005

header ads

Cerpen : SECARIK KERTAS DENGAN SELARIK KALIMAT | Munkhayati

 



SECARIK KERTAS DENGAN SELARIK KALIMAT

Oleh: Munkhayati

 

Di sekolah kami, siapa sih yang tidak kenal dengan pak Fendi, seorang guru Matematika yang selalu saja ingin tahu urusan murid, nyinyir banget, padahal dia tuh bukan Kesiswaan ataupun Guru Bimbingan Konseling lo. Informasi yang kami dapatkan, Guru Bimbingan Konseling sih merasa sangat terbantu dengan keaktifan Pak Fendi yang tiap hari kasak kusuk cari informasi tentang masalah murid.  Penampilan bapak guru yang satu ini, sederhana, wajah biasa yah standarlah nilai kalau pakai angka 75, badannya yang tinggi agak ceking, kulit coklat dengan rambut belahan samping yang selalu rapi, sering mengingatkan tentang aturan sekolah, sehingga ada sebagian teman yang menyimpulkan Pak Fendi cita-citanya dulu ingin menjadi Guru Bimbingan Konseling, tetapi gagal. Sisi baik pak Fendi yaitu sangat perhatian pada muridnya, yang tidak masuk sekolah dicari tahu alasannya, yang sakit disarankan ke UKS atau diberikan obat, yang tidak mengerjakan tugas diminta menyelesaikan di perpustakaan, yang lupa dengan aturan sekolah yang sudah menjadi kesepakatan selalu diingatkan. Pak Fendi di kalangan murid cowok dikenal sebagai “Barber of the school” karena sering diminta tolong untuk merapikan rambut murid yang awut-awutan baik panjang maupun modelnya.  Jika sudah diingatkan beberapa kali tapi belum juga dirapikan rambutnya dengan berbagai alasan, seperti lupa dan tidak punya uang, kadang ada juga yang atas inisiatif sendiri minta potong rambut ke Pak Fendi.

Biasanya awal masuk sekolah seusai libur  semesteran, Pak Fendy kebanjiran konsumen.  Bagaimana tidak, pada masa liburan banyak murid yang berpenampilan aneh terutama  cowok lupa atau sengaja membiarkan rambutnya  panjang bahkan dicat dengan warna yang sedang "in".  Nah, kalau sudah begini dan diingatkan lagi ternyata murid masih saja belum bergeming, baru Pak Fendi diminta untuk membantunya. 

“Selamat pagi pak…,” sapaku pada Pak Fendi ketika lewat di rumah jalan dekat kelasku.

“Selamat pagi juga mba Yanti, lo itu di presensi Reno sakit sudah dua hari sakit apa ya? “jawab beliau menjawab sapaan salamku sekaligus bertanya.

“Nda tahu pak.”

“Besok yang rumahnya berdekatan dengan Reno untuk menengok ya, gimana kondisinya,”pesan beliau berlalu melewati koridor menuju kelas IXA.

            Hari ini jam ke-6,7 kelas IXF adalah pembelajaran Matematika yang diampu Pak Fendi.  Seperti biasa setelah diskusi pemahaman konsep materi, Pak Fendi melakukan penguatan  dengan memberikan soal-soal studi kasus dan murid diminta berkelompok mendiskusikannya.  Sembari berkeliling memantau jalannya diskusi beliau memperhatikan penampilan tiap murid.

“Nah ini dia…kok rambutnya belum juga dirapikan ya?”tanya Pak Fendi sambil menunjuk ke rambut milik Edi yang sudah beberapa kali diingatkan.

“Ya pak mau cukur belum ada uang,”jawab Edi sambil duduk beringsut agak menjauh.

“Sudah agak lama lo dan sudah beberapa kali diingatkan.  Kalau tidak ada uang apa nanti sepulang sekolah ketemu pak guru dulu dirapikan, gimana?”

“Nda usah pak, nda enak dengan pak guru.”

“Elwin tolong nanti sepulang sekolah, Edi ditemani  ketemu dengan pak guru untuk dirapikan rambutnya ya?” pinta Pak Fendi pada Elwin.

