mempermasalahkan material saja.
Kedua, lantaran kali ini el hanya sebagai penyair, maka kita bicara pada kepenyairan dan perpuisiannya saja. Yakni, el merupakan penyair yang --mungkin-- banyak penyair lain tidak mampu mencapai proses spiritual sejajar dengannya. Karena kematangan dalam berpikir, kejernihan dalam merasa serta ketekunannya dalam berketuhanan dan berkeragamaan, maka tak aneh jika puisi-puisi el begitu bersahaja jika dibaca, dipahami dan dilakukan. Itu hanya sudut pandang saya mengenai nilai-nilai dan penafsiran atas puisinya, kalian sangat amat boleh dan bebas memberi tafsiran yang lebih luas lagi daripada saya dan tahu tidak? El pasti mendoakan kita yang telah menyia-nyiakan kesempatan menikmati puisi dan hidup beserta tafsiran dan pemahaman. Puisi el merupakan hidup el dimasa yang akan datang, dan saya berharap pada pembaca, setelah menziarahi puisinya, ziarahilah ruh dan makamnya. Allahummaghfirlahu warhamhu waafihi wa'fuanhu waj'alil jannata maswahu. Allahumma laa tahrimna ajrohu walaa taftinna ba'dahu wagfirlana walahu.
(H.B Arafat, Penyair Demak)



Posting Komentar

0 Komentar