005

header ads

AKAR PENGHILANG DUKA | Cerpen Fileski


dimuat negerikertas.com 31/03/2024



“Seseorang akan menjadi paling manja saat bertemu cinta sejatinya, dan akan menjadi paling dewasa saat sudah mati rasa." Sepenggal kalimat yang pernah aku dengar langsung dari mulutnya ketika kami akan berpisah, sore itu. 


Sudah tiga hari, dua malam, aku tidur di sini. Di sebuah gua yang dekat dengan pohon besar, masyarakat sekitar sini menyebutnya pohon punden. Terletak di pinggiran desa, terdapat sebuah makam yang dikeramatkan, konon kata penduduk sekitar, makam yang ada cungkupnya itu adalah makam yang mbabat desa ini. 


Persetan dengan isu bahwa pohon ini adalah pohon angker. Katanya setiap malam sering terjadi penampakan di pohon ini. Tapi malam ini, aku tidur di gua yang dekat pohon besar ini, tidak ada penampakan apapun. Ya, ini pohon yang dikeramatkan penduduk desa, pohon yang letaknya tepat di samping punden.


Bukan tanpa alasan aku nekat bermalam di sini, aku ingin mencari ketenangan batin. Aku tidak ingin bertemu orang, yang membuat semakin keruh pikiran. Seringkali nasihat-nasihat mereka bukan malah menenangkan hati, tapi malah bikin makin sumpek. Orang sering lupa diri, kalau setiap orang akan diuji sesuai kadar kemampuannya. Sementara orang-orang yang sok bijak, sering asal bicara, sedangkan dia sendiri bukanlah yang menjalaninya. Maka seringkali saran yang diberikan tidak mengena, bahkan terkesan mengada-ada dan menyalahkan. 


Di sini aku benar-benar merasakan ketenangan, tenang, sunyi, bahkan lebih nyaman dari di rumah sendiri. Kalau di rumah pasti aku bertemu bapak. Segala petuahnya justru membuat telinga pecah. Ia jodohkan aku dengan gadis pilihannya, tapi sama sekali aku tidak selera padanya. Sedangkan ibu, hanya bisa menangis dengan segala pertengkaran ini. Begitulah nasib wanita di desa, seperti sepenggal pepatah jawa yang berbunyi “Suwargo nunut, neroko katut”. 


Sementar aku sangat mencintai seorang gadis yang sudah lama kukenal, sejak di bangku sekolah dasar. Dia bernama Rani. Mungkin bagi orang ia tak begitu sempurna, pipinya tembem, rambutnya tidak terlalu panjang, pun tingginya sedang-sedang saja, tapi aku mencintainya. 


Rani adalah anak pak RT. Dia termasuk anak yang pintar, selalu juara kelas, aku dan dia sering bersaing dalam hal akademis, kalau bukan aku yang juara satu, ya dia yang juara satu. Kami sering belajar kelompok, dan kedekatan ini membuat kami semakin paham karakter satu sama lain. Sampai akhirnya kami saling jatuh cinta. 


Kini ia jadi seorang mahasiswa di salah satu kampus ternama. Setiap dua bulan sekali ia pulang kampung untuk melepas kangen dengan ortunya dan kekasihnya. Ya, akulah kekasihnya, setidaknya sampai hari ini kami belum ada ikrar putus. Namun sepertinya hubungan kami sudah tidak berumur panjang. 


Aku merasakan dia sudah tidak seperti dulu. Bangku kuliah membuatnya semakin berpengetahuan luas, mungkin itu yang membuatnya jadi wanita yang dewasa dan berpendidikan. Tapi apa harus begitu, bukankah seseorang yang bertemu kekasihnya seharusnya menjadi wanita yang manja. Lalu apa bedanya aku dan lelaki lainnya kalau dia memposisikan diri sebagai wanita yang dewasa tanpa bermanja-manja di hadapanku. Sepertinya ia sudah mati rasa. 


