005

header ads

Cerpen | Eliaser Loinenak

TEKU

“Periksa baik-baik dan bawa masuk semua barang yang mungkin bisa dipakai untuk menghadapi perampok-perampok itu. Jangan sampai ada yang tertinggal”, perintah bapak kepada kami semua. 

Menanggapi perintah bapak, kami masing-masing meraih apa saja yang bisa kami pakai memukul untuk menghadapi para teku yang akhir-akhir ini mulai beraksi lagi. Maka linggis, parang, kapak, dan pacul yang semestinya berada di dapur beralih tempat ke dalam rumah besar. 

Teku membuat warga sekampungku tak tentram. Orang-orang itu tidak pernah mengenal belas kasihan. Mereka tidak segan-segan menghabisi korban incarannya jika berhasil masuk rumah. Tuan rumah yang berusaha melawan atau membela diri tidak ada artinya karena teku yang datang bukan hanya satu, dua atau tiga empat orang melainkan lima puluh bahkan hingga seratus orang. Biasanya sebelum menjalankan aksinya, mereka menyebarkan undangan sebagaimana layaknya adat budaya orang Timor. Mereka mengirim oko mama kepada anggota komplotan untuk mengadakan rapat. Setelah itu barulah mereka mulai dengan aksinya. Hasil rampokan akan dikumpulkan kepada bos untuk selanjutnya dibagi rata. Tidak ada diskriminasi. Itu sudah merupakan ketetapan yang sifatnya wajib. Anggota komplotan yang melanggar kesepakan ini maka nyawa adalah tebusannya. 

*****

Tadi siang waktu bapak pulang dari sekolah, ia memanggil kami semua berkumpul. Dengan wajah cemas, tidak seperti biasanya bapak berkata, “Bapak mendengar isu katanya malam ini kita jadi sasaran incaran teku.” Kami semua tersentak kaget. Seketika tidak ada yang berani bicara. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri-sendiri. 

“Dari mana mereka tahu kalau kita punya apa-apa?” aku mencoba mencairkan suasana.

“Ada orang di kampung kita ini yang menjadi kaki tangan mereka,” bapak menjelaskan.

“Siapa, Bapak?” seru kami serempak bertanya.

“Demus.”

“Demus? Demus yang rumahnya di seberang kali itu?” tanyaku seakan tidak percaya apa yang baru saja dikatakan bapak.

“Iya, dia bersekongkol dengan perampok-perampok dari Utara. Dan bukan hanya dia saja. Masih ada orang-orang tertentu, tetangga kita sendiri yang juga nanti ikut dengan mereka sebagai penunjuk jalan,” bapak menjelasakan lebih rinci. 

“Tapi, Bapak, bukankah om Demus itu baik dengan kita. Lagi pula apa salah kita,” protesku pada bapak. 

Demikianlah siang hari itu hingga sore, seisi kampung telah mendapatkan informasi tentang rencana para teku malam ini. 

*****

Malam gelap gulita. Orang-orang kampung mandi lebih awal dan makan malam sebelum matahari tenggelam di ufuk Barat. Kami menyalakan pelita kecil ditutupi kain hitam agar cahayanya tidak menyeruak keluar. Lampu itu kami taruh di sudut kamar. Kami berbicara bisik-bisik agar tak kedengaran sampai ke jalan. Sekeliling dicekam sepi. Benar-benar mati seperti jam malam ketika pernag dulu. Kami semua merasa ngeri membayangkan apa yang akan terjadi. Sementara di luar hujan mulai turun. Mula-mula hanya rintik-rintik, tetapi lama-lama semakin deras. Suara burung Hantu menyeringai memecah kesunyian malam. Dari kejauhan juga terdengar pekik burung Tekukur hutan. Tiba-tiba seekor kelelawar menyelinap masuk lewat kisi-kisi jendela dan terbang kian kemari di dalam rumah. Bapak menghantamnya dengan tombak hingga jatuh menggelepar tak berdaya di lantai. Kami saling berpandangan. Semua tegang. Semuanya merupakan tanda bahwa akan terjadi pertumpahan darah malam ini. Mengerikan. Kami seperti berada dalam buku bambu. Indera pendengaran kami benar-benar siaga penuh. Benar-benar dipertajam untuk bisa menangkap suara-suara yang mencurigakan. 

Dalam keadaan seperti itu aku teringat akan bapak kecil, adik bapakku yang dirampok sebulan yang lalu hanya karena ia memiliki harta kekayaan yang cukup banyak. Barang dan ternak miliknya sebagaian dibawa pergi oleh para perampok yang biadab itu. Sapi, kambing, dan babi yang tidak sempat dibawa ditebas hingga putus leher atau kakinya. Beruntung mereka sekeluarga tidak ada yang terluka atau terbunuh karena orang-orang kampung yang baik hati datang mengusir para perampok itu. Ketika diusut oleh pihak keamanan, yang menjadi otak perampokan itu adalah orang sekampung bapa kecil sendiri. Aku juga ingat Om Tobi dan om Taloim yang mengalami hal sama dengan motif yang sama dengan pelaku yang sama. 

Kebanyakan kasus perampokan di kampungku ini disebabkan oleh iri hati yang tidak mau melihat orang lain hidup bahagia. Aku heran. Aku tak mengerti. Mengapa orang-orang itu tidak mau bekerja keras padahal lahan pertanian di kampungku sangat luas, banyak lahan tidur. Kalau saja mereka mau bekerja dengan rajin mengolah lahan pertanian itu maka mereka pasti tidak kelaparan atau terlilit dalam kesulitan ekonomi. Aku kira bila ada kesadaran semacam ini pasti tidak ada teku. Tapi apa hendak dikata jika merampok sudah mendarah daging, tentu akan sangat sulit dihilangkan dan kalau bisa dihilangkan, membutuhkan proses yang panjang. 

