JODOH DALAM WASIAT
| Dyah Kurniawati
Di bawah pohon mangga terlihat pemuda berkulit sawo matang duduk bertekuk lutut di atas batu besar. Ya, di sini tempat terfavorit kala menepi. Bernama Topan usianya sekitar dua puluh lima tahun, digalaukan virus merah jambu. Wajahnya kusut, matanya kuyu, rambut hitam ikalnya terkesan acak-acakan, jiwanya kacau balau. Cintanya pada seorang gadis yang diimpikan selama ini terancam gagal total setelah membaca surat wasiat ayahnya tadi pagi. Hati kecilnya merasa bersalah pada orang tua yang dicintainya. Bimbang antara keinginan berbakti pada almarhum ayahnya atau menuruti nafsu mengejar gadis pujaannya tersebut.
Diraihnya gitar kesayangan yang tergeletak di atas rumput, bersebelahan dengan sandal jepit birunya. Setelah menggaruk tangan kirinya yang di kerubuti nyamuk, dipetiknya pelan gitar coklat itu bersenandung ‘Mencintaimu’ dari album Fileski. Penuh penghayatan melampiaskan kegelisahan hati, sembari merenungi sesuatu yang sudah ditentukan Tuhan atas dirinya.
MENCINTAIMU
Bagai mentari mengecup fajar
Bagai mega membelai lembut pegunungan
Bagai kerlip bintang menemani malam
Seperti itu aku mencintaimu
Hanya berharap kau selalu ada
Izinkanku mencintaimu, melebihi umur gunung-gunung
Melebihi hangat sinar mentari, melebihi kelembutan sang mega
Saat cintamu merengkuhku, kurasakan cinta indah abadi
Cinta yang tak lekang oleh waktu, menyesap menuai keindahan semesta
Hanya berharap kau selalu ada
Hingga pada saat nanti, saat umur terengkuh dariku
Saat segalanya musnah, hanya ada satu cinta
Cintaku hanya untuk dirimu
Biarkanku memujamu
Mengagumimu dalam degup jantungku
Merengkuhmu dalam setiap nafasku
Mencintaimu lebih dari yang pernah ada
Dia gadis manis bergigi gingsul. Setiap mengingat gingsul itu kedutan hati semakin berdenyut. Gigi gingsulnya selayaknya candu. Gadis itu telah merebut hatinya sejak sebulan lalu. Kala itu hujan deras disertai angin kencang. Vario hitamnya dibelokkan ke teras toko utara jalan, menunggu hujan reda. Di situ telah duduk gadis manis membaca buku. Awalnya saling diam, akhirnya diberanikan menyapa gadis berkaca mata tersebut.
“Mau ke mana, Dik?”tanyanya menyingkirkan kebosanan.
“Situ..., Mojopurno?” jawab gadis itu sedikit tersipu.
“Wah searah dong, aku Karangrejo..., heheh...,” kekeh Topan.
“Hehe, iya...,” gadis itu tertawa. Dada Topan berdegup kencang. Gingsulnya sungguh mempesona. Darah mudanya menggelora.
Percakapan singkat itu pun menghadirkan energi semakin bergairah. Tiap malam gingsulnya begitu mengganggu alam bawah sadar. Bingung sendirian, hatinya berantakan. Menyesali diri yang tak bertanya alamat atau sekedar nomer telpon. Resah ini begitu merajam. Selama ini belum pernah tertarik dengan lawan jenis sedahsyat ini. Jiwanya meronta melepaskan beban di jiwa,
“Ahhhhhhhh.....” erangnya sambil menjambak rambutnya.
*****
Sebulan ibarat pesakitan, batinnya tersiksa. Hingga kini masih menjadi misteri identitas gadis tersebut. Hanya do’a yang bisa terpanjatkan dikala gundah gulana mulai menghampiri. Sejak pertemuan itu Topan rajin Istikharah. Berawal kebingungannya ketika terbangun tengah malam dan mata enggan terpejam. Ketika buka-buka HP secara tak sengaja baca tentang keutamaan salat Istikharah dan kaitannya dengan jodoh.
Suatu malam sehabis Istikharah dia tertidur di atas sajadah dan bermimpi bertemu gadis itu di sini, dibawah pohon ini. Gadis itu tertawa renyah teriring gingsulnya tersembul manis di bagian kiri. Apakah terbawa alam halunya yang sungguh terlalu, atau itu kode semesta tentang takdirnya?
Azan Subuh membuyarkan impian bahagia tersebut. Sembari menggosok matanya menyempurnakan ingatan, dia senyum-senyum sendiri. Semoga saja ini pertanda bahagia. Suasana hatinya mekar sempurna seakan semesta berpihak padanya.
Ketika berangkat salat Subuh ke masjid wajahnya semakin bercahaya sempurna. Di depan pintu ibunya terheran-heran,
“ Kamu kenapa kok senyum-senyum sendiri....”
“ Ehm..., anu buk..., anu heheh” dia bingung sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
“ Ona anu..., ayo segera berangkat. Tuh sudah iqomat.” lanjut ibu sambil mengunci pintu.