Setiap kali bertemu denganya, kami sudah tidak lagi membicarakan tentang hal-hal yang dulu kami suka. Ia sudah beda selera, ia sekarang suka membahas politik, apalagi sekarang sedang musim kampanye. Seolah kalau jagoannya kalah, negara ini bisa runtuh. Begitulah Rani yang hari ini, sudah tak seperti dulu lagi. 


Ini malam kedua aku tidur di gua ini. Bulan purnama bersinar cerah, tanggal 15 bulan jawa memang sangat indah. Tak perlu ada lampu di makam ini, sudah sangat terang disinari cahaya dari sang purnama. “Rani, apa kabarmu di sana? Masihkah kau merindukanku? apakah engkau juga melihat rembulan malam ini?” ucapku dalam hati yang teramat rindu. 


Aku hanya seorang anak petani. Tak mampu aku mengejar cintaku untuk bisa se-level dengannya. Jangankan untuk bisa kuliah ke kota besar seperti Rani, kuliah di kampus swasta terdekat saja, aku tidak mampu. Ladang dan sawah adalah kampus sekaligus kantorku. Aku belajar mengamati padi dan air yang mengalir, aku belajar dari merenung di bawah sinar rembulan. 


Sore itu kami berpisah, ia bilang akan tidak pulang dalam waktu lama. Karena banyak kegiatan di kampusnya, ia ikut jadi anggota BEM. Dengan ketegasan sikap yang dewasa, seolah sudah tidak ada kangen-kangennya kepadaku. Metropolitan telah mengubah wajah kekasihku. Aku pun hanya bisa merelakan orang yang aku cintai pergi mengejar apa yang jadi ambisinya. Dengan secuil harapan aku masih percaya bahwa kelak ia akan sadar “Akulah lelaki yang paling tulus mencintaimu, bagaimanapun keadaannya nanti, aku tetap menunggu” ucapku dalam hati sambil melambaikan tangan, saat ia semakin menjauh ditelan kabut yang mulai turun. 


Hanya di dekat pohon ini aku temukan ketenangan, tidak ada yang berani lalu lalang di sini. Dunia terasa sudah menjauh, aku seperti manusia yang terbuang. Ia yang dulu kugadang-gadang menjadi wanita yang setia bersamaku di ranjang dan di ladang, kini sudah berubah. Aku malu dengan keluarga, dengan tetangga, dan semuanya. Bagi mereka, aku memang tidak layak bersama Rani yang mengenyam pendidikan akademis perguruan tinggi, sedangkan aku hanya lulusan SMP. 


Ajaibnya pohon ini, segala duka dan tangis akan hilang jika dibawa mendekati pohon ini. Tidak tau kenapa, duduk di bawahnya bisa membuat hati jadi ayem tentrem. Air mata yang tadinya mengalir deras, akan berhenti dan berubah jadi senyuman. Pohon ini memiliki akar gantung yang baunya sangat wangi. Seolah pohon ini menghipnotis seseorang untuk melupakan kesedihannya. Itu cerita kakekku, ketika aku masih kecil dulu. Dan hari ini benar-benar aku buktikan bahwa cerita itu bukan sekedar isapan jempol belaka, tapi benar-benar nyata. 


Dulunya pohon ini sangat ramai pengunjung. Setiap ada orang yang sedih, pasti datang ke pohon ini. Entah apa nama pohon ini, mirip seperti pohon beringin, tapi bukan. Sama sama mempunyai akar yang tumbuh di sela-sela batangnya. Akarnya yang wangi, menjulur dari atas ke bawah. Dengan cara mencium akarnya yang menjulur itu, baunya seperti bau melati, begitu wanginya masuk dari hidung merasuk ke otak, segala duka langsung hilang. Dulu konon katanya, siapapun yang kesini akan betah berlama-lama, bahkan tidak mau pulang.


Sekarang pohon ini sudah tak dikunjungi orang-orang lagi. Karena mendekati pohon ini, dianggap solusi sesat, larangan dari para ulama untuk mendekati pohon ini. Larangan untuk tidak syukuran atau sedekah bumi di punden ini, diarahkan untuk syukuran di masjid saja. Membuat punden desa kami semakin ditinggalkan. Ditambah lagi dengan dominasi isu bahwa pohon ini pohon angker, isu sering ada yang bunuh diri di sini, dan sering ada penampakan hantu di sini. Sehingga orang-orang tak lagi akrab dengan tempat ini lagi. Hingga makam keramat yang ada di sini sudah tidak terawat lagi. 


