005

header ads

PASIR TERAKHIR Karya Jack Nebanne


            Ombak menjilat-jilat kaki perempuan sepuh itu, Mbah Tiem namanya kira-kira 75 tahun usianya. Diusia senjanya, ia masih tampak sehat-sehat saja. Di tangan kanannya, ada ember kosong yang senantiasa ia bawa untuk menampung kerang-kerang laut. Diusianya yang telah senja, perempuan itu masih cekatan mengumpulkan kerang-kerang sebagai santap malamnya. Tidak ada pasir di sana, hanya batu karang keras yang ia temui. Pasir telah lama direnggut dari pantai itu, menjadi adonan semen di pabrik-pabrik, menjadi bangunan di kota-kota, menjadi rumah rumah kredit minim angsuran yang semakin lama semakin serat saja rasanya.

Kaki telanjangnya mati rasa ketika menginjak batu karang yang tajam, seolah-olah sudah terlatih puluhan tahun menapaki jejak di bebatuan keras nan tajam tersebut. Matanya menerawang jauh mengingat masa-masa di mana ombak masih membelai lembut butiran pasir putih di pinggir pantai itu. Matanya mengerjap, di hatinya bergelesir suatu harapan.
Kembalilah pasir, kembalilah atas harapan dan doa.

Ia menerawang ke pingir pesisir, khayalannya seketika membuat sketsa mini, yang berlocatan dari ruang ke ruang hampa diingatannya, tentang sebuah pantai dengan buliran pasir putih lembut dipenuhi kerang dan lokan-lokan. Mata itu mengercap dan sumber mata air itu meneteskan sebulir air abadi yang sedari dulu ia simpan untuk laut dan ombak yang menemani kesehariannya. Perih dan pedih melihat pantai yang dicintainya sudah tak terawat. Di sana sini terserak berbagai macam sampah masyarakat, plastik, popok bayi, peralatan rumah tangga, botol minuman dan benda-benda komsumsi manusia yang menjadi pemandangan yang pedih di matanya yang mulai menua digerus zaman. Lamunan tentang pantai indah di masa kecilnya langsung tenggelam,bayangannya tentang pantai dengan pasir putih halus, semilir angin dan ombak menyapu pasir-pasir yang senantiasa bergeser di kakinya juga tenggelam ke palung laut, begitu melihat dan menafsir tubuh laut yang selalu dicintainya.

Kotor!

Matanya awas, sambil lalu sigap memungguti sampah-sampah yang berserakan di tepi pantai. ia singkirkan sampah-sampah tersebut, kemudian dikumpulkan menjadi satu. Tak terasa tumpukan sampah itu semakin banyak, bukan hanya kali ini saja, tiap hari ia selalu melakukan hal kecil ini. Berharap laut yang dicintainya kembali dengan segala kerinduan.

Dengan mata dan raut wajah yang dipaksakan tersenyum, Ia membakar tumpukan sampah tadi dengan sayatan hati yang dalam. Sambil tersenyum ia berujar “Hanya ini yang bisa aku lakukan, tidak banyak, tapi bisa membuatmu bernapas dari sesaknya ton-ton sampah di dunia ini, tetaplah memberi, meski kutahu kau tersakiti”.

Ia mencari kerang di sebalik batu karang karang, sesekali pandangannya menembus laut lepas, kemudian memejamkan mata sejenak. Seolah sedang meresapi sambil merapalkan mantra, semilir angin dan debur ombak menjadi takbir juga dzikirnya. Mbah Tiem bangkit, tak terasa embernya belum terisi setengahpun dengan kerang atau lokan, ia memutuskan untuk berlalu, api melahap habis tumpukan sampah yang sedari tadi ia bakar, ia tak sekuat tiga puluh tahun silam, saat tubuhnya masih segar bugar, saat suaminya -orang yang juga mencintai laut- berada di sampingnya menikmati senja dan fajar bersama.