“Siap pak!” jawab Elwin.

            Sepulang sekolah Edi benar-benar ditemani Elwin menemui Pak Fendi, ternyata tidak berada di ruangannnya, menurut Bu Upik yang kebetulan hari itu piket, Pak Fendi berada di perpustakaan.  Benar juga ada di sana sedang menunggu kedatangan Edi.  Kurang lebih limabelas menit rambut Edi divermak, sekarang sudah pendek, rapi, modelnya juga bagus.

“Ngaca dulu nih, lebih ganteng kan sekarang,” puji Pak Fendi sambil menyodorkan cermin yang sudah disiapkan sedari tadi.

“Oke deh…makasih bantuannya, saya terus pulang saja ya pak,” jawab Edi sembari bersalaman dan mencium tangan gurunya untuk  berpamitan.

            Tidak seperti biasanya, siang hari ini Meta sang ketua kelas IXA terlihat agak sibuk, mondar-mandir sebentar-sebentar memanggil beberapa teman untuk membicarakan sesuatu, ada Bobby, Rio, Pras, Nina, Silvi dan trio manis.  Bel masuk sekolah dan tanda dimulainya pembelajaran yang terakhir, sudah berlalu lebih dari sepuluh menit,  tetapi kelas IXA masih saja belum dimasuki guru.  Sebenarnya jam terakhir ini jadwal untuk pelajaran dari Pak Fendi, tapi belum ada tanda-tanda kedatangan beliau.  Sejak pagi memang belum kelihatan, murid-murid berharap siang sudah datang, eh sampai jam terakhir belum juga terlihat.

“Sil…yuk ke ruang guru nyari pak Fendi kok belum datang juga ya?” pinta Meta pada Silvi.

“Ayuk…jangan-jangan pak Fendi kenapa gitu, bisa gagal deh rencana kita” jawab Silvi.

Keduanya bergegas menuju ruang guru yang letaknya agak jauh ke depan dari kelas IXA dengan melewati laboratorium IPA dan lapangan upacara.

            Sesampainya di ruang guru, Meta dan Silvi hanya bertemu dengan Bu Prita yang piket hari itu dan menyampaikan tugas untuk murid.  Dari keterangan bu Prita hari ini Pak Fendi tidak bisa masuk kerja karena ada kepentingan.  Meta dan Silvi kaget mendengar berita ini, karena kemarin Pak Fendi berjanji akan masuk kantor seperti biasa.  Dengan perasaan penasaran campur dongkol akhirnya kedua murid ini kembali ke kelas.  Sesampainya di kelas mereka memberikan pengumuman ke warga sekelasnya dengan lantang,

“Man teman. acara kita gagal deh, karena hari ini Pak Fendi ijin tidak masuk kantor katanya ada kepentingan gitu…,” seru Meta sambil ngos-ngosan nafasnya karena tadi dari kantor guru lari ingin cepat-cepat mengabarkan pada teman-temannya.

“Huuuu….,” suara koor seperti dikomando.

“Waduh gimana dong acaranya sudah mateng malah ijin, kadonya udah siap nih mau diapain,”tanya yang lain.

“Kuenya dimakan rame-rame deh, kita kan laper,” sambung Tion.

“Setuju….!” Kompak suara cowok kelas IXA menjawab.

Setelah beberapa saat rapat singkat akhirnya sepakat, sepulang sekolah ke rumah Pak Fendi perwakilan kelas cowok tiga ada Pras, Jali, Feri dan ceweknya Meta, Nita, dan Ria.  Berikutnya suasana kelas hening karena masing-masing murid sibuk mengerjakan tugas pelajaran Matematika, meskipun sesekali satu dua murid masih membahas alasan ijinya Pak Fendi, maklum mereka kecewa sudah menyiapkan pernik-pernik untuk kejutan ulang tahun malah ambyar.