*****


Rani pulang dari rantau. Ia bilang kalau ia cuti kuliah. Selama pulang, ia sama sekali tak keluar rumah. Kedua ortunya juga bingung, kenapa anaknya jadi pendiam seperti ini. Sehari-hari hanya mengurung diri di kamarnya. Karena takut anaknya sakit, ibunya selalu mengantarkan makanan ke kamarnya agar ia tetap makan. 


Dengan mengumpulkan keberanian aku pun mendatangi rumahnya untuk menanyakan kabar “Permisi bu, bukan maksud saya mengganggu Rani, meski sekarang hubungan kami sudah tidak seperti dulu, saya sadar diri, namun saya prihatin atas kondisi yang menimpa Rani” dengan penuh harap agar bisa diizinkan bertemu Rani. 


Aku diijinkan untuk masuk rumah oleh ibunya. Dan kami pun ngobrol berdua di ruang tamu. Memang dia terlihat sangat depresi. Entah kejadian apa yang menimpanya, sehingga membuat kantung matanya tampak legam. Apa yang membuatnya sedih hingga air matanya mengering, duka apa yang telah menimpanya. Segala tanya berkecamuk di kepalaku. 


Aku menemukan ide, mengajak Rani untuk pergi ke pohon punden akar wangi. Dengan tujuan menghapus kesedihan Rani. Ortunya mengijinkan aku membawa anaknya pergi jalan-jalan, aku tidak bilang kalau mau mengajaknya ke punden. Mungkin ortunya sudah menyerah, hanya ingin anaknya kembali ceria seperti sedia kala. Aku yang dulunya dilarang mendekatinya, sekarang malah diperbolehkan membawanya. 


Sesampainya di area punden, raut wajah kesedihan Rani mulai memudar. Mungkin pengaruh semerbak akar wangi, memang beberapa meter saja, kita sudah bisa mencium aromanya. Bagi orang yang tidak biasa, bau seperti itu dianggap bau angker yang identik dengan penampakan hantu. 


Kami pun ngobrol di bawah pohon, dan membincangkan segala hal. Dengan wajah yang tak lagi terlihat depresi, Rani menceritakan semuanya, mulai dari kenapa dia pulang, dan kenapa tidak ingin balik kuliah lagi. 


Setelah Rani menceritakan semuanya, aku antarkan Rani pulang ke rumahnya. Aku pun meminta Rani untuk menceritakan sejujurnya tentang apa yang terjadi. Bagaimanapun semua harus segera jelas. Agar beban di hati tak ada lagi yang mengganjal. Walau dengan segala rasa tidak percaya akan kenyataan yang terjadi, tetap kenyataan harus dikabarkan. Dan aku, siap untuk menanggung beban hidup yang menimpa Rani. Akulah lelaki yang bersedia menerima ia apa adanya, dengan kondisi apapun, cintaku pada Rani tak akan berubah. Dan kami berdua pun menikah. 


Setelah menikah, kami tinggal di gua dekat punden akar wangi, sampai anak ini lahir. Tak ada yang mendengar suara tangis bayi ini, karena akar wangi membungkam segala kesedihan. Akar wangi juga menghapus masa lalu Rani yang suram. 


Di sini lahir seorang bayi laki-laki dari benih aktivis mahasiswa yang tak mau bertanggung jawab. Tingginya ilmu membuat manusia pandai berorasi, namun tak bijak dalam berbuat. Aku seorang lelaki desa, bertanggung jawab atas apa yang tidak aku perbuat. Atas nama cinta aku kan menjaganya, membesarkannya, merawatnya, seperti anakku sendiri. Menghidupinya dengan padi dari keringat, hujan, dan sawahku sendiri. (*)





Posting Komentar

0 Komentar