Sebelum beranjak pergi ia mengambil sesuatu dibalik gulungan seweknya, kemenyan serbuk yang tak pernah lupa ia bawa, ia taburkan pada api sambil lalu mulut Mbah Tiem komat-kamit, membaca doa juga mantra-mantra yang ia ingat. Ia berlalu, meninggalkan laut yang menghidupinya.

***

Setiap pagi kebiasaan Mbah Tiem adalah pergi ke pantai, memungguti sampah juga terkadang mengambil kerang, Mbah Tiem pergi ke pinggir laut setiap pagi dan sore, hari ini ia pergi sangat pagi sekali, setelah shalat subuh Ia bergegas ke pantai, mencari kerang dan juga mengumpulkan sampah yang mengotori pantai tanpa pasir itu. Hari ini air laut sedang surut, di beberapa titik tampak butiran pasir kecil yang muncul ketika air laut surut. Ingatan tentang pasir laut kembali muncul dalam ingatan. Pasir halus dan lembut itu setiap hari menyapa telapak kakinya yang kukuh diterpa ombak dan ditusuk karang. Ia segera bergegas mengumpulkan sampah yang sekiranya bisa dibakar, ia mengambil sesuatu dalam kantongnya, sebuah korek api bermerek nedite yang mulai lusuh, minyak gasnya tinggal sedikit, kemudian dengan sekejap ia mulai memencet-mencet pemantiknya sambil lalu menghalau angin laut yang sering kali usil mematikan nyala apinya.

Api membakar tumpukan sampah itu, kemudian perempuan itu mengeluarkan serbuk abu -kemenyan- lalu ia menaburkan di atas bara api tadi. Mulutnya melafalkan doa-doa dan juga mantra-mantra yang ia hafal.

Kemudian, ia  memandang ke laut lepas, seperti biasa hatinya hening diterpa kegelisahan yang mendalam, jangan marah kepada Manusia, mereka bukan orang-orang jahat. Setelah selesai, ia bergegas mengambil sampah-sampah yang bisa dibawa pulang untuk dijual atau dijadikan bahan bakar. Ia menjauh dari laut, ombak bergemuruh pelan, membawa sampah-sampah di tubuhnya menepi, jejak kaki perempuan itu tak terbaca di atas karang, laut tak bisa mengabadikan langkah kakinya di atas tubuhnya tanpa sejengkal pun pasir. Tapi jasanya tak pernah padam.

###

Orang-orang lalu lalang di tepi pantai. Ada yang tenang, ada yang gelisah. Sudah dua hari mereka tidak berlayar. Ombak sedang tinggi-tingginya. Beberapa memilih untuk diam di rumah, sebagian memilih untuk memperbaiki jala, sebagian yang lain mengecek mesin kapal dan sebagian yang lain gelisah karena tak ada kegiatan lain. Para penambang pasir merasa cemas, tak bisa menambang pasir ke tengah laut karena ombak tidak seperti biasanya. Ketinggian ombak berdasarkan informasi dari kelompok nelayan setempat diperkirakan 3 sampai 6 meter dan angin berhembus sangat kencang akhir-akhir ini. Beberapa orang mencari kerang di pinggir laut, sebagian yang lain pergi memancing dan sebagian lainnya menjala ikan di pinggir laut. Beberapa nelayan pemberani masih nekat melayarkan perahunya meski sudah dilarang oleh otoritas setempatnya, hidup mereka sudah turun-temurun diamuk ganasnya ombak.

“Kapalnya Dul Latep karam!” kata seseorang.

Desas-desus kapal karam di tengah laut yang berlayar tadi pagi setelah subuh langsung menyebar dari satu telinga ke telinga lain. Dullatep, nelayan setempat nekat menerjang tingginya ombak untuk mencari ikan di tengah laut. Beberapa nelayan yang juga nekat melaut melihat perahunya terombang ambing di laut lepas, barangkali mesinnya mati.

Sekarang nasib Dullatep dan anaknya masih ditentukan oleh laut juga keahlian navigasi mereka. Laut tidak pernah mentoleransi kesalahan sekecil apapun. Ombak masih tinggi saat matahari sudah setinggi bahu orang dewasa, angin masih kencang. Kabar dari laut masih belum jelas, beberapa orang mulai panik, Dullatep tidak dapat dihubungi, otoritas setempat tak dapat berbuat banyak. Orang-orang memilih diam dengan kecemasannya masing-masing berharap ada kabar dari laut sana.

