Kisah sebelum Menikmati Secangkir Teh
Darwis mengerutkan kening ketika membuka sebuah pesan WhatsApp dari nomor yang tidak dikenalnya. Sebuah foto seorang perempuan cantik berbusana serba mini sedang dipeluk seorang lelaki setengah telanjang terpampang di layar. Itu bukan foto dirinya atau istrinya, melainkan foto mantan istrinya dengan suami barunya. Di bawah foto itu tertulis: Ini aku, Dewi, mantan istrimu. Aku telah berhasil mendapatkan suami yang mampu memenuhi keinginanku. Kau bagaimana, Darwis?
Jika tadi dia mengerutkan kening, kini dia tersenyum sambil menutup pesan dari nomor mantan istrinya itu. Dia bersiap menghapus pesan itu sekaligus nomornya. Tapi, dia terkejut ketika suara Putri, istri barunya, terdengar persis di belakangnya.
“Siapa, Mas?” tanya Putri sambil meletakkan secangkir teh panas di meja di samping Darwis.
“Oh ... emm ... anu ... ada teman iseng,” jawabnya geragapan, khawatir jika Putri akan cemburu dan marah.
Tatapan dan kening Putri mengerut, merasa aneh dan curiga dengan sikap suaminya. “Coba lihat.” Pinta janda tanpa anak yang dia nikahi sekitar satu tahun lalu dan sekarang sedang mengandung.
Dengan ragu Darwis memberikan ponselnya. Lalu, mengamati wajah istrinya yang tampak semakin tidak nyaman. Darwis bertambah gelisah saat sesekali istrinya menatapnya tajam dan sesekali mengusap-usap perutnya yang menggembung.
Agak lama Putri mengamati layar ponsel suaminya. “Ini mantan istrimu, Mas?” Putri bertanya dengan nada dan wajah datar.
Ada kegelisahan di wajah Darwis. Ia ragu untuk untuk berterus terang. Namun, tak mungkin baginya untuk tak menjawab. “Iya …,” suaranya lirih dan menggantung. “Aku dan dia sudah sepakat menghapus nomor ponsel kami, tapi rupanya dia masih ingat nomorku.”
“Mungkinkah sebenarnya dia masih sayang sama kamu?” nada Putri menyelidik.
“Kurasa tidak. Aku justru menduga dia masih menyimpan nomorku hanya agar bisa pamer telah menemukan suami yang seperti dia katakan di bawah foto itu.”
“Menurutmu, Mas, apakah dia sangat cantik?”
Pertanyaan sederhana itu membuat Darwis agak sulit menjawab. Dalam hati dia memang mengakui bahwa Dewi memang lebih cantik dari Putri. Tapi, tak mungkin dia mengatakan apa adanya kepada istrinya. “Dia suka sekali berdandan.” Hanya kalimat itu yang terlintas sebagai jawaban.
Putri tak menjawab. Tapi, kemudian dia tersenyum. Senyum yang sulit diterjemahkan — apakah senyum tulus atau selidik. Sebuah sikap yang membuat Darwis penasaran.
“Aku ingin Mas Darwis menceritakan mengapa sampai berpisah dengan wanita secantik ini. Aku mengakui kalah cantik dengannya.”
“Jangan berkata begitu, Sayang. Percayalah, jika kamu suka berdandan, kamu pasti lebih cantik. Tapi, apakah alasan pisah kami penting bagimu?”
“Tentu. Agar aku yakin telah tepat menikah denganmu.”
***
Bagi Dewi, tampil cantik nan menarik adalah harus. Ia seolah tak peduli berapa pun biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi hasrat itu. Dia tampak tidak peduli berapa penghasilan Darwis. Dia akan tersenyum bangga saat di jalanan atau di mana pun jika semua mata memandangnya kagum. Pernah suatu kali Darwis bertanya, “Untuk siapa kau berdandan, Dewi?”
Dengan datar Dewi menjawab, “Tentu saja untukmu. Kau berpikir aku berdandan karena aku suka lelaki lain?”
“Tidak. Tapi kau berdandan berlebihan setiap hari, apalagi jika akan bepergian.”
“Tentu saja. Tidakkah kau merasa bangga aku dipuji orang lain? Bukankah pujian itu sama saja menaikkan harga dirimu, Sayang?”
