FAKHRUNNAS MA JABBAR
Debu jalanan yang pekat menyesakkan napas. Sebuah truk pengangkut tanah timbun mengepulkan debu itu sehingga menggelapkan pandangan. Panas terik memang telah berlangsung terlalu lama. Aku sendiri tak sanggup lagi membilang karena sudah terlalu lama didera derita. Pohon-pohon meranggas. Dedaunannya berguguran. Entah kapan lagi sang pohon akan berbunga dan berputik kembali.
Setiap hari kusaksikan lalu lintas truk proyek dari gubuk yang kutempati bersama Maryam dan ketiga anak kami yang masih kecil. Wajah mereka terlihat penuh belas dan pasi karena jarang mendapatkan makan bergizi. Kemarau panjang tahun ini makin memperburuk keadaan kami sekeluarga. Tanaman padi di sawah yang luasnya kira-kira sepiring boleh dikatakan tak menghasilkan apa-apa. Hama pianggang mudah sekali menyerang saat panas berkepanjangan.
“Kapan lagi Abang ke Kantor Desa?” tanya Maryam membangunkan kesadaranku akan persoalan mendasar yang sedang kami hadapi. Bukan hanya kami, melainkan hampir semua orang-orang kampungku tak lepas dari kemelut persoalan yang sama.
“Untuk apa ke sana? Kata Pak Kades, belum ada tanda-tanda penyelesaian masalah ganti rugi itu dalam waktu dekat ini,” jawabku. Memang kemarin aku baru saja menjumpai Pak Kades menanyakan persoalan yang sedang hangat dibicarakan orang-orang kampung sini.
“Bukankah persoalannya sudah terlalu lama terkatung-katung? Apa penduduk di sini akan dibiarkan mati kelaparan karena tak ada kepastian itu?” desak istriku mulai naik darah.
“Menurut Pak Kades, inilah akibatnya bila penduduk tak mau menerima uang ganti rugi yang sudah ditetapkan.”
“Ganti rugi itu terlalu murah, Bang. Terlalu murah!” sergah Maryam.
Aku malas bertekak 1) dengan istriku sendiri hanya gara-gara adu pendapat soal yang sudah lama diapungkan. Bukankah aku pada hakikatnya sependapat dengan Maryam. Kami berada di pihak yang sama. Ganti rugi yang layak juga akan kami terima dan pergunakan bersama-sama.
Aku terpancing juga akhirnya. Kuambil fotokopi daftar ganti rugi harta benda dan tanah yang dicanang oleh pemerintah. Daftar ini ditandatangani oleh Bupati dan Pimpinan Proyek Listrik yang akan melaksanakan pembangunan PLTA di kampung kami dan beberapa kampung yang bertetangga dengan kami. Kami hanya merasa hanya menerima akibat buruk saja dari pembangunan itu. Soalnya, sungai Turip kini pun airnya sudah sangat dangkal karena didera oleh kemarau dan akan dibendung pula. Oleh sebab itu, bila pembendungan itu berjalan, maka kampung-kampung di kawasan aliran sungai itu akan ditenggelamkan.
Siapa pun bisa membayangkan bagaimana sebuah—eh, tidak hanya sebuah melainkan banyak kampung ditenggelamkan. Tidak hanya harta benda beserta tanah leluhur yang dikorbankan, melainkan juga kenang-kenangan dan catatan sejarah yang sudah menjadi sebutan orang kampung secara turun-temurun. Di kampung kami justru terdapat sebuah tanah perkuburan pejuang yang menjadi korban bala tentara Jepun.2) Kuburan itu boleh saja dipindahkan. Tapi, alam sekitar yang menjadi saksi selama berpuluh-puluh tahun tak mungkin tergantikan oleh tanah perkuburan baru. Sewaktu masih hidup dulu, Emakku yang paling pandai bergurau selalu bilang begini: ’sedangkan tempat jatuh lagi dikenang, apalagi tempat bermain’. Ya, kampung halaman bagiku dan juga bagi orang-orang kampung di sini tentulah lebih dari sekadar sebagai tempat bermain itu.
