(1)
SIAN
Yuliani Kumudaswari
Kau dan aku tak bisa mengatakannya sebagai biru,
serupa melankoli yang mengolok-olok
atau perasaan sedih yang keluar dari secangkir kopi jahe
yang tak lagi mengepulkan asap
bukan pula rasa masygul tersebab dering telepon
yang tak beranjak dari nada dasar do tulalit
Mungkin, kau dan aku
bisa mengumpamakannya
sebagai penantian yang tak kunjung tiba
serupa menanti setangkai jepun dari ranting kemuning mungil
dan bukan pilu biru yang digumuli sebatang ilalang
yang bertahan di gempuran hujan, sungguh bukan
kamu tidak akan memahaminya
Kau dan aku tidak bisa pula menyebutnya sebagai hijau,
seperti hamparan pengharapan yang menggebu
di sabana gurun-gurun tandus
dan menggaungkan bahwa bulan lebih bersinar
atau matahari lebih berpijar di situ
Sian, bukanlah hijau rumpun-rumpun melati
yang menguar manis
di perjamuan yang tak mengenal tuba
bukan hijau padang tebu
yang mengulum semangat di bibir bergincu
entahlah, apakah engkau paham
sian hanyalah sian
sepulas warna
sebaris bias hijau biru
yang tertambat di serumpun bahasa
Yogyakarta, 2023
(2)
SEBUAH HARI DI WAEREBO
Yuliani Kumudaswari
pukullah kentongan
tiga pukulan saja
yang bergaung sepanjang lembah
penanda hadirmu di desa atas awan
hutan terlewati di balik punggung
ketika tanah surgawi itu terhampar di mukamu
kabut turun di puncak kerucut tujuh Mbaru niang
berlatar langit pucat serupa warna gulali
“selamat datang, mari masuklah”
Tetua adat berselempang tenun
duduk bersila di tengah Lutut
dan kau dilingkupi kesahajaan nan agung
malam turun begitu saja bersama gelap
tak ada cahaya selain teplok di Mbaru niang
kehangatan di bawah lindungan lontar dan jerami
sementara dingin menggigit tiap pori di sebalik pintu
langit jernih, hening nan lindap
hanya suara jangkrik, aroma rumput basah
dan dirimu yang terpaku di bawah berjuta bintang
seakan jemarimu mampu menyentuh galaksi
secangkir kopi di Wae Rebo
dan pagi yang datang bersama embun
sungguh membekas, sebuah hari di desa atas awan
Yogyakarta, 2023
(3)
DI JEMBATAN GONDOLAYU
Yuliani Kumudaswari
berdiri diatas jembatan Gondolayu
rumah-rumah sepanjang tepi
mematut diri di bawah matahari
yang serupa terburu-buru
menarik cahayanya yang ruah
wajah Kali Code meredup
riak air memantulkan bias yang tersisa
di tubuh Kali Code
anak-anak kaum marjinal
membangun istana mimpi
menjadi kapiten pun saudagar rempah
melarung di atas perahu kertas yang menghilir
hanyut menyusur alunan arus tidak deras
yang mengalir dari Boyong hingga Kali Opak
di Gondolayu kehidupan tak tergesa-gesa
gang-gang sisi Kali Code tetap sama
terus berjuang berseka memupus kumuh
tembok cerah dikelir sewarna pelangi
jejeran lampu merkuri dan bangku kayu
serupa boulevard kaum pedestrian
bertahan di sisi kali yang terkadang berisi lahar Merapi
di jembatan Gondolayu
seorang anak menghanyutkan perahu kertas
“berlayarlah yang jauh, kutunggu di Sayidan” katanya
matahari terburu-buru menarik sinarnya
riak memantulkan bias cahaya tersisa
serupa lelatu yang berpendar
mencatat harap dan mimpi seorang anak Kali Code
Yogyakarta, 2023
Yuliani Kumudaswari, perempuan paruh baya kelahiran Bandung. Saat ini, menikmati masa pensiun dan tinggal di Yogyakarta bersama suami, dua orang putri dan tiga ekor kucing.
Beberapa karyanya telah dimuat di beberapa media atau tergabung di antologi bersama. Antologi puisi tunggal terbaru, Tunjung Hati (Tonggak Pustaka, Yogyakarta 2023) dan kumpulan cerpen Gadis Dalam Mural (Teras Budaya, Jakarta)
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313