005

header ads

Cerpen "SELEPAS MEMBACA SUREL" | Anjrah Lelono Broto

SELEPAS MEMBACA SUREL

oleh Anjrah Lelono Broto



Ilustrasi: pixabay.com


Seto masih diam mematung di depan laptopnya. Berulang ia membaca surel dari sebuah klinik ternama di London tersebut. Enggan rasanya untuk mempercayai isinya. Tapi isi surel secara nyata mendeskripsikan bahwa dirinya positif terjangkit virus Corina.

Dua bulan lalu, selepas dari tugas jurnalistik di perbatasan Laos. Seto merasakan adanya perubahan pada tubuhnya. Ia merasa cepat lelah. Berat badannya turun drastis. Buang air besar dengan frekuensi tinggi, meski tidak diikuti mulas perut.

Apa yang terjadi di tubuhnya sebenarnya tidak terlalu mengganggu aktifitas keseharian Seto. Ia masih mampu hunting foto peristiwa hingga ke daerah-daerah. Ia juga masih betah berjam-jam di depan laptop untuk memilih dan mengedit hasil jepretan paling ciamik untuk media massa tempatnya mengais rejeki. Sekali waktu dirinya masih hadir di beberapa kelas yang dihelat komunitas-komunitas fotografi. Namun, ketika sebulan kemudian ia mendapati darah segar memenuhi lubang toilet ketika dirinya buang air besar membuat Seto mulai dihempas rasa was-was.

Dua malam berikutnya, ketika tengah memberikan kelas fotografi, Seto tiba-tiba bersin keras sekali. Darah segar lantas berhamburan dari hidungnya. Beberapa perempuan di antara Audience pun menjerit histeris. Hingga kelas pun dibubarkan sebelum waktunya.

“Kakak pernah ke Filiphina, Thailand, Laos, atau Vietnam?” tanya seorang panitia di koridor ruangan.

“Laos,” bisik Seto di antara bergulung tisu merah di tangannya.

“Jangan-jangan, Kakak kena Corina,” kalimat-kalimat memanjang tiba-tiba mengular dari bibir anak muda berkacamata minus. Dua temannya menganggukkan kepala. Dia lantas menyebut tentang sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh, sebuah virus yang persebarannya melalui makanan atau minuman, sebuah virus yang masuk dalam lima besar penyebab kematian tertinggi dunia terutama di wilayah Asia Tenggara. “Indonesia belum punya laboratorium yang dapat mendeteksi virus itu, Kak! Darah Kakak harus diperiksa! Itu virus mematikan, Kakak!”   lalu ia mundur selangkah dan beranjak menjauh dengan wajah pasi. Lakuan yang sama pun dilakukan dua temannya.

Seorang sahabat dunia maya dan sesama penggemar dunia fotografi menyarankannya sesegera mungkin mengirimkan sampel darahnya ke sebuah laboratorim di kotanya. Menurutnya, laboratorium tersebut merupakan langganan keluarga Buckingham hingga dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Menurutnya, sesegera mungkin mengirimkan sampel darah adalah puncak prioritas bagi Seto sekarang ini.

“Kirim saja ke alamatku, Friend. Biar aku yang membawanya ke klinik. Boleh dibilang sekarang, aku setengah volunteer penanggulangan virus Corina di London. Tapi jangan lupa, kau sendiri yang harus mengisi formnya via e-mail!”

“Berat rasanya jika aku harus membayar dengan poundsterling, Mac!” selorohnya via chatting. Selepas emoticon tertawa, chat balasannya berisi penjelasan tentang tidak adanya pungutan sepeser pun terhadap pemeriksaan sampel darah yang disinyalir positif virus Corina. Ini bentuk tanggungjawab moral British Raya pada kesehatan dunia, terutama di negara-negara berkembang, imbuhnya. “God save the queen,” ketik Seto membalas.

Surel balasan yang sekarang seakan menatapnya dengan penuh rasa kasihan adalah bagian dari reaksi berantai rentetan peristiwa dua bulan ini. Seto merasa betul memang layak untuk dikasihani mengingat bagian akhir dari surel tersebut menerangkan bahwa belum ada jenis obat tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan mampu membinasakan virus Corina, hingga sisa umur Seto pun divonis tinggal 11 x 24 jam dari tanggal pengiriman surel.

Meski terlihat dahinya beberapa kali mengkerut dan tempo irama nafasnya mengalami penurunan, tetapi Seto masih tampak tegar. Tak ada air mata jatuh di pipi fotografer yang setia melajang hingga usia hampir kepala empat tersebut.

Hanya satu hal yang membuatnya sedikit gelisah; “Aku bukan nabi. Aku juga bukan orang suci. Mengapa Tuhan memberitahu kapan dan bagaimana kematianku?”

