oleh: Emi Suy
Festival Sastra Jakarta Barat yang diselenggarakan pada Sabtu, 6 Desember 2025 di PPSB Gedung Kesenian Jakarta Barat hadir sebagai sebuah peristiwa budaya yang bukan hanya dirayakan, tetapi dialami. Sejak pagi, udara Rawa Buaya dipenuhi langkah-langkah harapan: panitia, tokoh masyarakat, Suku Dinas Kebudayaan, komunitas sastra, para guru, sanggar, siswa, seniman, dan warga berkumpul dalam satu ruang yang menjadi saksi tumbuhnya imajinasi kota. Tema besar festival—Dengan Sastra Kita Bentuk Wajah Kota Global Penuh Pesona—tidak hanya menjadi kalimat pembuka, melainkan ruh yang menjiwai seluruh rangkaian acara. Sebab globalitas sebuah kota tidak lahir dari gedung tinggi atau lampu-lampu modern, melainkan dari warganya yang merawat akar budaya, menghidupkan seni, dan menegakkan welas asih di tengah kehidupan yang bergerak cepat. Festival ini membuktikan bahwa sastra, sekecil apa pun bentuknya, justru menjadi pilar yang memperkuat identitas kota.
Sejak pukul 09.30, sambutan pembuka dari Panitia, Lurah Rawa Buaya, dan Sudin Kebudayaan menegaskan bahwa festival ini adalah wujud kerja kolektif. Ia bukan sekadar panggung hiburan, melainkan rumah untuk suara-suara yang sering terabaikan. Pukul 10.00, rangkaian Persembahan Warga menjadi pembuktian bahwa seni lahir dari akar komunitas yang tidak pernah berhenti bergerak. Baca puisi, tari penyandang disabilitas, kasidah hadroh, dan musik orkes Melayu tampil dengan kehangatan yang menembus batas formal sebuah festival. Sanggar El Cermin Islami dan komunitas-komunitas lainnya menyalakan semangat bahwa kebudayaan komunitas adalah denyut kehidupan kota.
Di antara seluruh penampilan, salah satu yang paling menggugah adalah hadirnya anak-anak penyandang disabilitas yang tampil dengan keberanian luar biasa. Mereka tidak sekadar berdiri di atas panggung—mereka menghadirkan cahaya. Gerak mereka, suara mereka, keteguhan mereka membuat mata banyak orang meleleh menahan haru. Sebagai penonton, saya—dan banyak lainnya—merasa mendapat pelajaran bahwa keberanian tidak selalu tampak dalam bentuk kemenangan; kadang ia hadir dalam langkah kecil ketika seseorang memutuskan untuk tetap maju, apa pun kondisinya. Saya memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada anak-anak disabilitas itu, kepada sanggar yang membina, kepada orang tua yang mendampingi sepenuh hati. Mereka memberi lebih dari sebuah pertunjukan; mereka memberi pelajaran kemanusiaan.
Memasuki pukul 13.00, panggung diisi oleh Lomba Baca Puisi Kelompok dari berbagai sekolah dan komunitas. Anak-anak muda tampil dengan kreativitas yang mencolok: pembagian suara, teknik vokal, koreografi, ritme, dan keberanian yang lahir dari kerja kolektif. Lomba ini bukan hanya tentang siapa yang menang atau kalah, melainkan ruang bagi generasi muda untuk belajar mengolah rasa, bekerja sama, dan percaya bahwa kata-kata dapat menjadi jembatan masa depan. Mereka adalah calon penjaga sastra kota di masa yang akan datang.
Untuk lomba Baca Puisi kelompok festival sastra ke 2 tahun depan, kita akan banyak lomba sastranya tentunya.
Rangkaian berikutnya, pukul 14.00, adalah Kompilasi Sastra—sebuah pertemuan para penyair dan pembaca puisi dari berbagai komunitas. Nama-nama seperti Hery Tany, Arie Toskir, Ei Genggong Bandito, Le Suyud, Emak Ocha, Jalih Pitoeng, Boy Mihaballo, peserta LBPJK, dan lainnya menghadirkan lanskap sastra yang penuh warna. Masing-masing membawa gaya, luka, humor, dan dunia mereka sendiri. Dari sini terlihat bahwa Jakarta Barat bukan hanya kota administratif; ia adalah ruang yang menampung berbagai dialek sastra yang tumbuh berdampingan.
Pukul 15.30, Panggung Sastra Tradisi menampilkan Betawi dalam kemegahan kulturalnya. Pantun Betawi, Sahibul Hikayat, Topeng Blantek, Puisi Beriama, dramatiasi puisi, serta ragam pertunjukan tradisi tampil dari Aldo Cs, Kukuh Santosa, Komunitas Seni Budaya Betawi, Cermin Kalam Sada, dan Sangsena Rontje Melati. Dalam segmen ini, kita diingatkan bahwa sebuah kota modern tidak boleh tercerabut dari akar tradisinya. Globalitas yang sehat adalah globalitas yang berpijak pada tanahnya sendiri.
Menjelang sore hingga malam, festival memasuki rangkaian panjang persembahan seni: Anugerah Pemenang Lomba Baca Puisi Kelompok, Musikalisasi Puisi oleh Anthurium Musikal Kristoforus II, Tarian Nusantara oleh Sanggar Tari Raisya, serta pembacaan puisi oleh Emi Suy dan Octavianus Masheka. Pada momen pembacaan puisi, ruang terasa seperti sedang bernapas perlahan. Penonton larut dalam kata-kata tentang luka sosial, harapan kota, serta kesunyian manusia urban. Di sinilah sastra menunjukkan daya sembuhnya: ia menggetarkan sekaligus menenangkan.
