005

header ads

Cerpen GARISAN TAKDIR (2) Oleh: Awalia Bawani

 GARISAN TAKDIR (2)

Oleh: Awalia Bawani

C:\Users\LENOVO\Downloads\WhatsApp Image 2022-12-24 at 19.23.19.jpeg

Seminggu sudah kehadiran Azura di SMA Brawijaya. Sudah seminggu pula dia menjadi teman sebangku Alan, namun tak seperti teman pada umumnya, mereka lebih sering diam satu sama lain. Azura tidak memiliki keberanian untuk sekadar menyapa Alan. Dari raut wajah Alan sudah cukup untuk membuat Azura terdiam. Bahkan akhir-akhir ini tampang Alan lebih menyeramkan daripada biasanya, seperti siap menerkam siapa saja yang membuat dirinya terganggu. 

Hari ini cowok itu belum menampakkan batang hidungnya, padahal jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima. Waktu terus berjalan, jam terus berdentang, namun Alan tetap saja tak kunjung datang. Ntah kenapa Azura kerap kali menatap ambang pintu yang kosong. Tak ada siapapun disana, tapi hati kecil Azura mengharapkan ada sosok yang terangah-engah berlari melewati pintu itu. Harapnya melayang tanpa arah. 

KRIIINGGGG.

Istirahat pun tiba. Waktu dimana seharusnya siapa pun senang dengan kadatangannya, tapi tidak dengan Azura. Gadis itu murung sedari tadi. Tidak ada keceriaan di wajahnya, meskipun biasanya memang seperti itu, namun sekarang lebih lagi. 

"Ra, mau bakso?" ajak Daren.

Hening. Azura tenggelam dalam lamunannya.

"Kacamataku!" kaget Azura.

"Nih, kacamata lo, gue balikin. Pagi-pagi gini udah ngelamun aja, awas loh kesambet, omong-omong sekolah ini angker lo," ucap Daren sembari memberikan ekspresi meyakinkan.

"Apaan sih, lagian terang benderang gini mana ada setan yang mau muncul. Kamu lama-lama aneh," kesal Azura.

"Kapan gue bisa buat lo gak peduli sama keanehan gue, Ra?" pinta Daren.

Kapan? Maksudnya?

"Yaudah ayo pesen bakso, aku kangen sama baksonya mang Dadang," ajak Azura. 

Azura sadar, dirinya tengah mengalihkan pembicaraan dengan Daren. Azura berusaha menghangatkan kembali pembicaraan yang sebelumnya sempat dingin dengan dua mangkuk bakso buatan mang Dadang. 

"Lo hari ini kenapa, Ra?" tanya Daren heran.

"Hah? Aku gak kenapa kenapa kok," balas Azura dengan senyum datarnya. 

"Makannya jadi orang jangan sok-sokan, gitu kan akibatnya," ucap siswa lain dari meja sebelah

"Yeeuu, lu ma ada temen susah malah dihujat," sahut teman lainnya.

"Salah sendiri demen banget cari masalah, hidup tu harusnya dinikmati bukan cari mati," celoteh teman satunya lagi.

Pandangan Azura teralihkan pada segerombolan siswa yang ntah sedang membicarakan siapa. Tapi obrolan itu membuat hatinya tidak tenang. Dia ingin tahu siapa yang sedang dibicarakan oleh sekumpulan anak itu. 

"Raaaa," panggil Daren yang ternyata sudah sedari tadi melambaikan tangan di depan wajah Azura.

"Eh iya?" jawab Azura sedikit terkejut.

"Kasihan baksonya tuh lo diemin terus. Kalo gue kan udah biasa," celetuk Daren.

"Nih aku makan," ujar Azura sambil melahap bulatan-bulatan bakso yang ada di mangkoknya.

"Alan kasihan ya, Ra"

Azura terdiam, tak melanjutkan aktivitasnya. 

"Alan kenapa, Ren?"

Sebenarnya Daren tak menyukai jika harus membahas topik tentang Alan. Namun, dirinya sadar, sedari tadi Azura diam memikirkan obrolan anak meja sebelah. 

"Kemarin Alan masuk rumah sakit, Ra. Kondisinya parah, dia kecelakaan waktu balapan sama geng motornya," jelas Alan.

"Kamu tahu dari mana?" tanya Azura penasaran.

"Gue salah satu anggota geng motor yang ikut balapan bareng gengnya Alan kemarin,"

"Kamu tahu Alan di rumah sakit mana?" tanya Azura dengan wajah paniknya yang tidak bisa disembunyikan.

