005

header ads

Seragam Sastro

https://pixabay.com/id/photos/menunggu-jam-tangan-pria-janji-temu


Menjadi pegawai negeri bukanlah impian Sastro selepas kuliah. Ia hanya ingin  memiliki toko kelontong yang tiap hari dapat pemasukan. Ia tak mau menjadi orang gajian yang hanya  menerima uang setiap awal bulan. Ia ingin setiap hari mendapat pemasukan alias tiap hari memegang uang pendapatan.


Bukan hanya itu, bagi Sastro menjadi pegawai negeri adalah pekerjaan yang memalukan di mata para tetangganya. banyak warga desanya menganggap bahwa pegawai negeri biasanya malas-malasan dan tukang catut anggaran negara. Dan lagi, jika berurusan dengan masyarakat selalu saja berbelit-belit dengan berbagai macam alasan. Inilah alasan yang menguatkan Sastro tidak memilih pegawai negeri sebagai cita-citanya.


Saat pedaftaran CPNS waktu itu, ia hanya ingin membuktikan pada kawan-kawannya bahwa untuk menjadi pegawai negeri semua orang bisa tanpa harus menyogok atau lewat orang dalam. Ia masih yakin jika semua pegawai negeri hasil sogokan maka negeri ini sudah pasti rusak sejak dulu. Itulah alasan ia pada akhirnya mendaftar menjadi pegawai negeri.


Sudah lebih dari lima belas tahun Sastro menjadi pegawai negeri. Namun gaya hidup Sastro masih seperti dulu. Sering cangkruk di warung kopi dengan hanya berkaos oblong  dan memakai sarung saja. Ia jarang terlihat necis kecuali saat bekerja karena ia harus memakai seragam. Hanya saat sedang berseragam khaki itulah Sastro terlihat rapi dan necis.


“Sas, semua teman seangkatanmu sudah pada punya rumah, bahkan mobil. Kamu kapan?” itulah pertanyaan ibunya yang selama ini membuatnya gundah karena belum bisa membuat ibunya bangga. Ia masih tinggal di rumah kontrakan dengan keluarganya. Ibunya ingin Sastro tampil mewah, maklum sebagai wanita kampung,  kemewahan sering  dianggap sebagai ukuran sebuah kesuksesan.


Ia memang akan terlihat sedih jika ibunya menanyakan perihal apa yang sudah ia punya selama menjadi seorang  pegawai negeri. Ibunya memang seperti orang kampung kebanyakan, mereka menganggap menjadi pegawai negeri adalah  profesi yang bergaji besar dan banyak uang. Anggapan bahwa pegawai negeri adalah profesi yang bisa membikin kaya memang ada dasarnya. Kebanyakan pegawai punya rumah dan tak jarang sering gonta-ganti mobil. Meskipun masih banyak juga yang hidupnya pas-pasan.


Ya, memang ketika Gus Dur jadi presiden, gaji pegawai negeri dinaikkan lebih dari seratus persen. Yang dulunya gajinya hanya ratusan ribu rupiah mendadak jadi bernilai jutaan rupiah. Namun itu hanya berlangsung tidak lama karena seminggu kemudian harga barang-barang ikut naik dan gaji yang  bernilai jutaaan itu pun bernilai sama seperti semula.


Sebelum harga-harga ikut naik, para  pegawai negeri itu merasa  seperti tak bakal kehabisan uang. Mereka bisa memenuhi kebutuhan hidupnya bahkan bisa menyisihkan gajinya sebagian  untuk anggaran bersenang-senang. Ketika gaya hidup yang sudah menjadi terbiasa berfoya-foya  itu tak bisa diubah lagi tiba-tiba harga-harga ikut naik yang pada akhirnya membuat mereka kedodoran.


Sastro termasuk yang beruntung, meski harga-harga naik di kemudian hari karena ia tak terbiasa bergaya hidup mewah. Hal ini  karena ia menyadari tak bisa berpenampilan seperti orang kaya. Cara berpakaiannya pun sering tidak sesuai mode terkini dan dalam hal kebutuhan perut pun ia sudah cukup puas dengan warung sederhana dengan menu seperti masakan ibunya sehari-hari.


Kadang-kadang sastro sering menertawakan dirinya sendiri di depan cermin. Sambil menyesuaikan seragam khakinya, ia sering bicara sendiri dalam hati. Ah seragam ini sepertinya membuat orang lain silau. Memang, ketika sedang berseragam, ia terlihat parlente dan seperti orang yang mempunyai banyak uang.  Padahal ia hanya pegawai negeri biasa yang melakukan pekerjaan biasa-biasa saja.


“Ketika sedang berseragam begini banyak orang yang tertipu dengan penampilanku, Bu,” ujarnya pada istrinya yang sedang mendapati dirinya ketika sedang bercermin pada suatu pagi yang agak lembab karena gerimis turun semalaman.


Istri yang telah menemaninya selama sepuluh tahun itu pun hanya tersenyum tipis. Mukanya merah. Mungkin ia memaklumi ucapan suaminya. Hidup yang dijalaninya selama ini  seperti ancik-ancik eri, karena antara cukup dan kekurangan selalu mengintai tiap hari. Meski demikian,  Ita pun merasa nyaman selama ini Sastro selalu mempunyai jalan keluar di luar dugaan setiap kali rumah tangganya ada kesulitan.


Dalam perjalanan ke kantornya sambil mengendarai motor bututnya, Sastro  teringat kepada  Dodi, teman seangkatannya, yang sehari-hari menggunakan mobil ketika ke kantor. Gayanya cukup keren dengan perawakan yang memang sangat gagah dan berwajah bagai artis sinetron. Dodi ini teman seangkatannya ketika masuk sebagai pegawai negeri sipil, yang kebetulan ditempatkan di dinas yang banyak mengelola anggaran negara dengan jumlah yang besar. Ia pun sering memegang proyek pemerintah yang ada di tempatnya bekerja.


