005

header ads

Gempa Kenangan : Imas Hanifah N

 








"Aku punya rahasia, tapi aku tidak akan pernah menceritakannya kepada siapa pun sampai aku mati. Kupikir, itu lebih baik." Kau menatapku dan berusaha tersenyum. 

Aku diam saja. Tidak, rahasiamu adalah bom waktu yang mengerikan. Seharusnya kau katakan sekarang, atau semuanya akan terlambat. 

***

Aku mengenalmu sudah cukup lama. Sejak kau pindah ke rumah ini dan aku adalah sesuatu yang tak pernah absen kau tatap setiap kali kau hendak berangkat ke manapun. Di awal kepindahanmu ke rumah ini, kau terlihat ceria. Semua yang kau katakan dan lakukan di hadapanku, semuanya selalu menyenangkan. Meskipun kadang kau menangis, tapi dari yang kudengar setiap kamu mengeluh, alasan demi alasanmu menangis masih terdengar biasa saja. Seperti kau menangis karena nilaimu jelek, kau menangis karena menyadari bahwa temanmu ternyata menyukai laki-laki yang kau incar selama ini, dan alasan-alasan normal lainnya.  

Hampir setiap hari, ada saja ekspresi yang kau perlihatkan kepadaku. Sesekali, kau juga berbicara kepadaku, meyakinkan dirimu sendiri bahwa kau bisa menghadapi ujian atau semacamnya di kampus.  

Ya, semua itu. Semua itu terasa mengalir begitu saja, sampai suatu hari kau menjadi sangat berbeda. Kau pulang kuliah dengan wajah yang penuh kegelapan, seolah sesuatu yang buruk telah terjadi. Benar, aku yakin saat itu sesuatu yang buruk telah terjadi kepadamu. Apalagi, ketika kau membuka bajumu dan memperlihatkan sebelah payudaramu yang terluka. Seperti bekas dicakar. 

Saat itulah untuk pertama kalinya kau menangis dalam-dalam, tanpa suara. Seolah siapa pun di luar kamarmu tak boleh ada yang mendengarnya. Kau bersedih. Sedih sekali. Setelahnya kau banyak menatapku dengan tatapan aneh. Kau melihatku dengan perasaan jijik. 

Hari itu adalah awal yang buruk. Karena yang terjadi selanjutnya, hampir setiap kali kau menatapku, kau terus mengatakan kalimat serupa. 

"Aku punya rahasia. Dan tidak boleh ada yang tahu. Kalau semua orang tahu, aku akan hancur." 

Hari berikutnya. 

"Aku akan baik-baik saja. Semua orang tidak boleh tahu." 

Begitu seterusnya. Kau tak pernah tak mengatakan kalimat-kalimat semacam itu setiap melihatku. 

Kau seolah mendapatkan kekuatan setelah mengatakan itu, akan tetapi, setiap pulang kuliah, kau kembali menatapku dengan perasaan jijik dan mulai menangis. Mulai meraba-raba tubuhmu sendiri dan mulai sedikit memukul-mukul meja. Tidak terlalu keras, tapi tanganmu pasti sakit. Aku yakin. 

Setiap sedang menangis itu, kalau kau mendengar suara langkah ibumu, buru-buru kau bersembunyi di balik selimut. Pasti kau pura-pura tidur. 

Kau tidak ingin orang-orang mengetahui apa yang terjadi kepadamu, sekalipun itu ibumu, adikmu, atau ayahmu. Kau bersikeras terus mengatakan kalimat-kalimat itu di depanku setiap hari, setiap kau bertemu denganku.  

Semakin hari, semakin sering, kalimat demi kalimat yang kau ucapkan kepadaku itu, lama-lama semakin pelan dan kau semakin tak berniat. Seolah kau tahu, meyakinkan dirimu sendiri di depanku adalah hal yang akan sia-sia. 

Dan tibalah hari itu. Saat kau menatapku dengan sangat sendu dan kau mulai menangis, gemetar, berteriak, lalu melemparkan semua barang-barang, serta berkat satu tinju darimu, sebagian dari tubuhku berjatuhan ke lantai. Tanganmu berdarah karenanya.  

Aku hancur. Aku melihatmu begitu hancur. Semuanya kacau dan berantakan. Seperti ada gempa bumi besar yang menghantam kamarmu. Hanya kamarmu. 

Ibumu lalu datang memeluk. Ia sangat panik dan bertanya ada apa. Kau masih bungkam. Di sudut lantai yang yang berantakan, aku melihat selembar obat penenang. 

  ***

Beberapa hari kemudian, kau tidak ada di kamarmu. Entah apa yang terjadi. Apakah kau sudah menceritakan semuanya kepada keluargamu, aku belum tahu. Satu yang pasti, kamarmu masih berantakan. Pernah sekali waktu adikmu masuk. Ia hanya mengambil beberapa helai baju milikmu, lalu menatap bagian-bagian tubuhku yang berserakan.  

Setelah itu, ia pun pergi. Kamarmu kembali kosong. 

Tak pernah kudengar apa-apa lagi di kamar ini. Di luar kamar pun sepertinya suara-suara tak begitu jelas terdengar dari sini. Aku menunggumu kembali, asal kau tahu. Sebagian tubuhku masih di lantai. Ibumu, entah kenapa belum juga membereskannya.  

Ayahmu yang datang. Ia membereskan semua bekas kekacauan yang sudah terjadi. Ia merombak semuanya, termasuk akan menggantiku dengan cermin yang lain. 

Aku akan disimpan di gudang. Sebagian tubuhku hendak dibuang.  

Sebelum benar-benar dipindahkan, aku melihatmu di ruang tengah. Kau tampak sedikit lebih baik. 

"Eh, kenapa dipindahkan?" tanyamu.  

"Cerminnya? Ayah copot karena sudah rusak. Sebagian lainnya sudah hancur. Akan ayah buang. Takut berbahaya, karena sempat berserakan di lantai. Ayah akan bersihkan sampai benar-benar bersih. Tenang saja." 

Kau terlihat tak senang. Ayahmu pun kembali bertanya. "Kenapa? Kau tidak mau cermin ini dibuang?" 

Kau mengangguk.  

"Tapi, ini sudah rusak." 

"Aku bisa menyambungkannya lagi, Ayah. Ini masih bisa digunakan." 

"Tidak boleh. Biar Ayah pasangkan yang baru. Cerminnya sudah retak, kalau pun disambungkan lagi, tidak akan sama seperti semula. Nanti kalau kamu sedang becermin pun akan terlihat kurang pas." 

Kau berpikir agak lama. Ayahmu masih diam, menunggu keputusanmu. 

"Baik, Ayah. Pindahkan saja ke gudang. Ganti saja dengan yang baru," ucapmu sambil tersenyum. Setelah sekian lama, itu adalah senyum terbaik yang pernah aku lihat. Sungguh. 

Aku yakin kau sudah melakukan yang terbaik. Kulihat Ibu, Adik, dan ayahmu menjadi semakin perhatian dan peduli.  

Sepertinya, kau memang sudah menceritakan rahasiamu itu. Aku lega. (*)




Tasikmalaya, 2022




Imas Hanifah N. Lahir di Tasikmalaya. Aktif sebagai admin di komunitas Loker Kata. Beberapa karyanya pernah dimuat di media cetak maupun media elektronik. Salah satu cerpennya berjudul Sebuah Kotak dengan Anna di Dalamnya dimuat di ghibahin.id beberapa waktu lalu. Baginya, membaca dan menulis adalah sebuah kebutuhan.







Posting Komentar

0 Komentar