005

header ads

CERPEN: TENTANG JARAK (Junilawata Resdia)



(Ditulis atas permintaan seorang kawan atas kebenaran yang diungkapkan tanpa kejujuran)

Terkadang angin dapat menyampaikan cerita dari pendengar yang satu ke pendengar yang lain. Dari perdengar yang lain ke pendengar yang lainnya lagi. Begitu seterusnya. Pada akhirnya jarak tak lagi menjadi penghalang agar sampai cerita-cerita.

“Kami pernah menyebut jarak sebagai rindu.” Lelaki menyampaikannya padaku suatu ketika di sela obrolan kami. Obrolan ringan yang kemudian memabukkan. Bukan aku, tapi dia yang mabuk. Mabuk karena ceritanya sendiri.
Tiada pengakuan yang memberi penjelasan bahwa kisah itu miliknya. Sayang sekali, ia tak pandai berkilah. Anginpun menyadari demikian, lalu kebenarannya sampai padaku tanpa pembenaran darinya. Angin menghantarkan berita dari jarak komunikasi aku dan Lelaki, tentang jarak yang mengisahkan Lelaki dengan seorang Dia.

“Entah dari mana akan kumulai cerita ini, kawan. Segalanya masih lengkap diingatan namun tak ingin kuingat lagi.” Untuk pertama kali setelah perkenalan tanpa jabat tangan yang mengakrabkan, ia mula-mula ingin sekali berkisah. Keraguan mengikat tak erat lidahnya dan menutup tak rapat mulutnya.
“Katakankan saja! Sekiranya ingin memulai, maka mulailah dari awal. Jika awal itu yang tak ingin diceritakan, awalilah dari akhir.” Kuserahkan padanya, agar ia dapat menikmati kisah yang hendak disampaikan.

Lelaki telah dijumpai masa lalunya. Seorang yang bersamanya pernah memberi kepercayaan pada jarak. Seseorang yang kepadanya pula kemudian mengingkari.
“Kali pertama kami berjumpa di sebuah kota yang asing.” Tidak perlu menunggu waktu lama sampai lelaki mengucapkan kalimat pengantar ceritanya. Tanpa komentar kubiarkan ia diam sejenak menjemput kenangan-kenangan yang telah lama ditinggalkan.
Aku memberinya kesempatan untuk berdansa dengan nostalgia yang kembali membuainya dalam bentuk yang lain. Aku tau dia lagi-lagi terpesona. Gadis di masa lalu yang terlupa, kini merasuki fikirannya dengan lebih gila.
Bukan salahnya jika dengan sengaja pada suatu hari yang lalu ia memaki-maki perasaan sendiri agar terlepas dari kekangan cintanya. Seorang gadis yang hadir menawarkan peluk kehangatan tidak lain rupanya hanya datang untuk meninggalkan jejak kebohongan pada ketulusan, menitipkan noda pada jarak.

Kota asing yang mempertemukan Lelaki dengan gadis itu menjadi saksi perasaan yang tak sanggup mereka bendung. Dari pandangan-pandangan penuh kasih ia curahkan cinta kepada sang gadis. Sang gadispun demikian, menawarkan harapan-harapan indah warna-warni untuk berdua.
Cumbuan-cumbuan tanpa dosa mereka pupuk dengan janji. Mengungkapkan kalimat-kalimat cinta beraut muka manis sarat ketulusan. Saling memberikan sentuhan tanpa harus meraba. Betapa suci hubungan yang mereka jalin.

Masih kusimak kisah yang tak pernah diakui sebagai kisahnya itu. Lelaki bilang, ini cerita kawan yang lain yang diceritakan kepadaku, lalu kuceritakan kepadamu. Baiklah. Aku tidak memaksanya untuk mengakui perihal milik siapa cerita itu sesungguhnya. Tugasku hanyalah sebagai pendengarnya. Tidak lebih, meskipun sesekali masih bertanya bebrapa hal.

”Setelah bertemu sekali lagi, apakah rindumu kembali  membuncah?” Diamnya memberikan keyakinan bahwa ia tak akan menjawab pertanyaan konyolku. Siapa pula yang tak akan merindukan seorang yang pernah hadir di hati tetapi telah lama kehilangan beritanya?
“Tentu saja tidak.” Jawabannya di luar dugaanku. Lelaki mengungkapkan ketidakrinduannya dengan tegas. Sekarang giliranku yang terdiam. Jarak saat kami berkomunikasi di udara tentu saja menghalangi pandangan. Tidak ada yang tau seperti apa ekspresi dari masing-masingnya.
“Kami pernah menuliskan janji pada dinding jarak. Entah aku yang kurang pintar menulis atau dia yang mahir menghapusnya.” Aku berusaha mencerna dua kalimat penjelas itu. Kufikir Lelaki telah dirundung salju kekecewaan. Hatinya beku. Terlalu sulit dilelehkan bahkan ketika besi panas disentuhkan.