Darwis bisa memahami maksud perkataan Dewi. Tapi baginya, kekaguman orang lain kepada istrinya bukan hal penting. Apalagi jika hanya kekaguman lahiriah semacam itu. “Jika hanya demi itu kau melakukannya, sebaiknya tidak perlu lagi, Sayang. Aku sudah bangga kau menjadi istriku. Biarlah orang tidak melihat kecantikanmu. Aku tidak butuh orang menghargaiku hanya karena mereka telah melihat kecantikmu, Sayang.”
Namun, Dewi justru membara. Dewi menatap tajam dan gusar. “Tidak. Aku harus tampil cantik. Ini penting bagiku.”
“Sepenting apa, Sayang?” Darwis mencoba meredam emosi Dewi dengan bertanya lembut.
Bara Dewi malah semakin pijar. “Pokoknya aku harus tampil cantik. Itu penting. Sudah, jangan tanya-tanya lagi.”
Darwis tak peduli dengan bara Dewi. Dia rupanya ingin melepas beban yang terpanggul selama ini. “Apakah itu berarti kau berdandan lebih karena untuk menyenangkan dirimu sendirimu?”
Dewi menatap lebih pijar dan nyala. “Harusnya kau bangga dan berterima kasih padaku karena harga dirimu sebagai suami meningkat berkat aku. Semua orang kagum dengan kecantikanku. Orang-orang akan berpikir kau suami yang hebat bisa membiayai istri sehingga tampil cantik setiap saat. Tidakkah kau berpikir sejauh itu?”
“Aku tidak memerlukan orang-orang berpikir demikian. Bagiku yang terpenting kau tampil bersih dan rapi.”
“Kau lelaki kolot. Lelaki kuno. Lelaki lain ingin istrinya tampil cantik, tapi kau malah sebaliknya. Bilang saja kau tak bisa membiayai perawatan kecantikan dan penampilanku sehingga dulu, bahkan sampai sekarang, sering bilang mencintaiku apa adanya.”
Sejak itu, Darwis dan Dewi sering adu mulut. Perkara yang sebenarnya sepele pun, buku tergeletak di atas kasur, misalnya, bisa meledakkan pertengkaran. Dia memang hanya karyawan biasa dengan penghasilan biasa. Tapi, tuduhan perihal dia mengatakan mencintai Dewi apa adanya karena tidak mau membiayai perawatan tubuh Dewi itu tidak benar. Dulu, dia sungguh mencintai Dewi apa adanya karena dulu Dewi memang tampil sederhana. Seiring waktu, Darwis bertanya-tanya pada dirinya sendiri di manakah kesederhanaan Dewi waktu itu.
Berulang kali Darwis mengingatkan Dewi bahwa dirinya sudah puas dengan penampilan Dewi yang sederhana saja asal bersih, rapi, dan sopan. Tapi, Dewi keras kepala. Dia seolah tidak rela jika dia tampil biasa-biasa saja di depan orang lain.
Mungkin saking seringnya Darwis mengingatkan, Dewi menjadi kalap. Dewi marah dan mengatakan tidak betah hidup dengan Darwis. Dia minta cerai. Kepada pengadilan, dia mengatakan Darwis tidak bisa memenuhi kebutuhannya. Darwis pun telah berusaha mempertahankan pernikahan, tapi Dewi tetap pada pendiriannya. Mediasi yang beberapa kali dilakukan dengan pihak pengadilan tidak ada gunanya.
“Pokoknya, kita cerai. Kita lihat, apakah kau bisa mendapatkan wanita sebaik aku yang peduli dengan harga diri dan kehormatan suaminya. Kau tak akan pernah mendapatkan wanita yang seperti aku.”
Dengan berat hati Darwis menandatangani surat perceraian itu.
***
Putri tersenyum mendengar cerita dari suaminya. Kemudian, dia membisikkan sesuatu ke telinga suaminya itu.
Darwis mengerutkan kening seraya menatap Putri lekat. “Benarkah itu? Bagaimana bisa kebetulan seperti ini?”
“Mungkin sudah jalan hidup kita, Mas. Aku sekarang yakin, kaulah suami yang tepat untukku.”
Darwin mengamini. “Tapi, bisakah kau ceritakan bagaimana kalian sampai bercerai sedangkan kau merupakan wanita baik.”
