005

header ads

Puisi Aan Subhansyah | YANG TERTUNDA

Puisi Aan Subhansyah

|  YANG TERTUNDA


"Kamu suka puisi yang membius atau yang menggugah?" 

Perempuan itu bertanya sambil membentangkan kedua matanya. 


Pada pupil yang melebar itu

kulihat ada sebatang jalan di antara rerumpunan padi yang baru tumbuh, menuju dua gunung dengan matahari tersenyum di atasnya.

Keindahan masa kecil yang sangat kolonial.


"Mata memang tidak netral," kata perempuan itu.

“Kita hanya melihat apa yang kita ingin lihat.

Dan keinginan itu entah siapa yang membuat."


Di luar langit memerah. 

Ribuan penyair telah mengcopy-paste-nya untuk puisi-puisi senja mereka. 

Pemandangan yang demikian terkonstruksi 

tanpa pernah dipertanyakan kembali. 


"Tentu tidak mudah keluar dari jeratan makna yang sudah kita pintal sendiri." 

Lanjut perempuan itu dengan senyum.

Mutiara berderet-deret. 

Aku terendam dalam pengaruh iklan pasta gigi jaman dulu.

Bunga-bunga imajinatif berhamburan dari mulutnya.


Aku tidak tahu, sedang tergugah 

atau terbius.


Yogya 28/04/22






RENUNGAN SOEKARNO 


menyelami renungan Soekarno

di kebiruan laut Ende

aku mencari lima butir mutiara 

peripih tumpu candi pertiwi 

pemandu laku para pengabdi


sudah ratusan tahun 

kapal-kapal negeri yang jauh

datang menanam jangkar

mengisap darah kami

menguras hasil bumi


tanah ini rekah

ngenas seperti tenggorokan jelata

tak ada kosa kata untuk menongkah

lidah tak bersambung otak 

tangan tak berlanjut tindak


renungan Soekarno masih menggenang 

lima butir mutiara redup di kejauhan

kolonialisme bersilih rupa 

seiring rempah berganti sawit 

pertiwi tergerus serupa pantai abrasi


di bawah sukun bercabang lima

aku menaut arwah sejarah

daun kering jatuh berganti pucuk baru

perjuangan kalian lebih sulit, kata beliau, 

karena melawan bangsamu sendiri 

ARCA TANPA KEPALA 


Memandang arca tanpa kepala

Meresapi episode zaman yang terpenggal :

Selembar wilayah antara 

Di benaman abad-abad yang bersila 

dalam hening 


Masih terasa tangan pemahat

Menafsir sembah para peziarah

Membentuk raga

Meniup nyawa 

Dalam daur hidup yang ritmis


Waktu berkelebat seperti pedang 

Memutus silsilah peradaban

Jiwa-jiwa arca luruh

Lepas dari tubuh lungkrah 

Lebur dengan semesta


Arca tanpa kepala bertahan 

Dengan badan penuh catatan 

dari abu gunung api dan proses oksidasi 

Yang tak dimengerti oleh siapapun lagi

Kenangan rontok di kaki-kaki pemujaan


Seorang gadis berselfi di balik arca itu

Seolah memberinya kepala baru

berkerudeng, berkacamata hitam, berbibir munjung

Mukanya glowing




ANGKRINGAN JOKPIN 


nasi kucing adalah 

nasib yang dikareti 

supaya tidak ambyar

     

sate usus adalah 

lelah hewani yang didaur

menjadi sedikit manusiawi

       

wedhang jahe adalah 

kehangatan yang tersisa 

dalam obrolan yang makin anyep

 

angkringan adalah kemuraman

yang didekorasi 

agar bisa dinikmati


seperti yogyakarta. 


Yogya 13/03/22











KLITIH 


telah kami peram 

segenap ingatan tentang kota ini 

rindu yang menjadi dendam

berbuih di permukaan gelas

berputar dalam lingkaran pertanyaan 


kebudayaanmu yang tinggi

bukan lagi milik kami

semua sudah dikemas apik

dalam paket-paket berbandrol mahal

demi mereka yang mampu memborong


tak ada yang tersisa 

selain malam-malam dan aspal jalan 

yang sama hitam-legamnya 

menggulir roda-roda nasib kami

dari satu masalah ke masalah lainnya 


kami adalah kejauhan

sisi gelap di balik pentas dan karnaval 

menukar jiwa muda dengan senjata

menggerus citra kota luhurmu

seperti osteoporosis menggeropos tulang


Yogya 08/04/22






YANG TERTUNDA


"Kamu suka puisi yang membius atau yang menggugah?" 

Perempuan itu bertanya sambil membentangkan kedua matanya. 


Pada pupil yang melebar itu

kulihat ada sebatang jalan di antara rerumpunan padi yang baru tumbuh, menuju dua gunung dengan matahari tersenyum di atasnya.

Keindahan masa kecil yang sangat kolonial.


"Mata memang tidak netral," kata perempuan itu."Kita hanya melihat apa yang kita ingin lihat.

Dan keinginan itu entah siapa yang membuat."


Di luar langit memerah. 

Ribuan penyair telah mengcopy-paste-nya untuk puisi-puisi senja mereka. 

Pemandangan yang demikian terkonstruksi 

tanpa pernah dipertanyakan kembali. 


"Tentu tidak mudah keluar dari jeratan makna yang sudah kita pintal sendiri." 

Lanjut perempuan itu dengan senyum.

Mutiara berderet-deret. 

Aku terendam dalam pengaruh iklan pasta gigi jaman dulu.

Bunga-bunga imajinatif berhamburan dari mulutnya.


Aku tidak tahu, sedang tergugah 

atau terbius.


Yogya 28/04/22






BAHASA BUNUH DIRI 


Seorang perempuan baru saja melakukan bunuh diri. 

Dalam proses kematiannya dia mencoba mengingat-ingat

apa alasan dia mencabut nyawanya sendiri. 


      Apakah karena aku putus cinta? 

      Ah bukan. 

      Apa karena aku dililit kemiskinan? 

      Masak sih? 


Banyak orang putus cinta 

tapi mereka tidak bunuh diri. 

Banyak orang yang miskin 

tapi mereka juga tidak bunuh diri. 


Jadi, mengapa aku melakukan itu? 

Pasti karena ada yang hilang dari diriku. 

Aku bahkan tidak dapat mengatakannya. 

Ah inilah soalnya : 

Aku telah kehilangan kata-kata. 


Bahasa adalah fitrah hidup mahluk sosial. 

Ketiadaan bahasa adalah kehilangan kehidupan. 


      Kata-kataku tidak dimengerti. 

      Omonganku tidak dipercaya. 

      Aku dianggap tidak berguna dalam     

      perbincangan. 


Bunuh diri adalah alat komunikasiku. 

Sebuah artikulasi yang keras.

Sebab banyak orang yang hanya mengerti bahasa kekerasan.

Aku sudah melafalkan itu 

dengan diriku sendiri sebagai korbannya.


Kematian ini bahasa terakhirku. 

Mungkin orang bisa memahami sesuatu 

setelah kehilangan sesuatu. 


Yogya/25/03 /2022






Tentang Penulis

Aan Subhansyah. adalah peneliti etnografi dan praktisi pemberdayaan komunitas. Lahir di Bangka, tamatan Jurusan Antropologi UGM. Saat ini berdomisili di Sleman bersama istri dan dua anak laki-lakinya. E mail : subhansyah@mail.ugm.ac.id


Posting Komentar

0 Komentar