KAUSALITAS MERUPAKAN SEBUAH PROBLEM
Kritik David Hume Terhadap Kausalitas
Oleh: Fr. Wilem Pieter Son
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandira Kupang
Pendahuluan
Berbicara tentang konsep kausalitas atau hukum sebab akaibat, terlintas di benak kita tentang pernyataan yang menyatakan bahwa sesuatu itu terjadi demikian karena disebabkan oleh ini dan oleh itu. Pemikiran kita langsung tertuju pada satu hal yaitu, sesuatu terjadi akibat sesuatu yang lain. Dengan kata lain bila ada sebab pasti ada akibatnya. Hal tersebut telah tertanam rapi dalam cara berpikir kita. Namun, apakah pernyataan demikian benar atau masih perlu diverifikasi. Untuk itu, tulisan berikut ingin membuka cakrawala berpikir kita yang sepertinya telah didogmatisasikan oleh pernyataan selama ini, yaitu bahwa sesuatu itu terjadi pasti ada sebabnya, ada sebab pasti ada akibat. Pernyataan demikianlah yang ditolak oleh Hume.
Konsep kausalitas merupakan salah satu konsep yang memainkan peranan penting dalam filsafat dan sains. Studi atas kausalitas berpusat pada usaha menemukan dan mendefinisikan hubungan antara sebab dan akibat, cause and effect. Masalah ini telah berkembang dalam analisis para filsuf sepanjang sejarah perkembangan filsafat. Pada abad IV SM, Aristoteles telah menawarkan sebuah analisis dari sejumlah jenis sebab yang dibutuhkan untuk menjelaskan perubahan-perubahan. Ia mengembangkan doktrin yang lengkap tentang kausalitas. Kausalitas menurutnya terdiri dari empat tipe, yakni sebab-sebab material, formal, efisien, dan final.
Doktrin Aristoteles itu menyiapkan sebuah landasan bagi penjelasan atas perubahan alam. Hal itu pun menyiapkan pembuktian yang digunakan selama abad pertengahan bagi eksistensi Allah yakni harus ada sebab pertama dari segala sebab, yang disebut Allah. William Ocham kemudian memandang sebab efisien sebagai konsep yang paling penting dari empat sebab Aristoteles. Ia mengidentifikasi sebab dengan sebab efisien.
Hobbes mengidentifikasikan persebaban dengan pengiriman gerak yang sangat menonjolkan kausalitas efisien. Geulincx mengidentifikasi Allah sebagai satu-satunya sebab alam semesta dan satu-satunya realitas. Locke mengatakan bahwa barang kali idea sebab timbul dalam pengendalian kita secara indrawi atas tubuh. Gerakan tunggal kita misalnya mengikuti gerak batin. Leibniz menekankan ratio sufficientis yang menggambarkan penekanan pada sebab formal, dan dalam teleologi sistemnya ia menekankan sebab final.
David Hume seorang filsuf empirisme membuat sebuah gebrakan baru. Dia boleh dianggap sebagai puncak empirisme, sebab ia menggunakan prinsip-prinsip empiris dengan cara yang paling radikal. Implikasi dari empirisme radikal menyentuh semua aspek dalam filsafatnya terutama berkaitan dengan masalah kausalitas. Dia menyangkal hakekat persebaban. Menurutnya sebab akibat hanya merupakan ide yang muncul dalam pikiran kita karena terjadi secara berurutan.
Kritik Hume atas konsep kausalitas merupakan elemen filsafatnya mempunyai pengaruh yang lebih yang besar dan lama. Analisisnya sering diserang dan bahkan disalahpahami.
DAVID HUME: KRITIK ATAS KONSEP KAUSALITAS
Persoalan Konsep Sebab-Akibat (Kausalitas)
Konsep kausalitas merupakan salah satu konsep yang memainkan peranan penting dalam filsafat dan sains serta agama. Studi atas kausalitas ini berpusat pada usaha menemukan dan mendefinisikan hubungan antara sebab dan akibat, cause and effect. Masalah ini merupakan persoalan klasik dan telah berkembang dalam analisis para filsuf sepanjang sejarah perkembangan filsafat.
Dalam konsep kausalitas ini dikatakan bahwa kalau ada peristiwa A terjadi lalu B terjadi, disimpulkan bahwa ada hubungan niscaya antara A dan B. Peristiwa B terjadi sebagai akibat dari peristiwa A. Atau pristiwa A menyebabkan terjadinya Peristiwa B.
David Hume tidak mengakui adanya kausalitas atau hukum sebab akibat ini. Dia mengatakan bahwa pada umumnya orang berpendapat bahwa penyimpulan soal-soal yang nyata tampaknya didasarkan atas hukum sebab akibat. Jika suatu gejala tertentu selalu disusun oleh gejala lain, dengan sendirinya kita cenderung kepada pikiran bahwa gejala yang satu disebabkan oleh gejala sebelumnya. Hume berpendapat bahwa pendapat tentang hubungan niscaya itu tidak benar dan didasarkan pada kebingungan belaka. Menurutnya segala peristiwa yang bisa kita amati memiliki hubungan tetap satu sama lain, tetapi hubungan tetap itu tidak boleh dianggap sebagai hubungan sebab akibat.