Sastro sering heran dengan gaya hidup Dodi yang baginya terlalu boros karena gajinya sama dengannya. Gaji yang hanya cukup untuk makan dan membayar uang rumah kontrakan. Itu pun akan cukup sebulan jika salah satu anggota keluarganya tidak sakit. Rumah Dodi ada di lingkungan perumahan mewah dan kendaraannya pun tiap tahun selalu berganti modelnya.


Dodi berbeda dengan Azis, meski mereka berdua satu kantor dan golongannya sama ,namun Aziz lebih beruntung karena diambil sebagai menantu tuan tanah di desanya. Azis banyak disokong oleh mertuanya karena istrinya adalah anak tunggal. Rumah dan mobil yang ia pergunakan sekarang ini adalah hasil pemberian mertuanya. Kalaupun terlihat boros, Azis masih punya cadangan harta yaitu tanah yang diwarisi dari mertuanya.


Meski sering berurusan dengan aparat hukum, Dodi selalu selamat dari tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepadanya. Berkali-kali dugaan korupsi selalu mengarah kepada proyek yang ditanganinya. Entah karena kecurigaan karena gaya hidupnya yang terlihat mewah atau memang proyeknya bermasalah, hampir tiap tahun Dodi mesti keluar masuk ruang kejaksaan.


Bagi Sastro kedua temannya ini adalah contoh yang menjadi cerminan dalam bersikap dan bekerja. Sastro tak bisa meniru keduanya karena baginya itu sudah nasib mereka. Kehidupan orang lain memang tak seperti yang kita sangka. Cara kerja mungkin bisa sama tapi rejeki orang berbeda-beda, begitulah salah satu nasehat ustadz, yang ia dapatkan  di salah satu khotbah jumat yang ia ikuti.


“Enak, ya jadi pegawai negeri gajimu besar dan segala fasilitas ada,” kata Ardi, kawannya yang seorang tukang kayu. Sastro hanya memberikan jawaban dengan  senyuman singkat pada Ardi kawannya itu. Ardi memang selama ini melihat kehidupan Sastro seperti jarang mengalami kesulitan  dalam hidupnya. Dengan tiga anak yang masih sekolah, Sastro sepertinya tak pernah mengeluh atau berhutang kepada tetangganya. Tiap pulang kerja Sastro pun masih ikut duduk- duduk bersama di musala selepas Isya tanpa terlihat lelah di mata Ardi.


Pernah suatu ketika Ardi menanyakan berapa gaji yang diperoleh Sastro  dalam sebulan. “Gajiku jika dihitung harian, besarannya sama dengan kebutuhan hidupku dengan cara paling sederhana.” begitulah jawaban yang sering ia berikan. Banyak di antara temanya yang tidak percaya. Bagi sastro keingintahuan temannya perihal jumlah gaji ini membuatnya tidak nyaman. Namun, dengan terpaksa, hal itu dijawabnya agar temannya  tahu bahwa kehidupan  hanyalah sawang sinawang bagi orang lain. Kita akan selalu melihat orang lain lebih daripada kita.


Bagi Sastro cara hidup orang berbeda-beda dan masing-masing punya cara sendiri-sendiri untuk menjalankan kehidupannya. Tak peduli orang itu pegawai negeri, tukang kayu, guru atau profesi yang lainnya. Semua punya cara dan keunikan masing-masing menyiasati persoalan kehidupannya.


Setiap sore Ardi dan Sastro sering duduk-duduk di joglo milik pak Karto seorang bos ikan di kampungnya. “Mengapa aku harus berkeluh kesah ke sana-ke mari. Bagiku itu hanya akan membuat kalian menertawakan kemalanganku,” jawab Sastro ketika Ardi penasaran dengan kehidupannya yang selalu penuh dengan senyum. Suasana di joglo sore itu menjadi penuh tawa ketika Sastro memberikan jawaban pada Ardi.


“Masa, sih pegawai negeri pernah kesulitan dalam hidupnya?” Tanya Karto sambil menyuguhkan singkong goreng ke tengah mereka.


“Lha, ini buktinya, Aku pun sudah cukup bahagia dengan singkong goreng ini. Asal tubuh kita sehat apalagi yang kita keluhkan. Makan enak, tidur enak mau apalagi coba?”


“Memang hidup cuma urusan makan dan tidur saja, Sas.” Ardi menambahkan.


Sastro sepertinya tertohok dengan ucapan Ardi, sambil merenung ia melanjutkan, “Ini bukan khotbah, ya.. Hidup kita sebenarnya sudah beres, jika badan kita sehat. Mau apa saja kita bisa mengupayakannya tanpa kesulitan. betul, kan?”


Karto yang sejak tadi diam ikut menambahkan, “Kamu terlalu menyederhanakan hidup, Sas. Bukankah orang punya banyak keinginan dan kebutuhan dalam hidupnya.”


“Nah..ini…. kita harus bisa membedakan keinginan dan kebutuhan dengan saksama agar tak ruwet dalam menyusuri kehidupan,” Sastro menegaskan.


Sambil memulai mencicipi singkong goreng suguhan Karto, mereka yang hadir di sana melanjutkan obrolannya. Bagi teman-temanya, cara berpikir sastro terlalu sederhana. Mana mungkin jika hidup hanya diukur cuma dengan sehatnya tubuh. Dan mereka masih tidak bisa menerima dengan alasan itu.

 

 AGUS BUCHORI

 

Penulis lahir di desa nelayan, Paciran, di pesisir utara Kabupaten Lamongan. Bisa dihubungi di agusbuchori@gmail.com

Posting Komentar

0 Komentar