Aku mafhum bahwa penderitaan orang-orang kampung tak akan lebih baik dari kami. Apalagi yang diharapkan di saat segala usaha pertanian tak menjadi karena kemarau panjang ini. Lebih tersiksa lagi, akibat rencana penenggelaman kampung kami, maka kegiatan pembangunan nyaris berhenti sama sekali. Jalan dari ibu kota kecamatan yang dulunya pernah diaspal kasar, sekarang penuh lubang dan dunggul.3) Sungguh kasihan para petani yang mengangkuti sisa-sisa hasil kebun dengan hanya menaiki sepeda melintasi jalan penuh lubang itu. Lebih menyakitkan lagi begitu truk-truk pengangkut tanah timbun macam dikejar setan untuk memburu trip. Debu-debu pun berkepulan tanpa terkendali. Tampaknya, sebagian anak-anak kecil di kampung kami sudah ketularan batuk karena terhirup debu kotor jalanan itu.
Usaha penduduk hampir mati begitu ada larangan dari orang kabupaten supaya tidak bertanam tanaman. Meskipun yang dimaksudkan peraturan itu hanyalah untuk tanaman keras saja. Tapi, aparat Kantor Kepala Desa kadang-kadang melarang penduduk bertanam apa saja. Perekonomian rakyat tersendat. Lagi pula, mau bertanam apa-apa pun di musim kemarau ini tak ada gunanya. Tanah rengkah-rengkah. Rumput pun enggan bertumbuh sehingga terlihat mersik.4) Kerbau ternak pun kuyu 5) dan pucat dengan tubuh kerempeng.
Terasa kini bahwa kemarau bagaikan mewakili sosok jiwa kami dari kampung ini. Ya, hati kami pun tersaput kemarau. Hati kami kini sangat butuh setitik air penyejuk pikiran. Rasanya kami tak kuat bertahan bila kemarau di luar diri kami sebagaimana sedang berlangsung bersepadu dengan kemarau yang ada di batin kami. Bila kemarau sepanjang bulan-bulan lalu mampu mengeringkan sumur-sumur dan sumber air lainnya. Justru kemarau batin telah lama mengeringkan air mata kami. Sunggung, kami tidak bisa lagi menangis. Air mata kami tak cukup mewakili nasib kami yang sedang dikoyak oleh sebuah rencana besar.
Oh ya, sejak dulu—10 tahun silam—sebenarnya orang-orang kampung di sini tak pernah menolak pembangunan PLTA berskala besar itu. Proyek itu bagus untuk pembangunan. Pembangunan itu bagus untuk rakyat. Rakyat itu bagus bila menerima hasil-hasil pembangunan itu sebagai buah pengorbanan yang sudah diberikan lebih dulu. Siapa bilang kami tak berkorban dengan membiarkan kampung halaman kami ditenggelamkan. Siapa bilang tak? Apa namanya kalau bukan pengorbanan bila semua kami menyerahkan harta benda yang sudah kami pelihara selama ini untuk sebuah pembangunan PLTA raksasa? Tapi, ganti rugi yang terlalu rendah itu benar-benar akan menimbulkan kemarau perasaan yang lain di hati kami. Jangan perpanjang lagi kemarau-kemarau ini, air mata kami telah lama mengering disadap oleh kemarau batin bertahun-tahun.
Aku memang selalu bersikap bagai mewakili orang kebanyakan. Itulah sebabnya bayangan pikiranku selalu mangatasnamakan penduduk di sini. Aku lebih senang berbicara dengan menyebut ’kami’ daripada ’aku’. Sebab, ke’aku’anku memang ada di dalam ke’kami’an kami. Aku larut di dalamnya. Lain halnya bila aku berbicara dengan anak dan istri. Aku harus mendahulukan ke’aku’anku sendiri. Tak ada orang lain yang lebih bertanggung jawab atas diri anak dan istri selain diriku sendiri.
Rasanya dalam usia setua ini, aku masih punya keberanian untuk menyampaikan hal-hal yang bertentangan dengan hati nuraniku sendiri. Barangkali, aku termasuk salah satu pensiunan pegawai negeri di mana pada masa masih bertugas dulu aku juga pernah disebut sebagai orang terpandang. Aku dulunya memang tokoh. Tapi begitu masa pensiun menggerogotiku, keberanian itu pudar tiba-tiba. Aku tak punya kekuasaan lagi meski sedikit. Aku telah lebur menjadi orang kebanyakan. Oleh karenanya, sisa-sisa keberanian itu saja yang selalu membuatku bangkit untuk memupuskan kesewenangan. Termasuk soal ganti rugi itu yang menurutku sudah termasuk kesewenangan baru.
Kadang-kadang aku jadi sulit berbicara soal kemarau yang sedang melanda kini. Sebab, kemarau batin makin garang mengeringkan impian-impian dan harapan. Oleh karenanya, aku tak begitu mempedulikan bagaimana orang-orang kampung berjejal mengambil air minum di sungai Turip yang makin dangkal itu. Sebab, mata air di dalam hati kami jauh lebih dangkal lagi.