Dari jauh, Mbah Tiem membawa batok kelapa, di tangan kirinya ia membawa kantong plastik hitam, entah berisi apa, orang orang di sekitar pantai itu terheran-heran, kira kira apa yang akan dilakukan perempuan itu. Dengan raut muka datar ia pergi ke bibir pantai, ombak menerjang karang, beberapa orang mencoba menyapanya ia hanya tersenyum kecut, senyumnya dipaksakan, beberapa orang mulai khawatir tapi sebagian yang lain memilih diam, mereka memilih tenggelam dengan pikirannya masing-masing, menunggu kabar dari laut.

Ketinggian ombak mencapai tiga meter, saat Mbah Tiem sampai di bibir pantai, beberapa kali ombak berhasil mencapai badan jalan raya, perempuan itu mencari tempat yang aman untuk meletakkan barang bawaannya, batok kelapa yang sudah kering itu ia letakkan di atas batu besar dekat pantai, orang orang masih awas memperhatikan gerak geriknya, terheran heran apa yang akan dilakukan perempuan tua itu. Angin semakin kencang berhembus, orang-orang memilih menepi tidak lagi menghiraukan perempuan itu.

Mbah Tiem berusaha menyalakan api di atas batok kelapa yang dia bawa. Ia keluarkan kemenyan dari kantong plastik hitam tadi, seikat bunga, daun pandan yang sudah diiris, dan botol kecil berisi cairan berwarna merah segar. Setelah berusaha menyalakan api pada batok itu berhasil, ia menaburi batok tadi dengan kemenyan, mulutnya komat kamit, setelah selesai, ia beranjak untuk menabur bunga dan daun pandan ke laut, mulutnya komat kamit, langit muram, angin berhembus kencang, laut bergemuruh.

Mbah Tiem membawa batok kelapa tadi, beserta botol berisi cairan merah segar ke tepi laut, tubuhnya diterpa angin, ia menahan tubuhnya, dengan segala usaha, agar angin yang terus menerpa tubuh rentanya tidak membuatnya mundur selangkahpun, ia mencapai bibir pantai, meletakkan batok kelapa dan membuka botol kecil tadi, lalu menuangnya dengan perlahan, ombak bergemuruh, menjilat jilat kakinya juga membasahi tubuhnya. Seorang laki-laki terlihat berteriak di belakang Mbah Tiem, namun tak ia hiraukan, kakinya semakin mendekati pantai, tiba-tiba ombak tinggi menggulung dari tengah laut ke pinggir membawa apapun yang ada di pinggir pantai, lelaki itu terkesiap. Tak ada lagi sosok perempuan itu di pinggir laut. Wajahnya pucat, bibirnya kelu, tubuhnya lemas. Mbah Tiem telah hilang.

Perempuan renta itu mulai melukis kenang di hati warga sekitar, tentang sebuah keberanian dan juga pengorbanan. “Jangan sekali-kali meremehkan laut, laut memberimu hidup, jadilah bijak dengan merumat laut”. Kata-kata Mbah Tiem membekas dihati disebagian warga.  Beberapa orang sepuh dan warga sekitar membawa beberapa sesaji, berupa nasi, lauk lengkap dengan sayurnya, buah-buahan bahkan hasil bumi lainnya mendoakan agar jasad Mbah Tiem segera ditemukan.

Kita sudah lupa bahwa laut adalah tempat hidup kita yang sesungguhnya, kita lupa bahwa dari lautlah hidup kita berasal. Kejadian hilangnya Mbah Tiem merupakan teguran bagi kita semua untuk tetap merumat laut dengan baik” ujar salah seorang sesepuh desa, yang kemudian diamini oleh warga sekitar. Selanjutnya mereka melarung sesaji tadi ke tengah laut, berharap laut mengembalikan jasad Mbah Tiem.

Posting Komentar

0 Komentar