selaksa luka berteduh sepi
jantungku memompa tak karuan
deru napas tersengal
cipratan hujan bulan ini-seketika basah
meraih satu genggaman
yang kemudian parau pupus
kakiku terasa gamang mengambil langkah
padika rindu seujung kalbu, menderu-deru
seracik luka kau tanam
sebilau pisau menancap teramat dalam
aku lupa tidak memakai zirah
agar tidak terhuyung sempoyongan,
dikau daksa yang kupuja
jua kau angkuh
menghunus sebab alasan pupus
nanar di tengah jalan
berdegup kencang seolah menghadapi kematian
luka ini tetap bertahan
Pakamban, 2021
Naf!
Naf,
Sungguh aku lupa cara menahu
Isyarat belum aku terima
Mata dan hatiku pun jauh dari waskita
Bagaimana mungkin kau mengharap rengkuh
Dari jiwaku yang ringkih?
Ini hanya tentangku atau anarsir bernama cemburu?
Ah, aku lupa bertanya, lagi
“tidakkah kau cemburu? Di hatiku tersimpan kekasih yang tak mungkin meninggalkanku”
Ini deraku atau deru serumu?
Naf, sekali lagi
Baik atau gelisah yang membelit dadamu
Adalah bait-bait yang menolak rencana
Sejak semula hidup ini tidur lelap; lelah yang kalap
Pakamban, 2021
Thaifur Rahman Al-Mujahidi, Mahasiswa Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan angkatan 2020
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024