Pukul 19.40, maestro Jose Rizal Manua tampil membacakan puisi, menandai bahwa festival ini adalah pertemuan lintas generasi. Nama-nama lain yang turut menyemarakkan panggung sepanjang hari antara lain Jose Rizal Manua, Bambang Oeban, Imam Ma’arif, Emi Suy, Octavianus Masheka, Anto RistarGie, Exan Zen, Arie Toskir, Jalih Pitoeng, Herry Tany, Jack Al Ghozali, E.B Magor, Le Suyudi, Emak Ocha, Abdul Aziz, Ei Genggong Bandito, Boy Mihaballo, Abi Manyu, Inung Nurjanah, Kukuh Santosa, Lentera Pusaka Budaya, Komunitas Seni Budaya Betawi Jakarta Barat, Orkes Melayu Al Jabbar, Sangsanja Rontje Melati, Teater Cermin Kalimasada, Sanggar Tari Raisya, Anthurium Musikal Santo Kristoforus II, serta para pendukung lainnya. Di penghujung malam, duet penyair kembar Maoet, Imam Ma’arif dan Bambang Oeban, memberikan energi penutup yang kuat bersama dongeng Exan Zen, Siyar Syair oleh Musikal Puitisasi Shirootul Mustaqiim, serta Teater Sastra Tradisi & Inovasi oleh Sanggar Pusaka Budaya.
Di tengah kemeriahan, terjadi salah satu momen paling indah: spontanitas penggalangan donasi untuk korban banjir di Sumatra. Tanpa instruksi resmi, warga, seniman, penonton, dan panitia bergerak dengan hati. Mungkin jumlahnya tidak besar, tetapi nilai moralnya luar biasa. Aksi kecil itu menunjukkan bahwa sastra bukan hanya perayaan kata, melainkan perayaan kepedulian. Ia mengingatkan bahwa kemanusiaan adalah inti dari segala kebudayaan.
Festival sebesar ini tidak mungkin berjalan tanpa kerja gotong royong. Panitia bekerja dengan ketulusan yang tak selalu terlihat di panggung, tetapi sangat terasa dalam kelancaran acara. Untuk bagian Stage, Mono Jagger dan Fauzi mengatur alur penampilan dengan ketelitian yang membuat setiap segmen berjalan mulus. Pada Lighting, Jambul El Genggong memastikan setiap cahaya jatuh pada wajah, gerak, dan momen yang tepat. Tata Bangku dan Meja ditangani oleh Benny, Pancoko, dan Herry Tany yang bekerja tanpa henti sejak pagi. PLC Konsumsi dikelola oleh Nurfa Octaviani yang memastikan semua panitia dan penampil terurus dengan baik. Bagian Sound/Mic ditangani oleh Agus El Waspada dan Buyud Suyudi, menjamin suara seni dapat terdengar jelas oleh penonton. Dokumentasi dikerjakan oleh Deinar Aliefiean dan Seksi Repot, merekam jejak yang kemudian akan menjadi arsip sejarah kota. Admin Tamu/Peserta dijalankan oleh Azzam yang mengatur arus kehadiran dengan sabar. Semua ini adalah wajah gotong royong yang sesungguhnya.
Dan dari festival ini, saya memetik pelajaran yang tidak akan saya lupa. Saya belajar bahwa sastra bukan hanya panggung dan tepuk tangan; ia adalah ruang di mana manusia saling melihat dengan mata yang lebih jernih. Saya belajar bahwa keberanian bisa tampil dalam bentuk paling sederhana—seperti langkah seorang anak disabilitas yang berdiri di panggung untuk pertama kalinya. Saya belajar bahwa empati dapat muncul tanpa komando, seperti saat donasi spontan untuk Sumatra terkumpul dari tangan-tangan kecil warga. Saya belajar bahwa seni yang tulus selalu lahir dari kerja yang senyap, dari panitia yang mungkin tidak pernah naik panggung tetapi justru menjadi tulang belakang acara. Saya belajar bahwa sebuah kota menjadi global bukan karena ia ingin menyaingi dunia, tetapi karena ia merawat manusia-manusianya dengan lembut.
Pada akhirnya, Festival Sastra Jakarta Barat bukan hanya sebuah acara. Ia adalah cermin: menunjukkan siapa kita, apa yang kita perjuangkan, dan bagaimana kita ingin kota ini tumbuh. Ia adalah rumah sementara di mana kata-kata menemukan tubuhnya, di mana manusia menemukan sesamanya, di mana empati kembali menjadi bahasa yang menyatukan. Ketika festival ditutup pada pukul 21.30, suasana gedung mungkin kembali sepi, tetapi dalam diri setiap orang yang hadir, sebuah cahaya kecil telah menyala.
Sastra, pada akhirnya, bukan hanya tentang menulis atau membaca. Ia adalah cara kita menyentuh satu sama lain. Dan kota yang disentuh oleh sastra adalah kota yang akan terus hidup, tumbuh, dan mencintai warganya—setiap hari.
Rawa Buaya, 7 Desember 2025

0 Komentar
Lingkar literasi, sastra, dan seni budaya Asia Tenggara serumpun Bahasa.