“Kecewa?” Lelaki diam lagi. Untuk kedua kalinya aku salah menebak. Dengan jelas kemudian ia mengungkapkan bahwa hatinya sama sekali tidak kecewa. Ia hanya sudah terlanjur menutup segala pintu yang memungkinkan orang yang tak menghargai karyanya masuk ke galeri hati.

Gadis itu telah melukainya bertahun-tahun yang lalu. Sebuah kota yang asing mempertemukan mereka. Kota asing itu kemudian menyatukan. Dari kota itu pula mereka berpisah. Berkali-kali menuliskan janji pada jarak. Berulang kali saling memeluk tanpa perlu saling menyentuh.

Lelaki menanam benih harapan pada janji mereka. Ia percaya gadis akan serta memupuk dan menyirami tanaman itu. Sebab mereka berdualah yang menghadirkan bibitnya.
Kian hari makin besar. Mereka bahagia. Lelaki percaya bahwa benih yang mereka pupuk bersama dan kini telah tumbuh besar akan menghadiahi buah-buah manis. Mereka berdua tentunya yang akan menikmati dengan sedikit-sedikit mengundang orang-orang untuk sekedar berbagi kebahagiaan.

Maka tibalah pada kesempatan lain di kota yang lain. Sekali lagi mereka dipertemukan. Bukan main bahagianya lelaki. Do’a-do’a kerinduannya terjawab. Ia akan bertemu kekasih hatinya. Gadis kecintaan yang telah memupuk masa depan bersamanya.
Hari begitu teduh seolah mendukungnya untuk mendatangi pertemuan. Senyum tiada lepas dari bibir Lelaki. Sebenatar lagi ia dan gadis akan bercengkrama pada sebuah perjumpaan.

Bagai hendak meneguk air ketika cangkir telah sampai di bibir lalu seseorang menumpahkan. Lelaki yang terlanjur bahagia sekarang harus menahan sesak di dada. Menahan getar saat berjabat tangan dengan seseorang yang diperkenalkan sebagai kekasih dari gadisnya. Bahkan mereka telah menjadi sepasang kekasih jauh sebelum pertemuan lelaki dan gadis di kota asing. Sungguh sia-sia cerita mereka tentang jarak yang kemudian mengingkari janji setia.
Hati siapa yang takkan terluka? Dengan besar hati Lelaki masih tersenyum dalam dukanya. Seorang yang berdiri berdampingan dengan gadis justru mengungkapkan kebanggaan atas komunikasi cinta yang telah gadis itu bangun dengan lelaki, meskipun tersenyum tak terlihat wajah bersahabat di hatikekasih gadisnya itu.
Demikian, gugurlah daun-daun pokok cinta yang mereka pupuk. Lelaki tentu saja sedih hatinya. Ia tanggalkan rasa-rasa yang membengkak. Bertahun-tahun ia basuh otaknya dengan air keras tapi tak membakar. Lelaki ingin gadis itu benar-benar hancur di fikirannya.

“Kini ia datang lagi.” Dengan suara gumam yang kuyakini sebagai senyum masam lelaki mengatakannya padaku. Ia mabuk karena kembalinya gadis itu. Bukan mabuk karena rindunya. Tidak pula mabuk sebab cintanya kembali.
Hanya saja gadis itu datang untuk menawarkan dirinya sebagai kekasih. Lelaki sudah tak hirau. Ia sudah terlanjur menututup rapat-rapat kesempatan kedua bagi gadis yang telah merusak karya berupa cinta yang diukir berbentuk janji pada jarak.
“Kau tahu, kawan? Kehadirannya sekarang tidak lebih sebagai gadis asing yang pernah kujumpai di kota asing.” Itu saja yang diuangkapkanLelaki pada akhir cerita. #cerpen
-Selesai-


JUNILAWATA RESDIA (NILA)
Lahir di Muaro Paneh/ 06 Juni 1991. Bekerja sebagai Guru Honorer, Pengurus BADKO HMI Sumatera Barat. Jl. Pemuda No. 72 Balai Gadang Jorong Koto Panjang Muaro Paneh Kab. Solok SUMBAR. Novel berjudul “Kutinggal Kau dalam Tahajud” dan beberapa karya lainnya yang dimuat dalam antologi bersama. Akun FB: Junila Wr Chaniago. Instagram: @junila.wr. Twitter: @junilawr6. HP 082391819282

#cerpen #viral

TELAH MENJADI PEMENANG VIRAL SEPEKAN TERATAS

Posting Komentar

3 Komentar

Klaim 25.000 per tulisan, berlaku mulai 1 April 2024