Hume memulai pendekatannya atas relasi sebab akibat dengan menanyakan dari kesan apa kausalitas muncul? “.....cast our eye on any two objects wich we call cause and effect”. Pada tempat yang pertama, tidak ada kualitas dari hal-hal yang dapat kita namakan sebab-sebab yang terjadi asal mula ide kausalitas. Karena kita tidak menemukan kualitas apapun yang biasa(common) bagi mereka semua. Dalam Treatise ia menulis bahwa kausalitas harus muncul dari relasi-relasi antara obyek-obyek dan relasi itu harus ditemukan.
Dalam Treatise-nya pula ia mendefinisikan sebab sebagai obyek yang mendahului (precedent) dan berdekatan (contiguous) satu sama lain. Dan dimana semua obyek mirip dengan yang pertama ditempatkan dalam relasi pendahulu sementara dan kedekatan obyek-obyek itu yang berdekatan kemudian. Selanjutnya ia menambahkan bahwa sebab adalah suatu obyek yang mendahului (precedent) dan berhubungan dekat satu sama lain dan begitu tersatukan dengannya ide-ide dari sesuatu mendeterminir pikiran untuk membentuk gagasan dari yang lain, dan kesan-kesan dari sesuatu membentuk sesuatu dan yang lebih hidup dari yang lain.
Analisis Kondisi-kondisi bagi Kausalitas
Hubungan Kedekatan atau Kontak
Relasi pertama menurut Hume adalah kedekatan atau kontak (contiguity). Kita biasanya mempertimbangkan bahwa untuk menjadi sebab, sesuatu bersentuhan dengan sesuatu yang disebabkan.
Hume mengatakan bahwa hubungan-hubungan itu tidak mencukupi (sufficient) untuk membedakan hubungan kausal dari keteraturan sebab dan masalah itu ditemukan dalam sesuatu yang tambahan atau kriteria untuk A yang benar-benar sebab, keterkaitan wajib atau apapun. Di sini Hume tidak bermaksud bahwa hal-hal yang kita anggap menjadi sebab dan akibat selalu berdekatan secara langsung, karena mungkin ada rangkaian sebab antara hal A, yang kita sebut sebab dan B dimana keduanya berdekatan, B dan C, dst., meskipun A dan Z (akibat) tidak berdekatan secara langsung.
Untuk menjelaskan hal ini Hume mengumpamakannya dengan bola billiard. Kita biasanya mempertimbangkan bahwa untuk menjadi sebab sesuatu bersentuhan dengan sesuatu yang disebabkan. Seperti ketika kita melihat bola billiard menggelinding menuju bola lainnya, dan bersentuhan. Ketika bola kedua bergerak kita akan menyatakan bahwa bola pertama menyebabkan bahwa bola kedua bergerak. Padahal menurut Hume setiap akibat terpisah dari sebabnya.
Pendahulu Sementara atau Suksesi
Hume mempertahankan bahwa sebab harus menjadi pendahulu sementara bagi akibat. Pengalaman membuktikan itu. Jika ada jarak tertentu, suatu akibat dapat secara sempurna ada bersama dengan sebab. Akibat akan dengan pasti akan segera mengikuti sebab. Dengan kata lain, sebab harus mendahului akibat. Kita menganggap bola billiard 1 sebagai sebab pergerakan bola billiard 2. Ketika mendapatkan dua kesan atas dua bola billiard itu, bahwa bola billiard 1 dalam ruang berdekatan dengan bola billiard 2 dan pergerakannya merupakan pendahulu sementara atas pergerakan bla billiard 2. Dan dua hubungan itu tergabung, sebab berdekatan secara ruang dengan akibat menjadi pendahulu sementara terhadap akibat, Hume menamakannya konjungsi."
Keterkaitan Wajib atau Keharusan
Menurut Hume hubungan yang ketiga adalah keterkaitan wajib atau dalam term-nya adalah neccesary connection. Dia menulis: “...an object may be contiguous and prior to another without being consider'd as its cause. There is a neccesary connection to be taken into consideration, and that relation is of much greater importance than any of the other two above mentioned” Keterkaitan wajib berarti hubungan antara sebab akibat dimana sebab menghasilkan akibat.
Dari pernyataan ini muncul dua pertanyaan menurut Hume. Pertama, "mengapa kita yakin atas prinsip kausalitas itu bahwa segala sesuatu yang terjadi memiliki sebab yang menjadikannya?". Prinsip ini menyatakan bahwa segala sesuatu harus memiliki sebab, bahwa tidak ada yang tidak disebabkan. Tidak ada yang muncul dari yang tidak ada. Dimana prinsip ini diakui oleh Descartes dan para Filsuf Skolastik generasi sebelumnya serta para rasionalis generasi post Hume. Hal itu dianggap sebagai kebenaran yang pasti dan jelas dengan sendirinya. Penalaran langsung dapat membuktikan kebenarannya.