            Suara bel sekolah tanda pembelajaran usai berdering cukup keras, terdengar sorak sorai murid-murid bersiap untuk pulang, tidak terkecuali kelas IXA.  Setelah menyelesaikan tugas Matematika, murid-murid IXA pulang kecuali yang akan mengemban tugas khusus.  Dengan bersepeda mereka ke rumah Pak Fendi yang jaraknya dari sekolah kurang lebih 5 km.  Untuk sampai  ke sana keenam anak melewati jalur alternatif yaitu area kebun palawija dengan harapan secepatnya sampai tujuan. Meskipun area kebun palawija tapi jalannya lumayan ramai, ukurannya lebar biasa dilewati mobil bak terbuka pengangkut palawija yang barusaja dipanen.  Hanya kondisi jalan sangat berdebu saat musim kemarau seperti sekarang dan agak becek jika musim hujan.  Sebenarnya ada jalan lain yang lewat pemukiman penduduk suasanya juga cukup teduh karena kiri kanan ditanami pepohonan tapi jaraknya lebih jauh, kondisi jalannya beraspal sangat rusak. 

            Meskipun bermandi peluh akhirnya keenam murid sampai juga di rumah Pak Fendi.  Rumahnya cukup asri, halamannya luas  dengan dua pohon rambutan yang rindang, persis di teras rumah ada pot-pot tanaman bunga tertata rapi, ada MyanaCaladiumAnthurium, mawar, ada juga jenis anggrek Catleya dan Dendrobium yang tergantung dengan bunganya yang cantik.

Setelah menyetandar sepeda, mereka menuju pintu dan mengetuknya sambil mengucapkan salam,

“Assalamualaikum.…,” ucap Meta.  Tidak ada jawaban, suasana rumah juga sepi,

“Assalamualaikum…..Assalamualaikum Pak Fendi.”  Meta dan Ria mengulang salamnya sementara ketiga murid cowok mengawasi sekeliling rumah barangkali ada orang yang bisa dimintai keterangan. 

“Kemana sih ya dari tadi pagi HP nya juga off?  Kita sudah menyusun acara untuk kejutan ultah di sekolah gagal, disamperin di rumah juga gagal…apes….apes…!” gerutu Nita mulai tidak sabar.

Tiba-tiba Pras muncul dari arah sebelah barat bersama dengan seorang nenek kira-kira berumur 60an, namanya Mbok Sayem rumahnya di samping kanan rumah Pak Fendi.  Sambil mengunyah tembakau dan pinang untuk susur, nenek ini menyampaikan tidak tahu Pak Fendi kemana malah dikiranya ke sekolah ada rapat penting, makanya berangkat lebih gasik.

“Enjing gasik banget mas tindake, kulo nggeh mboten ngertos mas guru Fendi teng pundi….,”jawaban Mbok Sayem.

“Nopo teng nggene morosepahe ngeteraken mbak Palupi mbok kangen kalih ibune ?” Mbok Sayem mulai berasumsi.

Mbok Sayem menawarkan bantuan jika ada titipan atau pesan untuk disampaikan ke Pak Fendi.  Keenam murid berembug dan memutuskan untuk menitipkan ke Mbok Sayem, apa yang sudah dibawa dari sekolah, semuanya ada di dalam dus dibungkus kertas kado berlapis, tidak ada tulisan apapun di bungkus terluar, kalaupun ada tulisan di bungkus kedua, ..….”Untuk Pak Fendi yang selalu perhatian, dari kami kelas IXA......”  Setelah pamitan, mereka pulang dengan rasa lelah bercampur kecewa.

             Menjelang Isya terdengar suara motor Pak Fendi memasuki pekarangan rumah.  Sepuluh menit berikutnya Mbok Sayem datang untuk menyampaikan kabar kedatangan murid-murid dengan membawa bingkisan kado.  Pak Fendi menerimanya serta mengucapkan terimakasih pada Mbok Sayem yang kemudian berlalu pulang. Sesampainya di dalam rumah dibukanya bingkisan kado yang di dalamnya berisi empat kado dengan ukuran yang tidak sama. Kado pertama berisi kue ulang tahun, kemudian kado kedua berisi semir sepatu beserta sikatnya, kado ketiga agak besar berisi tisu dan yang terakhir berisi…

“Sisir, gunting dan cermin,” gumam Pak Fendi. 