Wabah kolera dan muntaber mulai merajalela. Musibah baru pun muncul. Ada kematian yang tiba-tiba datangnya. Aku pun merasakan deraan kematian itu ketika Hasyim, anak bungsu kami, juga meninggal dunia setelah muntah mencret selama sehari semalam. Puskesmas memang ada di kota kecamatan. Tapi jaraknya cukup jauh. Maryam memang tidak sanggup lagi menangis. Oleh sebab itu, sekarang kemarau juga ikut mengeringkan air mata semua penduduk.
Kemarau batin pula yang tiba-tiba mengubah sikap Maryam, istriku. Ia tampak lelah menahan derita. Lelah menatap kenestapaan dua anak kami yang tersisa.
“Bang, lebih baik kita terima saja ganti rugi itu. Walaupun rendah sekalipun,” pinta Maryam beriba-iba. Dia tampaknya tak kuat lagi menyaksikan dan mengalami deraan kemarau demi kemarau ini. Kepergian Hasyim baginya suatu pukulan yang besar. Dia tak ingin maut akan ikut merenggut dua anak kami yang lain, Yunus dan Maksum. Hanya mereka berdua yang menjadi pewaris kami kelak.
“Maumu, kita terima perlakuan yang tidak adil itu?” balasku menyangkal.
“Apa lagi yang harus kita tunggu di sini. Hanya ada wabah, debu, maut, dan tanah yang rengkah. Bagaimana kalau kita ikut terenggut maut dalam selimut kemarau ini?” ungkap Maryam lagi.
“Jangan putus asa. Aku melihat ada gelagat lain yang bisa-bisa di luar dugaan sama sekali. Kemarau ini begitu panjang. Lihatlah air sungai Turip itu. Hanya tinggal sebatas lutut. Bila sungai itu pun kering, bendungan apa lagi hendak dibuat di kampung kita?” aku memang mulai menemukan keraguan baru sehubungan dengan rencana PLTA itu.
Orang-orang ahli seperti perencanaan proyek PLTA itu boleh saja membuat perkiraan-perkiraan tentang jumlah air sungai yang siap menopang pembangkit listrik itu. Tapi, kekuasaan Tuhan? Tak seorang pun dapat mendahuluinya. Inilah keyakinanku.
“Jadi menurut Abang, proyek PLTA itu bisa saja batal?” tanya Maryam penuh kebimbangan.
Aku mengangguk.
“Ya, kenapa tidak? Bila alam sendiri yang hendak membatalkannya. Siapa yang akan menghalangi?” balasku makin berani.
Maryam terdiam. Pikirannya memang tidak akan lebih kencang dari pikiranku. Namun, ia bisa memahami ramalan-ramalan yang kubuat.
Kemarau telah berlangsung setahun lebih beberapa bulan. Air sungai Turip benar-benar telah mengering. Ini di luar dugaan banyak orang. Seiring dengan itu, di kalangan pelaksana proyek PLTA terjadi sebuah kejutan yang tak pernah dibayangkan. Pimpinan proyek tersebut tiba-tiba tersiar bunuh diri. Alasannya malu hati karena perkiraan yang dibuatnya bersama perencana dan konsultan yang lain meleset sama sekali. Kadangkala, rasa malu bisa mengalahkan arti sebuah hidup.
Kampung kami dan beberapa kampung yang dicadangkan akan tenggelam benar-benar heboh. Sebagian penduduk mulai terbakar semangatnya untuk unjuk rasa. Aku pun diajak untuk meramaikan unjuk rasa itu. Sekadar mengingatkan pihak yang berkehendak bahwa semestinya pembangunan jangan sampai merugikan rakyat kecil seperti kami dan penduduk di sini. Tapi, sungguh, dengan kesadaran penuh, aku menolak untuk ikut unjuk rasa itu. Bagiku itu tak akan menyelesaikan masalah. Kemarau panjang selama ini sudah menjadi persoalan besar bagi kami sekeluarga. Ditambah pula kemarau yang ada di batin kami sendiri. Kami tak ingin akan bertambah lagi kemarau-kemarau baru dalam kehidupan kami. Biarlah air mata kami mengering, tapi kami tak akan meratapi apa yang terjadi.
Pekanbaru, 9107
1) bertengkar
2) Jepang
3) gundukan kecil
4) kering menguning
5) kurus dan pucat lesu
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313