Kegelisahan sepintal itu pun lantas terajut pada solilokui. Benak Seto pun digegas untuk terbang ke masa lalu. Apa dirinya sudah melakukan hal-hal baik pada tahun-tahun kehidupannya? Dosa apa saja yang dulu dan atau hingga sekarang masih dilakukannya? Berapa dan siapa saja orang-orang yang telah dikecewakannya? Berapa dan siapa saja yang masih berharap betul pada dirinya? Juga pada karya-karyanya?

Pada dua per tiga rajutan solilokui, tiba-tiba Seto melihat wajahnya di pantulan layar laptop. Kerutan di sudut matanya ingatkan bahwa ia memang telah dimakan mentah-mentah oleh usia. Semburat putih di rambutnya juga lantas memberi peringatan bahwa ada banyak keinginannya yang belum terwujud. Sementara, kini Seto telah tahu bahwa umurnya dalam hitungan jari.

“Apa yang bisa seorang Seto lakukan dalam kurang dari 11 x 24 jam ke depan?” sebuah pertanyaan melengking serupa jeritan menggaung dari palung terdalam benak manusia ini.

Ia lantas menutup aplikasi surel. Beberapa aplikasi edit foto menyusul. Tinggal aplikasi Mp3 Player yang memperdengarkan lagu-lagu evergreen. Foto dirinya bersama seorang perempuan terpampang di layar laptop. Panjang nafas terhela kemudian. Ah, Tetty.

Seto masih memelihara ingatannya tentang sosok Tetty. Dulu mereka sempat memiliki bertimbun angan-angan bersama. Dari membuat kafe tempat ngumpulnya pelaku dan penggemar fotografi. Kafe yang diberi nama ‘Totty’, akronim dari nama mereka berdua. Mungkin anak mereka juga akan diberi nama ‘Totty’, entah memakai Francesco apa tidak.

Pada setiap sabtu dan minggu, kafe itu bakal diisi performance Tetty sendiri. Perempuan itu dianugerahi suara surga, merdu, dan soul-nya penuh di tiap buar nada-nadanya. Apalagi ketika menyanyikan lagu-lagu lawas. Tetty juga piawai bernyanyi langgam keroncong. Seto paling suka ketika Tetty menyanyikan lagu Bunga Anggrek.

Seto mengingat betul perjalanan cintanya. Seutas perjalanan cinta yang dipaksa kandas bak lakon Siti Nurbaya. Hanya saja tidak ada batang hidung Datuk Maringgih yang demikian bernafsu pada diri Tetty. Kandasnya hubungan mereka justru karena kakek Tetty pernah punya hubungan gelap dengan nenek Seto. Hubungan terlarang yang membuat kedua orang tua mereka merasa sebagai saudara sekandung. Sehingga rencana perkawinan mereka pun urung.

“Bapak takut ada gen keluarga kami di darah, Nak Seto,” kata-kata itu meluncur deras dari bibir orang tua Tetty kala itu. Ia ingat betul, dirinya sontak berdiri sembari mengajak semuanya melakukan tes DNA. Namun, ajakannya justru dianggap keluarga Tetty sebagai usaha membuka luka lama. Sebuah alasan yang menurut Seto sangat dipaksakan ada. Herannya, orang tua Seto sendiri mengamini begitu saja.

“Mengapa orang-orang tua itu lebih peduli pada luka lama tanpa sudi melihat bahwa telah lahir luka baru?” kutuk Seto sejak saat itu hingga kini.

“Aku harus membunuh mereka! Aku harus menuntaskan sakit hati ini! Demi tutupi luka lama mereka merasa memiliki saudara sekandung baru, sementara hati anak-anaknya berserak dalam kepingan-kepingan. Sial!! Terkutuk kalian!!!” serapah mengalir deras dari bibir.

Mendadak serasa bulat sebuah hasrat di kepala Seto. Apalagi yang harus ditakuti? Toh, beberapa hari lagi ia akan mati. Dibukanya kopor di rak terbawah almarinya. Sepucuk airsoft gun tergenggam erat kemudian. Bayangan tubuh-tubuh mereka yang tersungkur usai satu-dua tembakan berkelebat. Disusul jeritan demi jeritan dari anggota keluarga lainnya. Peduli amat! Mereka juga tidak melakukan apa-apa ketika vonis pemutusan utas percintaannya dengan Tetty dijatuhkan.

