005

header ads

Cerpen: MISTERI HILANGNYA KINANTI | Dyah Kurniawati

 MISTERI HILANGNYA KINANTI

Oleh: Dyah Kurniawati


Kinanti hilang malam ini. Warga kampung geger. Bunyi kentongan tanda bahaya menyedot warga  berlarian ke balai desa. Mereka saling bertanya tentang hilangnya Kinanti. Sementara ibu Kinanti tersedu , terduduk lunglai dikerubuti para ibu yang mencoba mengurangi kepedihan.

Aku dan ketiga temanku diinterogasi warga sebagai sumber berita terakhir sebelum Kinanti hilang. Beberapa  perangkat desa bergantian menanyai kami berempat. Wajah kami memucat ketakutan tapi air mata tak berani menetes. Berjuta rasa tatkala teringat canda terakhir bersama Kinanti beberapa jam tadi.

Sehabis salat Isya dan mengaji, seperti biasa kami berlima  pulang searah. Sejak keluar dari halaman langgar memang Kinanti banyak diam. Kalau ditanya  cuma jawab seperlunya. Padahal biasanya dia yang selalu menguasai pembicaraan. Sampai pertigaan kami pisah menuju rumah masing-masing.

Setelah belajar sebentar aku bersiap untuk tidur. Ada yang mengetuk pintu depan ketika baru membaui bantal. Kuteruskan berangkat menjemput mimpi karena kantuk sudah menggelayuti. Tiba-tiba bapak menyentuh pelan tangan kiriku sambil berbisik di telinga,

“Bangun sebentar Nak, dicari ayah dan ibu Kinanti di luar.” 

Kubuka katup mata yang semakin lengket. Bapak mengambilkan minum agar mataku terbuka. Dituntunnya aku ke ruang tamu menemui orang tua Kinanti.

“Wening....di mana Kinanti?” tanya ibu Kinanti pelan sambil mendekatiku.

“Hah...!!!” jawabku terkejut.

“Kamu tau Kinanti ke mana?” gantian ayahnya sangat cemas.

“Hlaa..., dia belum pulang?” tanyaku bingung.

Jadi sampai sekarang Kinanti belum pulang. Aku masih belum paham arah pikiran ke mana. Tadi di pertigaan seperti biasa berpisah menuju rumah masing-masing. 

Akhirnya  semua menuju rumah Gayatri dan teman yang lain. Barangkali Kinanti ikut ke sana. Ternyata tidak ada. Di mana kamu Kinanti?

Ups..., aku terhenyak. Tadi di pertigaan cuma kami berempat yang berpisah, yaitu aku, Wikan, Gayatri dan Asri. 

“Oh iya..., ketika sampai dekat pohon bambu sebelum pertigaan tadi terakhir aku melihat Kinanti.” aku teriak karena teringat sesuatu.

“Hooh...,  aku ingat Kinanti belok kiri ke kebun jagung Mbah Darman.” Gayatri teriak  menemukan jawaban. Semua menoleh kepadanya. 

“Tapi waktu aku panggil dia terus saja dan aku tak tau lagi soalnya  kebelet pipis.” Gayatri menambahkan keterangan.

Malam makin larut dan Kinanti belum pulang. Akhirnya sepakat melaporkan ke Pak Lurah. Kami  ikut karena penasaran kemana perginya sahabatku  itu. Pak Lurah memanggil semua perangkat desa untuk berkumpul di balai desa. Aku, Gayatri, Wikan dan Asri duduk berjejer. Tak berani bersuara karena suasana mencekam. Ditambah suara tangis ibu Kinanti yang menyayat.

Pak  Lurah membagi tugas wilayah pencarian Kinanti. Kebun jagung Mbah Darman  adalah sasaran utama. Sebelum berangkat para bapak menyiapkan oncor dan kentongan dari bambu untuk dibawa keliling. Maklum kampungku waktu itu belum ada listrik dan telepon. 

Rombongan berangkat  menuju tempat yang telah disepakati. Bunyi kentongan bertalu  bersahutan teriring teriakan memanggil  Kinanti. Aku dan ketiga temanku tak mau pulang sampai Kinanti ditemukan. Ditemani para ibu masing-masing akhirnya bermalam di balai desa samping rumah dinas Pak Lurah.

Ketika azan Subuh berkumandang  rombongan pencarian Kinanti  kembali ke balai desa. Aku yang masih terjaga berlari menyambut. Melihat mereka semua wajahnya kacau, bisa dipastikan hasilnya nihil. Ibu Kinanti menjerit-jerit lalu tak sadarkan diri.

Diputuskan semua warga yang masih bergerombol pulang dahulu. Pencarian dilanjutkan nanti kalau  matahari sudah menerangi semesta.  Semua bubar pulang ke rumah masing-masing. Aku pun pulang dengan mata panda karena tak  bisa memejamkan mata. Sedih sekali rasanya. Kinanti pulanglah....