"Dia di rawat di RS Harapan Nusa," terang Daren.

Tanpa berpikir panjang Azura langsung berdiri dari tempat duduknya. Meninggalkan Daren seorang diri dengan langkahnya yang tergesa-gesa. Daren tak ingin kalah, dengan segera ia menyusul langkah Azura dan berusaha menggapai tangan gadis itu.

"Ra, kita masuk kelas dulu, ya? Bel udah bunyi dari tadi," ajak Daren menenangkan.

Tanpa menjawab sepatah katapun, Azura menuruti ajakan Daren. 

Jam terakhir hari ini ditutup dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Azura sudah tidak sabar menunggu kedatangan Bu Ranti. 

"Selamat siang anak-anak," sapa bu Ranti.

"Siang Bu," jawab semua siswa serentak.

"Baik, untuk hari ini saya berikan waktu 10 menit untuk membuat puisi bertema bebas, setelah itu satu anak membacakan hasil karyanya di depan kelas," perintah Bu Ranti.

Waktu pun terus berjalan, hingga seorang murid maju untuk membacakan puisi yang telah ia tulis.

"Silakan, Daren," ucap bu Ranti mempersilakan. 

Aku berhenti 

Aku berhenti menggoreskan tinta takdir tak beraksara

Aku berhenti pada sebuah rasa yang tak memiliki tempat kembali

Aku berhenti pada sosok yang indahnya mampu terlukiskan oleh senja

Aku berhenti menjadi mentari yang tak pernah jemu menyambangi langit


Aku berhenti pada cerita yang tak memiliki prolog

Aku berhenti pada sebuah rasa yang terlalu bahana untuk dirinya yang fatamorgana

Aku berhenti menciptakan beribu angan yang  kosong

Aku berhenti berkompromi dengan semesta perihal hadirnya yang berhasil mengobrak-abrik isi kepala


Aku berhenti mempertuan perasaan tak beralasan

Aku berhenti memporak-porandakan hati 

Aku berhenti menjadi bayangan hitam yang terabaikan 

Aku berhenti sampai disini

Gemuruh tepuk tangan menghiasi seisi ruang kelas. Namun, hanya dua insan yang saling terdiam dalam keramaian. Saling melemparkan tatapan penuh makna. Hanya mereka yang tahu perihal isi kepala masing-masing. 

*****

"Ra, ayo gue anterin. Lo mau ke rumah sakit kan?" ajak Daren. 

"Makasih, aku mau naik taksi, kamu langsung pulang aja," tolak Azura.

"Udah sini naik, rumah sakitnya deket kok, sayang ongkos taksinya," bujuk Daren.

Pertahanan Azura akhirnya runtuh. Segera Azura naikkan kaki mungilnya pada pijakan motor CBR milik Daren. Perjalanan penuh keheningan pun dimulai. Tak terdengar sepatah kata pun dari sepasang teman itu. Hanya deru kendaraan yang menghiasi perjalanan mereka. Mereka terlalu sibuk dengan isi kepala yang tak sama. Sampai tak terasa rumah sakit sudah di depan mata. 

"Duluan aja, Ra. Alan ada di kamar 205, gue mau parkir motor dulu," ujar Daren. 

"Oke, aku tunggu di sana," ucap Azura.

Langkah demi langkah gadis itu lalui untuk menemui seseorang yang sudah membuat hari-harinya tak keruan. Perasaannya campur aduk. Kini, dirinya sudah sampai pada kamar yang dia tuju. Perasaannya semakin membuat dirinya tak berdaya. Kakinya tak bisa melangkah maju. Dari balik kaca, ada seorang pemuda yang sedang kesulitan bernapas, napasnya sudah tersengal-sengal. Azura tak sanggup untuk masuk, cukup dirinya berada di sebalik kaca itu. Tangannya berusaha menenangkan pemuda di seberang sana, namun tangannya hanya mampu menempel pada balik kaca. Sorot mata Alan dan Azura bertemu pada satu titik. Air mata itu mengalir pada pipi gadis yang seolah sedang berusaha memberi kekuatan dari jauh. Dan untuk pertama kalinya Alan memberikan senyum manisnya kepada Azura. 

