Merawati May
*ANAK PASAR*
( Cerpen )
*SUDAH sepekan ibunya pergi. Itu diawali dengan kepergian ayahnya yang minggat dengan wanita lain ke Malaysia*
----------------
Sejak kepergiaan ayahnya tiga bulan lalu, ibu Amardino stres. Bahkan keadaannya seperti orang tak waras.
Sesekali ia tertawa sendiri. Tekanan batin inilah dirasakan ibunya begitu berat. Karena di Bengkulu ini ia tak ada famili, Mawar, ibu Amardino, harus mengurus kedua anaknya.
Bagaimana ia harus memberi nafkah dan menyekolahkan anaknya nanti? Aduh, beban ini begitu berat. Mawar tak berani menjelaskan persoalan ini kepada orang lain.
Karena tak mampu mencari jalan keluar, jiwa Mawar begitu terguncang. Ia sudah berusaha mencari pekerjaan, tapi tak pernah ia dapati.
Karena itu ia susah bukan main. Maka pada siang itu ia mengajak Amadino dan anak perempuannya Herna pergi ke pasar.
Sampai di pasar, Mawar harus meningglkan kedua anaknya. Bisa jadi nanti ada orang yang akan mengangkat kedua anaknya sebagai bagai anak angkat. Begitulah pikiran Mawar.
Amardino menitikkan air matanya. Sebab setelah ibunya pergi, mau tak mau ia harus bertanggung jawab mengurus adiknya Herna yang baru berusia empat tahun.
Sedangkan Amardino sendiri baru berusia enam tahun. Ia terpaksa harus berhenti sekolah. Sebab ia harus mengurus adiknya yang masih terlalu kecil.
Amardino ditinggal Mawar (ibunya) di kelokan Pasar Panorama. Kata ibunya, "Amar, tunggu adikmu di sini ya? Ibu mau membeli makanan untuk kalian".
Tak memiliki prasangka buruk, Amardino mengangguk, dan segera duduk di samping adiknya, Herna.
Setelah lebih dari dua jam, Herna menangis. Tampaknya ia haus dan lapar. Amardino juga gelisah. Ia pun akhirnya menangis.
Para pedagang yang ada di sekitar itu kasihan melihat kedua anak itu. Ada di antara mereka yang baik dan segera membelikan nasi.
Kedua anak itu pun makan nasi pemberian orang. Setelah makan, keberanian Amardino pun muncul. Kemana pergi ibu, begitu kata hatinya bicara.
Sejak pagi, ketika adiknya masih tidur di atas tikar butut yang dilapisi jerami padi, ia mengeliling pasar. Sejak tinggal dan bermain di pasar itu, Amardino menjadi anak pendiam dan berani.
Ia sudah menjadi anak pasar yang bersikap liar. Ia ditempatkan para pedagang di samping gudang penggilingan padi. Ia dan adiknya Herna tidur di kelokan jalan itu.
Hidupnya kini hanya didasarkan atas kasihan para pedagang di sekitar itu. Ya Allah, kemana ibu kedua anak ini? Lalu bagaimana keadaan masa depannya?
Jika diperhatikan secara mendalam, wajah Amardino sangat tampan. Kulitnya putih seperti kulit anak Tionghoa. Hidupnya mancung dan berambut lurus hitam. Begitu pula dengan Herna, adik perempuan Amardino. Ia kelihatan cantik dengan kulit putih dan rambut hitam sebatas bahu.
Sayangnya, para pedagang tak ada yang tergerak hatinya untuk mengangkat Amardino dan adiknya Herna.
*****
Malam sudah larut. Mata Amardino tak mau terpejam. Ia menyelimuti tubuh adiknya yang sudah tidur sejak jam delapan tadi.
Di emperan gudang penggilingan padi itu hanya diterangi lampu jalan yang temaram. Karena sudah terbiasa dengan kondisi itu, Amardino tidak takut meski ia hanya berdua dengan adiknya saja.