*****

Tengah malam. Ketika jarum jam menunjukkan pukul dua belas, dari arah Timur terdengar anjing menggonggong. Kami makin tegang dan bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Pekik suara burung Hantu dan burung Tekukur hutan bersahut-sahutan silih berganti. Semua pintu kami jaga dengan sangat ketat. Ibu dan adik-adikku mengunci diri dalam kamar keluarga. Tiba-tiba terdengar teriakan dari arah Timur bersamaan dengan dentum Senapan Tumbuk, senapan tradisional. Sinar lampu senter berkelabatan. Orang-orang kampung berhamburan menjaga pos-pos penting yang akan dilewati para teku untuk menyelamatkan diri. Terjadilah saling kejar antara orang-orang kampung dengan para teku. Bila sudah seperti begitu maka pasti akan ada korban yang jatuh dari dua belah pihak.

*****

Ternyata benar. Aku hampir berteriak begitu melihat keadaannya. Tangannya memegang kelewangyang berlumuran darah segar. Kedua tangannya juga berlumuran darah. Sementara sekujur tubuhnya penuh percikan darah. Bola matanya merah menyala seperti biji saga-darah telah menguasai kepalanya atau ia telah mabuk oleh darah segar. Bau amis menyengat hidungku. Ia kelihatan sangat ketakutan. 

“Ya, Tuhan. Om Kial! Apa yang telah terjadi?!,” pekik bapak. 

“Saya takut Guru, tolong saya....saya pasti masuk Bui.”

“Coba ceritakan dulu apa yang telah terjadi. Tenang. Tidak usah takut. Semua telah terjadi. Saya pasti akan membantu om Kial semampu saya,” kata bapak berusaha meyakinkannya. Ia memandang bapak kemudia memandangku. Masih nampak ketakutan. 

“Betul begitu, Pak Guru. Pak Guru berjanji akan membantu saya?” ujarnya menahan isak tangis.

Bapak mengangguk. Ia menunduk kemudian berkata, “Saya telah membunuh Demus, Pak Guru.” Ia berusaha menutupi wajahnya dengan telapak tangannya. 

“Dia sekongkol dengan perampok-perampok itu. Betul, Pak Guru. Sudah sejak sore saya ikuti dia. Saya melihat dengan mata kepala sendiri, Pak Guru. Tadi sore saya pulang dari kebun, saya melihat mereka sedang rapat di hutan pinggir jalan. Saya jadi naik darah. Saya terus mengikutinya dan saya tembak dia ketika dia sedang bersama para teku menuju ke sini untuk merampok. Dia yang ada di depan gerombolan teku sebagai penunjuk jalan ke rumah ini. Setelah dia jatuh tertembak dan teman-temannya berhamburan lari untuk menyelematkan diri, saya mendekatinya dan memotong lehernya hingga putus,” terangnya sambil menangis sesunggukan. 

Aku dan bapak terhenyak mendengar cerita om Kial. Bukan semata-mata karena tidak menduga kalau laki-laki yang polos dan baik hati ini bisa melakukan tindakan yang sesadis itu, tetapi karena membayangkan rentetan peristiwa yang bakal terjadi selanjutnya. Bukan hanya om Kial saja yang akan menanggungnya. Seisi kampung akan terlibat dengan aparat keamanan bila esok tiba. 

Di luar sayup-sayup terdengar suara orang-orang datang dari arah Timur. Hari menjelang pagi. Kokok ayam bersahutan.

*****

Tepat jam tujuh pagi, satu truk Polisi tiba di kampung kami untuk melihat langsung keadaan dan mengambil barang bukti serta data untuk membekuk para teku. Om Kial langsung ditangkap. Dia menyerahkan diri. Ia mengaku sangat menyesal dan berjanji akan membantu polisi untuk menangkap para pelaku lainnya. Kepada bapak dan orang-orang sekampung om Kial meminta maaf sebelum akhirnya berangkat meninggalkan kampung untuk menjalani proses hukum. 

“Bersalahkah om Kial.” Hatiku terasa sakit untuk mencoba menemukan jawaban. Aku tahu om Kial orang baik. Om Kial membela kami, menolong kami. Apakah yang akan dihadapinya? Mungkin penjara! Tapi teku tetap berkeliaran tak pasti.

*****


Catatan 

Teku = rombongan atau komplotan perampok

Kelewang = parang panjang (senjata tradisional orang Timor)

Om = sapaan untuk suadara laki-laki ibu atau suami saudara perempuan Ayah

  Juga merupakaan sapaan untuk orang laki-laki yang umurnya lebih tua dari penyapa

Oko mama = tempat menaruh sirih dan pinang 


Bionarasi

Eliaser Loinenak, lahir di Puamese, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, 2 Mei 1980. Menulis cerpen dan puisi. Puisi-puisnya tersebar di beberapa media online dan beberapa buku antologi puisi bersama. Buku antologi puisi tunggalnya Cerita Sepasang Mata diterbitkan oleh penerbit CV. Sketsa Media (November 2022). Saat ini mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri Satu Atap Sunu, Amanatun Selatan, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.


Posting Komentar

0 Komentar