Kita tidak akan bisa mengetahuinya dengan akal. Kita tidak bisa membuat analisis rasional mengenai esensi api yang menunjukan bahwa api dari korek yang dinyalakan bersentuhan dengan jariku menghasilkan akibat terbakarnya kulit jariku. la pun menegaskan bahwa akal tidak bisa memberitahu apapun pada kita mengenai fakta mengenal fakta seperti api.
Menurut Hume kita harus selalu mencari kesan indra atas keterkaitan wajib antara sebab dan akibat tertentu, misalnya korek api menyala ditanganku dan sensasi rasa panas karena api mulai menyentuh jariku. la mengatakan bahwa kita tidak bisa menemukan kesan indra atas keterkaitan wajib. Kita memiliki gagasan keterkaitan wajib antara sebab dan akibat tertentu setelah kita mengalami penggabungan sebab akibat secara berulang-ulang. Dia menamakannya dengan konjungsi konsta.
Jika gagasan keterkaitan wajib tidak dimiliki kesan yang berhubungan berarti pada empirisme Hume; tak ada kesan, tak ada gagasan. Gagasan keterkaitan wajib antara sebab dan akibat tidak layak dianggap sebagai pengetahuan.
Keterkaitan Psikologis Penggabungan Gagasan
Selanjutnya Hume menyimpulkan bahwa gagasan sebab dan akibat bukan pada obyek yang kita amati, melainkan hanya pada pikiran kita, hanya dorongan psikologis kita untuk mengaitkan satu sama lain: “I have found that such an object has always been attended with such on effect, and I forsee, that other objects, which are, in appearance, similar, will be attended with similar effects.”
Menurut Hume gagasan keterkaitan wajib antara sebab dan akibat tertentu bukan didapatkan dari pembuktian rasional sendiri dan bukan dari kesan indra empiris, tetapi hanya dari penggabungan psikologis atas gagasan kita. Hubungan sebab akibat tidak bersumber pada kesan indra tetapi hanya pada hukum psikologis kita sendiri. Tidak ada keterkaitan wajib antara obyek, yang ada hanyalah keterkaitan psikologis dari gagasan kita yang tergabung dengan gagasan lainnya.
Penyangkalan Keterkaitan Wajib Dalam Kausalitas
Dengan menyerang konsep kausalitas Hume sebenarnya juga mengeritik metode induksi yang dirintis sejak Francis Bacon. Metode ini didasarkan pada pengamatan atas gejala khusus yang disusul oleh gejala khusus yang lain, lalu disimpulkan adanya kausalitas universal diantara keduanya. Menurut Hume keyakinan ini hanyalah didasarkan pada animal faith, karena orang mengambil kesimpulan dengan gegabah. Ia menegaskan bahwa pentingnya sebab akibat bukanlah hubungan obyektif antara benda-benda yang bisa diteliti ilmuwan, namun merupakan dorongan subyektif untuk bisa mengaitkan sesuatu dengan hukum psikologis penggabungan gagasan.
KESIMPULAN
Tradisi sebelum Hume menempatkan hukum sebab akibat dalam posisi yang sangat sentral untuk menjelaskan segala peristiwa yang terjadi. Hume melancarkan kritik terhadap tradisi ini. Tradisi ini mengatakan bahwa melalui penalaran manusia dapat menemukan prinsip-prinsip pertama yang mengatur semesta (prinsip kausalitas). Berdasarkan prinsip kausalitas selama berabad-abad orang yakin betul akan adanya uniformitas dalam alam dan keabsahan pola pikir induktif. Pola pikir induktif adalah pola yang menegaskan hukum alam yang selalu sama di masa lampau dan akan selalu sama di masa depan. Masa depan akan sama dengan masa lalu. Ilmu empiris bekerja menurut prinsip ini.
Hume menolak prinsip kausalitas dengan argumentasinya bahwa pengetahuan manusia haruslah berupa relasi gagasan (relation of ideas) atau pengetahuan berdasarkan fakta (matter of fact). Pengetahuan manusia tentang hubungan sebab akibat menurut Hume bukan pengetahuan yang didasarkan pada relasi gagasan (relation of ideas). Yang bisa kita amati hanyalah bahwa gejala yang satu disusul oleh gejala yang lain (propter hoc post hoc), sedangkan kausalitas tidak bisa kita amati. Hume metihat bahwa hubungan kausalitas hanya merupakan kepercayaan naif (animal faith) yang didapatkan dari kebiasaan. Konsep yang tidak mempunyai dasar. Karena tidak ada keterkaitan wajib antara sebab dan akibat maka kita tidak mempunyai ide dan selanjutnya kita tidak mempunyai pengetahuan tentang kausalitas.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313