Kebetulan hari ini Minggu. Sampai rumah aku salat Subuh lalu tidur. Entah berapa lama aku terlelap karena lelah menangis. Bangun ketika  di depan ramai mengabarkan Kinanti sudah pulang. Aku pun segera meninggalkan wanginya bantal tanpa sempat cuci muka dan berlari ke rumah sahabatku, Kinanti.

Sampai di sana sudah banyak orang, juga Pak Lurah dan Bu Lurah.  Aku menerobos masuk  lewat sela-sela pinggang orang dewasa yang menggerombol mencari tahu kondisi Kinanti. .

Kinanti menangis di ruang tengah tempat biasanya aku bermain dengannya. Semakin banyak yang datang menjenguk semakin keras tangisnya. Melihat aku datang, ibu Kinanti memanggilku dan menyuruh duduk di samping Kinanti yang terus menangis. Kurangkul dan   ikut menangis beberapa menit sebelum tanganku ditarik ke kamarnya. Aku ikut apa maunya, juga tatkala dia menutup pintu kamar. Hanya kami berdua menepi.

Aku menunggu Kinanti bicara tanpa bertanya sedikit pun. Tangisnya reda, dia menatapku,

“Aku takut, Hening, ” Kinanti memulai cerita.

“Takut kenapa....”Tanyaku sambil merangkulnya.

“Tadi malam sepulang kita mengaji ada orang tinggi besar menggandengku  belok ke kebun jagung Mbah Darman. Aku diajak ke rumahnya yang besar. Di sana banyak anak-anak kecil yang tak satu pun aku kenal.”

Kinanti mengelap sisa air mata dan ingusnya dengan tangan kiri. Lalu  melanjutkan cerita,”

“Lelaki besar itu  menyuruh makan. Di meja makan disediakan berbagai makanan banyak sekali. Aku tak mau soalnya semua makanannya belum pernah aku lihat. Awalnya lelaki besar itu baik sekali padaku, lama-lama kasar setelah aku tak mau makan.”

Kinanti kembali menangis....

“Dia menghajarku. Aku berhasil lari melewati hutan yang gelap. Aku menyeberang sungai yang deras. Walau tak tau arah aku terus lari..., sambil terpejam karena takut.” Kinanti menutup mata ketakutan.

“Ketika lari ada banyak cahaya dari kejauhan. Bunyi kentongan serta suara kaki banyak orang. Tapi lidahku kelu tak bisa bersuara. Aku terjatuh, bangun dan lari lagi, tersungkur lagi, sampai sakit semua tubuhku dan semuanya kembali gelap.” 

Aku bengong mendengar cerita Kinanti.

“Ketika mataku terbuka hari sudah terang  padahal tadi gelap sekali. Aku bingung, tiba-tiba berada di atas batu besar di kebun jagung Mbah Darman. Aku terus menangis dan berteriak sampai Mbah Darman datang dan mengantar pulang.”

Kinanti mengakhiri cerita dengan kondisi lebih tenang. Sampai akhirnya tertidur di sampingku. Ketika tidur pulas, kuselimuti dan perlahan aku keluar. Ibuku dan ibu Kinanti menarik tanganku dan aku disuruh duduk. Mengalirlah cerita seperti apa yang diceritakan Kinanti. Ibuku dan ibu Kinanti  berpandangan lama. 

Aku tetap diam di tempat sampai ibu Kinanti cerita. Tadi sekitar jam sembilan Kinanti ditemukan Mbah Darman  di atas batu besar sedang menangis. Dan bajunya kotor seperti habis perjalanan jauh, bahkan kakinya banyak luka duri.

Anehnya, tadi malam bapak-bapak mencari Kinanti juga di sekitar  kebun jagung. Bahkan ada yang istirahat di atas batu besar tersebut. 

*****

Setelah  dewasa aku baru paham misteri tentang hilangnya Kinanti. Tiga puluh tahun berlalu  tetap terngiang. Ketika pulang kampung dan melewati jalan masuk kebun jagung Mbah Darman masih merinding. Kini kebun jagung itu sebagian sudah berubah jadi perumahan anak keturunan Mbah Darman. Tentang Kinanti, sudah puluhan tahun aku tidak bertemu lagi. Satu tahun sejak peristiwa itu mereka sekeluarga ikut transmigrasi. Apa kabarmu Kinanti?

*****

*Pict: SAD Anime Wallpapers App

 

Madiun,  2022

 

Dyah Kurniawati lahir dan bermukim di Madiun. Menggilai fiksi sejak berseragam putih merah. Lulusan Pend. Bahasa dan Sastra Jawa ini mencoba selingkuh ke sastra Indonesia, tapi tak kuasa lepas dari hangat pelukan sastra Jawa. Menulis geguritan, cerkak, esai, cerita lucu juga menulis puisi dan cerpen. Bisa disapa di https://www.facebook.com/dyah.kurniawati.948.

 



Posting Komentar

1 Komentar

Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313