RUMAH BAGI
ANAK-ANAK YANG TIDAK DIINGINKAN
Oleh: Christya Dewi Eka
Setiap pagi,
ia sarapan dengan sebutir peluru,
yang terpaksa harus ditelan bulat-bulat,
masuk tanpa dikunyah,
ke kerongkongan yang kerontang,
tak lupa,
minum secangkir air mata,
disaksikan sepasang cicak,
dari sudut pigura yang terpajang di tembok retak
ibunya,
adalah bidadari yang sibuk terbang menebar sari-sari bunga,
di perkebunan sebelah utara,
ayahnya,
adalah pangeran dari timur asing,
yang menaiki kuda putih bersurai emas,
membawa pedang penakluk siluman,
sahabatnya,
adalah biji-biji kenari dan belasan kelereng,
yang dimainkan setiap lengang,
untuk membunuh waktu
Semestinya,
ia tidak apa-apa,
sungguh tidak apa-apa,
hanya saja,
di tengah cuaca buruk,
angin pun berkabar buruk,
bahwa sepi itu binasa,
bahwa sepi itu jahanam,
dan ia (yang setiap pagi sarapan dengan sebutir peluru),
adalah anak malang yang lahir dikutuk menjadi sepi,
serta kehabisan celah untuk menjadi nomor satu
Betapa ia merindu,
alunan seruling mendayu di kota ini,
melantunkan lagu ajaib,
yang sanggup menerobos sukma,
sehingga sepi itu luruh,
sehingga sepi itu lesap,
dan ia lahir kembali,
menjadi bayi berpipi montok,
yang jemarinya lekat di dada ibu
“O, Nak,
pergilah ke Hamelin,
tunggulah sampai datang peniup seruling,
yang lagunya menyihir siapapun agar bergirang.”
Maka pergilah ia ke Hamelin,
berbekal beberapa peluru pengganjal perut,
menunggu si peniup seruling yang seperti penyihir
Belasan senja datang-pergi,
si anak tidur bertilam mimpi,
tentang ibu bidadari dan ayah pangeran,
yang lelah dan lupa jalan pulang,
karena istana sudah tiada,
dan rumah singgah menjelma karang,
pohon akasia penanda jalan sudah mati,
pohon cemara yang belum lagi besar pun gagal tumbuh,
dimakan benalu-benalu sial
Sampai ke suatu detik,
melantun suara seruling,
yang bunyinya benar-benar sanggup menerobos sukma,
lantas sepi itu remuk-redam,
ia (yang sarapan dengan sebutir peluru),
terlepas dari mimpi,
masuk ke pusaran lagu,
hingga hilang akal,
dan lupa semesta
Indahnya,
indahnya,
dalam lagu terbentang sebuah taman bermain luas,
penuh dengan ratusan-ribuan-jutaan anak bertubuh kurus bermata
cekung,
bersama larut,
tertawa,
bercengkerama,
tak ingin kembali
“Tiup lagi serulingmu, Kakak!
Kami janji tidak akan nakal.”
Setapak demi setapak,
si peniup seruling melangkah,
diikuti ratusan-ribuan-jutaan anak,
memintas lorong waktu,
menerobos kebun rahasia,
menuju katedral di atas bukit
Semestinya,
mereka tidak apa-apa,
sungguh tidak apa-apa,
semua baik-baik saja,
karena di puncak sana,
ada rumah bagi anak-anak yang tidak diinginkan,
dengan perapian hangat,
yang tungkunya selalu berkobar
Mereka tidak apa-apa
Ya!
Mereka baik-baik saja
Semarang, 9 Februari 2022
Christya Dewi Eka, lahir di Jakarta,
besar di Bekasi, dan kini berdomisili di Semarang bersama 7 buah hatinya,
lulusan Fakultas Sastra Indonesia Undip Semarang tahun 2003. Beberapa karyanya
dimuat di antaranya dalam antologi puisi multilingual Amor en Navidad (Sasami
Asih, 2022), Manuskrip Bintoro (Kepul, 2021), Khatulistiwa (Dari Negeri Poci
XI, 2021), Kami yang Lupa (Tadarus Puisi V, Lumbung Puisi, 2021), Poiesis 1
(Poiesis Community and Circle, 2021), media Harian Nusa Bali (2021), Radar
Pekalongan (2021), Ma'arif NU Jateng (2021), dan lain-lain.
Email: christyadewieka@gmail.com
Facebook: Christya Dewi Eka
Instagram: @christyadewieka2020
WA: 088239408965
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313