Dimuat koran Radar Kediri, Minggu 3 Maret 2024
MESIN MESIN PERADABAN
CERPEN WALIDHA TANJUNG [FILESKI]
Latar cerita ini bukanlah kisah di sebuah negara yang letaknya di Asia. Yang pasti ini adalah kisah dari sebuah negara yang sangat indah, siapapun yang datang kesini pasti bakal betah dan tak ingin beranjak pergi dari sini. Udara yang sangat sejuk. Airnya yang jernih, dekat dengan sumber mata air, dan berbagai tanaman bisa tumbuh subur. Negara ini berawalan huruf V. Negara ini memiliki iklim tropis di bagian utara dan timurnya. Tanah di negara V sangat subur dan kaya akan minyak bumi, dan merupakan salah satu negara penghasil pertanian terbesar di benua itu.
Saya akan menceritakan hal yang menarik dan mengherankan, namun demi kebaikan, kita ambil hikmah dari kisah ini tanpa harus menyebutkan nama negara. Yang jelas negara ini memiliki beragam topografi, mulai dari pegunungan, hutan hujan, hingga pantai. Salah satu keindahan alam yang paling terkenal adalah air terjunnya. Termasuk Air terjun tertinggi di dunia dengan ketinggian hampir seribu meter, merupakan rumah bagi beragam flora dan fauna. Selain itu negara ini juga memiliki banyak keindahan alam lainnya yang tak kalah menakjubkan.
Ada pegunungan unik yang memiliki puncak datar seperti meja. Ada juga Hutan Hujan yang sangat luas, juga menjadi tempat hidupnya beragam flora dan fauna. Pantai-pantai di Negara V terkenal dengan pasirnya yang putih dan airnya yang biru jernih. Keindahan alam di Negara V telah menarik wisatawan dari seluruh dunia. Para turis takjub dengan pemandangan yang sangat indah, didukung dengan keanekaragaman hayati dan budaya yang kaya.
Kisah ini berawal dari seorang guru yang mengajar di sekolah menengah atas. Dulunya ia orang yang bahagia, menjadi seorang guru adalah passion-nya. Membagikan ilmu kepada murid adalah kegairahan yang membuat hari-harinya selalu bersemangat. Lazimnya manusia, hidup perlu keseimbangan. Di luar jam mengajar fisika, ia mempunyai hobi berkebun, menanam buah-buahan, merangkai bonsai, merawat berbagai tanaman obat, dan memiliki banyak tanaman mawar di lahan sekitar rumahnya.
Hidupnya sangat harmoni, selaras dengan alam. Meski di lereng pegunungan, ia tak kalah kreatif dengan para guru di perkotaan. Ia juga punya hobi menulis karya sastra. Kerap kali tulisannya, baik itu puisi dan prosa bisa tembus media massa. Karya-karyanya membuatnya sering diundang di berbagai agenda sastra nasional dan internasional. Seringkali ia mendapatkan penghargaan, salah satunya yang ia banggakan yakni pernah menerima secara langsung anugerah sastra dari gubernur.
Namun semua berubah semenjak ada perubahan kurikulum. Ia tak pernah lagi terlihat bercengkrama dengan berbagai tanaman di kebunnya. Tak kudengar lagi suara siul pak guru yang sedang merayu ribuan bunga mawar di kebun itu. Perubahan sistem yang mengharuskan ia harus menyelesaikan tugas-tugas yang ada di aplikasi.
Yang lebih aku heran lagi, aplikasi itu ternyata ada rating bintang satu sampai lima. Sistem yang mengharuskan ia menyelesaikan tugas, meminta umpan balik dari rekan sejawat, juga meminta umpan balik dari muridnya. Bila hasil kerjanya tidak memuaskan, ia mendapat bintang satu. Yang artinya ia akan mendapat teguran dari dinas terkait, bahkan bisa dimutasi ke tempat yang jauh dari tempat tinggalnya saat ini.
Begitu tragis nasibnya hari ini, ia sudah tak bisa lagi menjalankan passion-nya. Tak ada lagi waktu untuk berkebun dan menulis puisi. Sepulang dari sekolah, ia sempatkan tidur sebentar, dan segera bangun untuk membuka laptop untuk menyelesaikan setumpuk tugas di aplikasi. Di sekolah pun juga sama, setiap guru sibuk dengan tugas di aplikasinya. Membuat murid di kelas belajar mandiri, karena guru sibuk sendiri.