Tidak. Alat bantu medisnya berbunyi. Tuhan, tolong hilangkan rasa sakitnya. Tak lama kemudian, pernyataan dokter yang sama sekali tak ingin di dengarnya pun mau tak mau harus masuk ke dalam telinganya. Alan sudah dinyatakan tiada. Seketika tangis dalam ruangan pecah. Begitu pula Azura. Badannya terasa begitu lemas, tumpuannya sudah hilang. Gadis itu hanya bisa bersimpuh di lantai luar ruangan Alan, mendekap kedua lututnya, karena sekarang hanya itu yang dia bisa. Tuhan telah mengabulkan permohonannya. Alan sudah tidak merasakan sakit. Kini, sakit itu berpindah pada diri Azura. Ternyata, senyuman itu bukan hanya menjadi yang pertama, namun juga yang terakhir. Dia tak menginginkan perasaan ini datang, tapi ia datang dengan sendirinya, pun pergi tanpa berpamitan. Tidak. Rasa ini mungkin akan tetap ada, hanya raganya yang sudah tak bisa digenggam. 

"Ra," lirih Daren.

"Kenapa dia harus ikut balapan, Ren? Kenapa lo gak cegah dia? Kenapa harus dia? Kenapa?" 

Daren tak memberikan jawabnya, hanya peluk yang ia berikan. Ia tahu, segala jawabnya tak akan bermakna bagi Azura, yang gadis itu inginkan adalah Alan, hanya Alan seorang. 

"Aku mau pulang," ujar Azura tak bertenaga.

"Gue anterin pulang ya, Ra?" tawar Daren.

Gadis itu tak menyahut, dia hanya berjalan tanpa kenal arah. Dia ingin segera sampai di rumah. Tapi Azura tak sendiri, Daren masih setia mengikutinya dari belakang. 

"Kelilingnya udah ya, Ra? Sekarang gue anterin pulang," ucap Daren sembari menggandeng tangan Azura.

Rasanya baru saja dirinya menapakkan kaki di halaman rumah sakit, baru saja Daren memarkirkan motornya. Tapi kenapa secepat ini dia harus melakukan perjalanan kembali, dan perjalanan ini adalah akhir dari awal yang belum sempat dimulainya, dia harus segera pulang. 

Kembali dia sapa pelataran rumahnya. 

"Makasih ya, Ren. Maaf buat semuanya," ucap Azura sembari berpamitan masuk. 

Punggung gadis itu sudah tak nampak lagi. Namun, Daren tak kunjung meninggalkan tempat itu. Dipandanginya bayangan semu Azura.

"Apapun buat lo, Ra," lirih Daren. 

Di kamar itu, Azura menumpahkan segala sesak di dada. Azura tak bisa menahan luapan perasaannya. Dilampiaskannya pada semua yang ada di kamarnya. Meja itu sekarang tak tertata rapi lagi. Sekarang, kamar Azura sudah tak terkondisikan, sama berantakannya seperti hatinya. Tangisnya sudah tak bisa dibendung. Dia tak tahu harus apa. Seketika Azura teringat dengan surat yang dia simpan di laci. Surat itu masih ada di sana, masih tersimpan dengan rapi. 

Hai cantik

Gue cuma mau bilang makasih udah mampir di kehidupan gue, meskipun cuma sebentar. Kita juga belum sempat kenalan lebih jauh karena gue terlalu pengecut buat deket sama lo. Kita emang baru ketemu, tapi gue gak bisa bohong soal perasaan ini. Oiya, gue juga mau minta maaf, lo pasti sakit hati gara-gara sikap gue yang terkesan kasar dan gak peduli sama lo. Gue peduli banget sama lo dan gue pengen nunjukin itu semua, tapi sayangnya gue gak bisa, Ra. Gue gak mau buang-buang waktu lo buat baca surat ini. Gue cuma mau bilang, lo cantik, Ra. Mau satu dunia bilang lo ga cantik, gak akan mengurangi sedikitpun kecantikan yang lo punya. Meskipun lo gak bisa cinta sama gue, lo harus belajar buat cinta sama diri lo sendiri ya, Ra.

Alan Pramudita

Siapa sangka surat itu dari Alan. Manusia itu selalu tak bisa ditebak dan tak akan pernah bisa untuk ditebak kembali.

*****

Selesai


*Pict: id.pinterest.com

Madiun, 2022

Awalia Bawani, siswi kelahiran Madiun. Seorang amatiran yang mencoba menyelami dunia fiksi. Merajut kata demi kata hingga membentuk jalinan cinta bagi tiap pembaca. Hatinya terlanjur jatuh pada deretan kata yang berpadu-padan.  Kecintaannya pada lembaran-lembaran karya tulis yang membawa dirinya untuk terjun menggoreskan tinta-tinta kasih.


Posting Komentar

0 Komentar