Meskipun Pak Fendi laki-laki yang tegar, tapi saat ini rapuh hatinya.  Satu persatu kado ditatapnya, tiba-tiba dada bergemuruh panas, kedua tangan mengepal seolah siap meninju apa saja yang ada di dekatnya, entah darimana berasal ribuan jarum meluncur makin  dekat…mendekat…kemudian menusuk-nusuk badan Pak Fendi hingga ke dasar hati.  Sakit sekali… badan yang  ceking cenderung kurus itu terduduk lunglai.  Lelah sekali, lebih lelah perasaannya.  Pagi tadi sepulang sholat subuh berjamaah di mushola kampungnya, Palupi pergi dari rumah.  Dari sepulang sholat subuh hingga menjelang Isya dirinya terus mencari Palupi istrinya tapi tidak ketemu, sementara nomer HP nya tidak dapat dihubungi.  Tempat pertama yang dituju adalah rumah orangtua Palupi, disana bukannya bertemu dengan yang dicari, malah dituduh sebagai laki-laki tidak bertanggung jawab, tidak becus mengatur istri.   Semua saudara dan teman-temannya sudah ia hubungi tapi hasilnya tidak ada yang tahu.

Palupi menikah dengan Pak Fendi atas kemauan orangtua kedua belah pihak yang lama bersahabat dekat.  Akhir-akhir ini rumah tangga Pak Fendi agak goyah, hampir delapan tahun belum diberikan buah hati yang dapat menjadi penghibur dan tumpuan masa depan berdua.  Terlebih sejak kemunculan mantan kekasih Palupi sebelum menikah dengan dirinya, yang sudah pulang dari Malaysia karena sempat patah hati ditinggal menikah yang hingga saat ini masih membujang.  Komunikasi diantara mereka berdua terjalin, tunas-tunas menghias yang sempat terhempas bersemi dan pucuk-pucuk kenangan terajut kembali dalam kenyataan.  Dua minggu yang lalu Palupi terang-terangan menceritakan semua dan minta agar Pak Fendi menceraikan dirinya. 

Kembali ditatapnya kado ulang tahun dari anak-anak, ternyata sangat mendalam artinya,  Sisir, gunting dan cermin seolah terkandung makna agar dirinya merapikan rambut kemudian bercermin karena seharian mencari sang istri tanpa sempat membersihkan  diri.  Sikat dan semir sepatu jelas menyiratkan pesan, agar membersihkan sepatu yang kusam berdebu karena biasanya bersih dan mengkilap.  Kado tisu siap untuk membersihkan peluh dan airmata kesedihan yang kini dialaminya.  Dan kue ulang tahun itu akan diberikan saja ke Mbok Sayem karena dirinya tidak ada selera sama sekali.  Ahh….apa yang sedang dialami Pak Fendi anak-anak merasakannya juga, begitu dekat ikatan batin diantara mereka.  Dan kado ultah dari Palupi didapatinya tadi pagi di atas meja ruang tamu ,hanya secarik kertas dengan selarik kalimat, “Aku mencari kebahagiaan yang hilang, Mas Fendi sudah paham yang kumaksudkan”….Istrinya meninggalkan  dirinya dan memilih bersama laki-laki masa lalunya yang pagi tadi menjemputnya dengan menyamar sebagai driver ojol!

 

                                                                                                               Kebumen, awal Agustus 2023

 

Munkhayati

Lahir dan bertempat tinggal di Kebumen, 31 Juli yang lalu.  Seorang guru Bimbingan Konseling di SMPN 1 Ambal Kebumen Jawa Tengah.  Senang membaca dan menulis apa saja.  Semoga apa yang saya tulis bermanfaat dan tentunya karya saya bisa lebih baik lagi. Aamiin…Alamat WA: 081804743540, email : setropetanahan@gmail.com

Posting Komentar

0 Komentar