Kebahagiaan yang hanya sesaat akhirnya sirna. Sekembalinya dari masjid ibu mengeluarkan surat wasiat mendiang ayah. Duduk di sofa ruang keluarga sambil membuka amplop besar berwarna coklat. Ayah sudah meninggal lima tahun lalu saat Topan baru masuk kuliah. Dulu ayah berpesan kepada Ibu untuk membuka surat ini setelah Topan berusia dua puluh lima tahun. Pagi ini dirasa saat yang tepat untuk menjawab rasa penasaran ibu anak tersebut.
Perlahan ibu menarik selembar kertas putih dari sampul coklat diiringi ketegangan wajah sang putra. Tulisan tangan ayahnya sangat rapi menandakan ketika menggoreskannya dalam suasana tenang tidak tergesa. Jantung Topan bertalu hebat membaca deretan aksara bertinta hitam tersebut. Berangkulan dengan ibu, berjuta rasa rindu sosok ayah yang bijaksana. Suara bergetar penuh rasa, semakin buram tulisannya tertutup air mata. Lebih hebat getaran dada kala sampai paragraf terakhir surat wasiat yang berbunyi,
“Anakku Topan yang kami sayangi. Sebagai permintaan terakhir ayah mohon menikahlah dengan putri Pak Bardi sahabat ayah. Insyaallah dia gadis yang baik dan ayah yakin dia akan menjadi pendampingmu di dunia dan surga nantinya. Aamiin”
Belum tuntas surat wasiat terbaca, Topan langsung terduduk lemas melorot dari sofa. Kakinya lunglai seakan tanpa tulang. Air menetes deras mengaliri pipi. Ibu mengeratkan pelukan dan mengelus lembut kepalanya. Topan merasuk kepelukan ibu dan mengalirlah cerita kalau saat ini sedang jatuh hati dengan gadis yang tidak diketahui identitasnya. Namun kebahagiaan ibu adalah yang utama maka tak berani menghindari ridhonya. Dengan bijak ibunya berkata lembut,
“Kita pergi dulu ke tempat Pak Bardi sambil melihat situasinya, lihat saja nanti. Kalau kamu pengin berbakti kepada ayah lebih baik jalani saja surat wasiat ini. Keputusan ini pasti keluar dari relung hati terdalam ayah. ”
“Iya Bu, kalau itu bisa membuat ibu dan ayah bahagia. Insya Allah saya siap,” jawab Topan mencoba tegar, sementara hatinya menjerit ibarat teriris sembilu.
*****
Di pagi yang cerah mentari beranjak naik sembari tersenyum pada semesta. Topan menyetir dengan berkecamuk rasa, berkali-kali melirik ibu yang duduk terdiam di jok sampingnya. Mobil hitam melaju dengan kecepatan sedang ke arah timur menuju rumah Pak Bardi, sahabat mendiang ayah. Rumah yang asri dihiasi warna-warni bunga yang terawat cantik. Pertanda penghuninya sangat menyukai keindahan.
Dengan perasaan cemas Topan mencengkeram erat lengan ibunya bak balita takut jarum suntik. Pintu dibuka, Bu Bardi langsung merangkul ibu penuh haru karena lama tak bersua. Setelah berbasa-basi sejenak melepas rindu, ibu menyampaikan tujuannya ke mari atas wasiat ayah Topan. Kebetulan Pak Bardi ada urusan ke luar kota jadi tidak bisa bertemu langsung. Ternyata rencana perjodohan sudah lama dibicarakan Pak Bardi dan ayahnya, 6 tahun lalu sebelum batu ginjal mengantarkan ayah ke pangkuan Ilahi.
“Kebetulan si Tania baru selesai wisuda minggu kemarin, sebentar saya panggilnya,” Bu Bardi beranjak dengan bahagia memanggil gadis yang masih dalam teka-teki. Jadi gadis yang dimaksud dalam wasiat tersebut bernama Tania.
“Hem, namanya lumayan indah semoga seindah fisiknya, ups,” angannya berkelana.
Menurut cerita Bu Bardi tadi, Tania sejak kecil dirawat neneknya di luar kota. Setelah neneknya meninggal diputuskan kembali pulang bersama orang tuanya. Jadi pantaslah kalau selama ini belum pernah ketemu putri Bu Bardi ini, walau dulu juga sering diajak ke sini.
Duduk diam memainkan gelas mineral mencoba mengalihkan rasa gugup dan gemetar. Sambil menghitung degup jantung yang semakin aktif berkali-kali melirik pintu tembusan ruang tengah. Matanya terpejam dan menarik nafas panjang kala terdengar langkah kaki semakin dekat. Begitu kelopak mata terbuka dia langsung terperangah kala melihat siapa gadis yang berjalan dibelakang bu Bardi. Spontan berteriak,
“Hah..., gadis bergingsul itu?”
*****
Madiun, 7 Oktober 2022
# teks Mencintaimu adalah lirik dan lagu karya Fileski.
# Pict : Elinotes.com
# cerpen ini telah dibukukan dalam antologi bersama berjudul “Romansa Mata Embun”, dengan penyempurnaan beberapa kalimat.
Dyah Kurniawati lahir dan bermukim di Madiun. Menggilai fiksi sejak berseragam putih merah. Lulusan Pend. Bahasa dan Sastra Jawa ini mencoba selingkuh ke sastra Indonesia, tapi tak kuasa lepas dari hangat pelukan sastra Jawa. Menulis geguritan, cerkak, esai, cerita lucu juga menulis puisi dan cerpen. Bisa disapa di https://www.facebook.com/dyah.kurniawati.948.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024