Puisi Yuditeha
| BIOGRAFI AYAH
Melajukan bakti yang dikukuhi atas kami, sampai tak memeduli
keringat menetes dan tulang meringkih.
Ada beban di pundak berwujud pertanyaan tentang masa depan kami
hingga ia abai pada segala keluh, dan selalu mencari celah cahaya.
Sekecil apa pun kesempatan, asal berada di ruas jalur akan tetap
ia tempuh meski sesekali berjumpa medan rumpang.
Tak pernah menghitung berapa kali ia melalui rambu
demi memipih tanah sebagai pijakan pertama sebelum kaki kami
menapak tilas, dengan cara menguntit usulan kebenaran.
Ia terus melenggang, meniti perlintasan keikhlasan meski
kadang harus menghilangkan harga gengsi
namun, baginya hal itu pun tak akan bermakna bila kami
tak mampu menuntaskan rindu pada kenyamanan lalu
segala amalan, dan doa akan mematri pada medan rindang agar
bisa menjadi tempat singgah kami karena lelah memerangi dosa.
Sesekali ia berbelok, menyiasati ketabahan yang berguna
untuk melihat ke belakang agar perhatian kami bisa saksama
dengan pegangan pada hening dan mengolah langkah dan
saling menyapa pada pengguna jalan agar
dunia asing tak begitu saja menjelma tuan penentu
terhadap segala jenis rute yang seharusnya kami tinggalkan.
Riak yang ada ia jadikan bahan pemantapan
keinginan tentang segala hal yang tak sempurna.
Raga tak menghitung telah berapa kali ia memegang teguh
tentang peta yang menerangkan kemurnian harta karun
yang bisa mencuci usia dari segala yang kotor.
Tanjakan yang kami jalani ia pasangi pemantau tersembunyi
di balik belukar agar kami tak merasa diteror, lalu benda dunia
sesungguhnya bukan satu-satunya penilai seberapa tangguh
kami bertahan dari gempuran ranjau yang ada di medan mana pun.
Lewat tapak-tapak tegas namun lentur, ia memberi tanda ke mana
kaki kami menuju hingga menjadi pengukur tentang laku.
Jalan yang menurun sesungguhnya hanya tentang kata-kata
yang sebaiknya disingkirkan dari sepanjang garis keturunan
lalu doa-doa yang ia lantunkan akan menggetarkan
jembatan penghubung antara martabat dan pengorbanan
tapi juga penemu jalan cabang mana yang akan kami pilih.
Tunas akan ditanam di tubuh rahim yang sepantasnya kami luluri
dengan minyak keluwesan hingga sampai pada kata dewasa.
Kerikil-kerikil akan dilembutkan lalu mengeras menjadi tempat
pijakan diiringi angin yang datang dari arah kiblat, asal dari segala
yang tak menjemukan, dan ia akan mewujud gambar dinding
yang kami pasang di perantauan hingga dari sana kelak kami
menemukan lorong penghubung pada ruang kangen.
Kami mendapat susu dari perempuan terbaik, dan ia menyisipi
nasihat tentang peraturan, bagaimana kami akan menentukan kekasih
dengan tidak hanya modal raga, yang sesungguhnya bagian itu
paling rapuh dan sering kami temui di sepanjang waktu perjalanan
yang meruangi semesta hingga melatari jalan yang kami lalui.
Ia menyingkirkan duri dan gulma lalu peta-peta baru terbentuk
membuat kekuatan yang tak hanya diisi kemenangan
yang sebenarnya bisa mengecoh kami tentang bagaimana
rupa setapak, dan ia tak akan menyerah sebelum kami selamat.
Karanganyar, 2022
Yuditeha
Menulis puisi dan cerita. Pendiri Komunitas Kamar Kata. FB: Yuditeha, IB: @yuditeha2
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313