Yang ia khawatirkan kalau saja ada ular atau tikus _tongtong_ yang punggungnya berkoreng atau kudisan. Ia sangat jijik dengan tikus berukuran besar tersebut.
Di cakrawala, cuaca kelihatan memburuk. Kilat sesekali berkilau panjang sebagai pertanda akan turun hujan. Ya Allah, bagaimana dengan keadaan nasib anak itu berdua jika hujan deras turun malam itu?
Amardino khawatir sekali. Ia duduk tak jauh dari adiknya, sembari merapatkan tubuhnya ke dinding gudang itu. Kilat menyambar kian kemari, cahayanya memendar di kegelapan malam. Akhirnya hujan turun deras sekali.
Airnya menebarkan tempiasnya ke bawah atap genting gudang penggilingan beras. Akibat percikan tempias air hujan, baju Amardino menjadi lembab. Ia tetap bertahan seperti itu agar adiknya tidak basah kerena hujan di malam itu.
*****
Akibat hujan semalaman, badan Amardino terasa demam. Meski suhu tubuhnya tidak meningkat secara berlebihan, namun flu dan batuk membuat fisiknya tak seprima seperti biasanya.
"Ah, aku tak boleh cengeng. Aku harus kuat. Aku harus kuat. Hari ini aku harus mencari makanan untuk adikku," ujar Amardino kepada dirinya sendiri.
Ia bangkit. Adiknya yang masih tertidur di pelukannya, ia baringkan ke tikar butut yang kebetulan tidak tersiram hujan.
Amardino ke luar dari lorong itu. Ia berjalan mencari makanan untuk dia dan adiknya. Meski tak ada sepersen uang pun, Amardino bertekad harus mendapat makanan untuk sarapan pagi.
Pagi itu cuacanya sangat baik. Bekas percikan air hujan semalam masih membekas di tiap sudut pasar. Apabila ada orang-orang berbelanja yang membawa banyak barang belanjaan, Amardino menawarkan diri untuk ikut membantu mengangkatnya.
Tapi tak seorang pun yang bersedia memakai jasa tenaga anak itu. Karena mereka berpikir, tubuh Amardino masih kelihatan kecil. "Oh tidak nak. Biar nanti ibu minta jasa panggul kuli angkut di pasar ini saja, ya?" ujar ibu tersebut.
Amardino kecewa sekali. Dengan tubuh lunglai ia pergi dari sana. Karena perasaan sedih dan kecewa yang berkecamuk di dadanya, ia pun menitikkan air mata.
Sembari berjalan gontai, Amardino menuju ke jalan luar pasar Panorama. Di jalan besar pertokoan luar, ia melihat seseorang laki-laki yang membeli roti, serikaya, dan sate padang.
Roti dan serikaya itu dibungkus di dalam kantong plastik hitam, dan diletakkan di atas meja makan.
Sedangkan laki-laki putih berambut cepak itu sibuk menunggu sate padang. Dengan cara nekat, Amardino tiba di tepi kanan kaki lelaki itu. Dengan cara diam-diam, bungkusan plastik hitam itu ia ambil dan langsung lari secepatnya.
"Hey, pencuri kecil, kembalikan kantong plastik hitam itu. Hey, hey," teriak lelaki itu.
Amardino lari sekuat tenaga meninggalkan lelaki itu. Namun dengan sigap lelaki mengejarnya dari belakang.
Tepat di kelokan jalan, Amardino menghilang. Lelaki itu celingukan ke sana-sini. Namun laki-laki itu masuk ke lorong kecil ke arah gudang penggilangan padi.
Namun betapa kagetnya lelaki itu. Kemudian, secara mendadak kemarahan lelaki itu pun pudar seketika. Mengapa?
Ia melihat Amardino menyuapi adiknya dengan roti serikaya yang ia curi dari lelaki tadi.