***
Tiga tahun lalu, Putri berkenalan dengan lelaki gagah dan tampak sebagai lelaki berpenghasilan tinggi. Tapi, bukan hanya karena itu dia mau menikah dengan lelaki itu. Alasannya adalah karena di mata Putri saat itu, lelaki gagah itu sangat sopan dan tidak neko-neko. Mereka menikah beberapa bulan setelah perkenalan itu.
Belum genap satu tahun pernikahan, suami Putri mulai memintanya melakukan yang aneh-aneh. Dia meminta Putri memakai pakaian seksi ketika diajak keluar. Putri yang dari kecil tidak suka berbusana serba mini tentu saja menolak. Sekali dua kali suaminya masih terima. Tapi lama-lama, dia marah kepada Putri. Dia mengatakan Putri sebagai istri yang tak penurut. Memang iya, Putri tidak menurut karena baginya memamerkan keseksian di depan umum adalah sebuah kesalahan baginya. Setidaknya itu bagi pandangan prinsipnya.
Suaminya tidak mau menerima alasan Putri. Karena itu, pertengkaran yang semula kecil lambat laun menjadi besar dan berkobar. Perpisahan pun tak terhindarkan.
Putri memang bersedih karenanya. Tapi kini dia merasa beruntung, berkat perpisahan itu dia dipertemukan dengan Darwis dan menjadi istrinya.
***
“Hidup kadang memang begini aneh. Terasa sebagai sebuah kebetulan, padahal mungkin sekali bukan kebetulan. Dewi dulu istriku. Kau dulu istrinya. Sekarang, Dewi menjadi istrinya. Dan, kau menjadi istriku.” Darwis berkata seolah untuk dirinya sendiri.
Putri tersenyum seraya bangkit mendekati Darwis. “Tidak aneh, Mas. Baru saja aku ingat, kira-kira dua setengah tahun lalu kita pernah bertemu di lapangan bola. Kau memberi jalan keluar aku dan pacarku yang sekarang menjadi suami Dewi saat terjadi kerusuhan. Itu hanya sekejap, wajar jika kau lupa. Tapi, tompel di punggung tanganmu ini mengingatkanku.”
“Jadi, kau tidak cemburu dengan Dewi?”
“Aku hanya ingin tidak kalah cantik dengan Dewi.”
Darwis paham maksud istrinya itu, lalu tersenyum. “Asal jangan berlebihan. Aku tidak ingin kecantikanmu dan keindahan tubuhmu di nikmati mata lelaki lain.”
Putri tersenyum, mengangguk, dan segera memeluk Darwis. Darwis membalas pelukan itu beberapa lama. Kemudian, dia menikmati secangkir teh buatan istri barunya itu dengan wajah berbinar.
Tentang Penulis
Era Ari Astanto penyuka bika ambon ini lahir di Boyolali. Saat ini bekerja di sebuah penerbitan buku pelajaran di Solo dan aktif di komunitas Sastra Alit. Karya tunggal yang sudah diterbitkan adalah Novel berjudul Jika sang Ahmad tanpa Mim Memilih (Najah, 2013), The Artcult of Love (Locita, 2014), Novel Bertutur Sang Gatholoco (Basabasi, 2018), Novel Riwayat Bangsat (Basabasi, 2019). Karya antologi: Memoar Bermasjid (Diomedia, 2017), kumcer Masa Depan Negara Masa Depan (Surya Pustaka Ilmu, 2019), Memoar Ramadhan dan Merantau (Diomedia, 2019), kumcer Hanya Cinta yang Kita Punya untuk Mengatasi Segalanya (Divapress, 2020). Cerpen-cerpennya juga tayang di beberapa media online. Buku terbarunya yang terbit: Novel dwilogi Nama yang Menggetarkan (Diomedia, 2020).
: ERA ARI ASTANTO Tempat dan tanggal lahir : Boyolali, 19 November 1983 Jenis Kelamin : Laki – laki Agama : Islam Kewarganegaraan : WNI Alamat Tinggal : Gempol Rt 01/ Rw 01, Kelurahan Kenteng, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali (57378), Jawa Tengah. WA : 085 601 897 946 E – mail : eraari19@gmail.com
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024