Pun ia harus bersikap manis pada muridnya, untuk menjadi guru yang menyenangkan. Sekalipun dulu ia telah terbukti dengan metode mengajarnya yang ketat dan disiplin, berhasil mengantarkan para siswanya meraih cita-cita kuliah di kampus yang didambakan. Kini ia harus mengubah haluan dengan sistem yang baru. Sistem yang menyibukkan dirinya, sistem yang menyita waktunya dan tak bisa lagi membimbing anak-anak yang potensial dengan waktu tambahan di luar jam pelajaran. Sistem yang membuatnya menjadi guru yang egois, yang mementingkan kebutuhannya sendiri agar bisa mendapatkan poin tinggi dari aplikasi.
Semenjak ia kurang jam tidur, karena harus mengerjakan aplikasi, ia sering pusing. Kecelakaan beberapa hari yang lalu, yang membuatnya terjatuh dari motor, membuat tulang kakinya retak. Sekarang ia harus menggunakan tongkat bantu berjalan. Sehari-hari pergi ke sekolah ia memakai jasa antar jemput ojek aplikasi.
Terkadang sopir ojek lupa, kalau sedang membawa orang yang kakinya sakit, karena kebiasaan ojek yang suka memburu waktu di jam masuk dan pulang sekolah, membuat ojek itu ngebut, agar bisa mendapatkan lebih banyak orang yang memakai jasanya di jam berangkat sekolah dan jam pulang sekolah.
Dengan kondisi kakinya yang sakit, ia menahan kelak-kelok motor yang kecepatan penuh memburu waktu. Ia bisa mengerti dan memaklumi itu, meskipun bisa saja ia memberikan rating bintang satu untuk sopir ojek itu. Namun ia kasihan, tak ingin menghambat rezekinya orang. Bintang satu akan membuatnya mendapat potongan dari perusahaan tempatnya bekerja. Rasa kemanusiaan membuatnya tetap memberikan rating bintang lima untuk sopir ojek yang telah mengantarnya ke sekolah, meski lajunya kebut-kebutan.
Berbeda dengan nasibnya sebagai guru, kini ia tak berani lagi menegur siswanya yang keterlaluan. Menegur siswa dengan keras hanya akan membuat perkara baru, terutama ratingnya akan turun. Ia akan mendapat bintang satu dari murid, dari wali murid, dan mungkin juga kepala sekolahnya sendiri memberi rating buruk. Sebagai peringatan pada guru agar ia tak terlalu keras pada murid. Tidak ada hal yang paling memalukan bagi guru, kecuali dimarahi atasan di depan murid. Hal demikian dampaknya malah membuat murid makin susah diatur, karena merasa ada pembelaan atas murid yang melakukan kesalahan, ketika ke sekolah datang terlambat misalnya.
Kini ia lebih bersikap apatis pada muridnya, sebagai guru yang seharusnya tidak hanya mengajar, tapi juga mendidik. Fungsi guru sebagai pendidik sudah tak berlaku lagi, siswa yang melakukan kesalahan dan ia nasehati, malah melaporkan pada orangtuanya. Bahkan orang tuanya yang berprofesi sebagai pejabat, akan datang ke sekolah untuk membela anaknya, merasa tidak terima karena mungkin anaknya bercerita dengan terlalu dilebih-lebihkan agar guru itu tau rasa, mendapat teguran dari atasannya. Kalau perlu sampai bisa dipindah dari sekolahnya.
Sistem aplikasi semacam itu, yang menilai kinerja guru dari rating dan penugasan di aplikasi hanya mencetak operator-operator mesin yang kerjanya membagikan modul. Belum lagi tuntutan kreatif dengan paradigma trend saat ini, yang disebut kreatif adalah yang bisa viral di media sosial. Sehingga para guru disibukkan dengan hal baru. Orientasinya masuk kelas bukan pelajaran apa yang akan saya ajarkan ke murid hari ini, namun berganti orientasi, konten apa yang menarik untuk saya buat hari ini.
Para guru berlomba-lomba untuk viral, begitu viral maka sudah bisa disebut guru berprestasi. Ia akan diundang oleh kepala daerah, gubernur, bahkan hingga presiden. Usianya yang sudah tua, sudah tidak menarik lagi di depan kamera, tidak mungkin membuatnya bisa berprestasi hari ini. Jerih payah pengorbanan waktu dan tenaganya untuk para muridnya yang telah sukses meraih cita citanya, hari ini menjadi tak ada harganya. Karena guru yang berhasil adalah guru yang viral.
Kini ia tak ada lagi waktu harmoni dengan alam, merawat tumbuhan, dan bernyanyi dengan anak istrinya di kebun mawar. Tak ada lagi waktu untuk menulis buku, tak ada lagi murid yang datang ke rumahnya untuk meminta bimbingan, karena ia dianggap guru yang tidak viral dan tidak masuk hitungan guru dengan rating maksimal. Ingin sekali ia kembali menjadi manusia seperti dulu. Kini ia merasakan dirinya tak ubahnya seperti mesin-mesin peradaban yang semakin jauh dari kemanusiaan. (*)
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313