"Dik, makanlah. Kebetulan roti dan serikaya ini kakak curi dari Bapak yang rambutnya cepak, dik," ujar Amardino dengan air mata berlinang.
Herna makan dengan lahapnya. Sedangkan Amardino tak mau makan roti itu sebelum adiknya kenyang.
Laki-laki itu tertegun menyaksikan kebersihan hati Amardino. Setelah tinggal sepotong, roti itu pun dilahap Amardino.
****
Tatkala menoleh ke belakang, Amardino kaget setengah mati. Sebab pemilik roti yang ia curi itu sejak tadi ada di sana. Bahkan ia menyaksikan tingkah laku Amardino yang begitu sayang kepada adiknya.
Dengan perasaan gugup Amardino menyatakan maafnya. Karena ia mencuri roti itu untuk diberikan ke adiknya yang lapar. "Sejak kemarin kami belum makan, Pak," kata Amardino menahan tangisnya. Suaranya terbata-bata.
"Tak apa-apa Nak. Bapak sejak tadi memperhatikanmu menyuapi adikmu dengan roti itu. Mana ibu dan ayahmu?" tanya laki-laki itu.
"Ibuku pergi meninggalkan kami seminggu yang lalu, Pak. Sedangkan ayah pergi ke Malaysia. Kata ibuku, ia kawin lagi," jawab Amardino menangis tersedu-sedu.
Ya, Allah, alangkah menderitanya kehidupa dua anak ini. "Kenalkan Nak, saya Pak Akbar. Saya prihatin melihat nasib kalian," ujar Pak Akbar.
Para pedagang yang ada di sekitar itu datang mendekat. "O Pak IPTU Akbar. Apa kabar? " sapa seorang pedagang ikan asin.
"Wuih, Mas Herman. Saya prihatin melihat nasib kedua anak. Sejak tadi kakaknya memberi makan roti untuk adiknya," ucap IPTU Akbar dengan mimik wajah prihatin.
"Iya Pak, mereka itu anak yang ditinggal pergi ibunya. Mereka terpaksa harus berdiam di sini, Pak," ujar pedagang ikan asin tersebut.
IPTU Akbar menatap dalam-dalam wajah kedua anak itu. Wuih, tampan dan cantik juga anak-anak ini, begitu kata hati IPTU Akbar.
"Siapa namamu Nak," tanya IPTU Akbar.
"Saya Armadino. Adik saya namanya Hernani, Pak," jawab Armadino.
"Kalau begitu, apakah Armadino dan adikmu mau bapak ajak pulang ke rumah? Bapak mau mengangkat anak bagi kalian?" ujar IPTU Akbar.
Armadino tidak menjawab. Namun dengan air mata berlinang, ia memeluk IPTU Akbar. "Ayah, kami mau ikut ke rumah ayah," kata Armadino.
Laki-laki langsung memeluk tubuh Armadino. Lalu ia menggendong Hernani dan membawa kedua anak itu dari lingkungan pasar Panorama. (*)
*Bengkulu*
13 Juni 2023
Biodata
Merawati May, lahir di Mukomuko, 12 Mei 1978. Karyanya tergabung dalam berbagai antologi al.
Dan memiliki empat buku tunggal. Perjalananku (2016); Nasihat Ibu ( 2021); Kidung Hati Amreta ( 2022). Aku Milik Siapa ( 2023 )
Karyanya tersebar di berbagai media masa baik media masa daerah, nasional dan Asean. Serta digital.
Pernah masuk di jurnal puisi cinta, majalah Homagi magazin, Media sastra dan budaya, majalah semesta seni, koran PosBali, koran NusaBali, Bali politika, majalah Jurdik.id, majalah elipsis, Majalah Redaksi apakjake, majalah Pemuisi malasiya dan blok pekerja seni Riau.
Fb: Merawati SE
Ig: Merawati May
Email: mutiarakasihbkl@gmail.com
No Hp. 085381277268
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313