Ah, Tetty pasti juga menangis. Perempuan itu mudah sekali menangis. Tapi, perempuan itu juga mudah sekali melupakan semua yang ada di antara mereka. Tetty mudah sekali menerima kehendak orang tuanya, bahkan kemudian beranak pinak dengan laki-laki yang disodorkan bapaknya. Pun begitu, Seto tak mampu melihat -apalagi membuat- Tetty menangis.

Selarik bayangan membersit di benaknya kemudian; “Tetty juga harus mati. Bukankah Orang mati tak bisa menangis?”

Cekatan tangan Seto memasukkan butir-butir peluru ke magazen senjatanya. Tak berselang lama dua kotak peluru airsoft gun telah berpindah ke dalam beberapa magazen. Lantas, cekatan pula kedua tangan Seto membongkar pistol glock miliknya. Senjata itu sudah lama tak digunakan. Ia tak ingin senjatanya macet di tengah aksi balas dendamnya. Lama absen dari agenda latihan bersama di klub tak menghilangkan keterampilan tangan Seto.

Seto tiba-tiba menghentikan gerakan-gerakan tangannya. “Mengapa aku bodoh sekali?!” Kepalanya ditepuk-tepuk. Bagaimana dirinya lupa betapa airsoft gun hanya bisa membunuh orang jika benar-benar diarahkan pada titik mematikan dari jarak dekat.   Ditendangnya meja di depannya keras-keras. Bagian-bagian pistol, sisa butiran peluru, dan beberapa magazen terberai ke segala arah.

Ia lalu berdiri dan melangkah kembali ke meja kerjanya. Tangan Seto menarik laci meja. Sebuah kotak sebesar kamus Jhon Echols lantas digenggamnya. Diletakannya kotak berwarna coklat tua itu di atas meja, sebuah pistol revolver mengkilap diusap-usapnya pelan. “Kalau dengan ini, dor sekali, mati!” gumamnya di antara tawa kecil yang terdengar aneh.

Mata Seto mendadak nanar ke sana kemari. Seakan ia mencari sesuatu. Sial! Ia ingat, dirinya tak memiliki peluru untuk revolver ini. Ia berteriak sekencang-kencangnya. Dipukul-pukulnya apa saja yang berdiri di sekitarnya. Ditendangnya apa pun itu yang terjangkau tungkainya. Kamar apartemen itu lalu berganti wajah, serupa kapal pecah, tanpa jangkar dan tanpa layar.

Sepi kemudian melangkah gontai hingga malam disusul pagi. 

Suara perut yang menuntut diisi bangunkan Seto dari lelap. Terhuyung ia melangkah ke dapur. Beberapa tegukan air dari kulkas mendinginkan semuanya. Berangsur namun pasti, kesadaran Seto utuh kembali. Ia lalu mengingat kembali tentang Laos, virus, darah, surel, kandasnya cinta, dan keinginan membunuh. Ternyata 11 x 24 jam usianya telah berkurang sehari.

Aroma omelet yang memenuhi dapur menghadirkan kenangan akan rumah, orang tua, dan masa kecil Seto. Hampir setiap pagi mendiang ibunya selalu menyediakan omelet untuk sarapan pagi. Meski lalu harus berbagi dengan ketiga saudaranya, kala itu Seto masih begitu bangga sebab teman-teman sekolahnya belum tentu mengkonsumsi telur ayam hanya pada acara hajatan kerabat atau tetangga dekat.

Bergegas langkah Seto menuju meja kerjanya. Ponsel android yang menjadi targetnya. Pagi adalah waktu baik untuk menyapa bapaknya, ketiga saudaranya, juga keponakan-keponakan. Juga waktu baik untuk pamit serta meminta maaf. Sedemikian simpul di kepalanya.

“Kau tidur nyenyak semalam, Friend? Apa kau membaca surel dari klinik? Aku telah keliru mengirimkan sampel darahmu. I’m really sorry. Hari ini, aku baru berangkat mengirimkan sampel darahmu ke klinik,” Seto membaca berkali-kali chatt dari Mac yang baru masuk setengah jam lalu. Ia ingin sekali memaki sahabat bulenya itu. Ternyata target pembunuhannya mungkin harus berganti pada fotografer di jantung British Raya itu.

*****

Mojokerto, 2020-2023



Anjrah Lelono Broto, aktif menulis esai, cerpen, serta puisi di sejumlah media masa. Beberapa puisinya masuk dalam buku antologi bersama Buku karyanya adalah Esem Ligan Randha Jombang (2010), Emak, Sayak, Lan Hem Kothak-Kothak (2015), Nampan Pencakan (2017), Permintaan Hujan Jingga (2019), Kontra Diksi Laporan Terkini (2020), dan Garwaku Udan lan Anakku Mendung (2022). Terundang dalam agenda Kongres Bahasa Jawa VI (2016), Muktamar Sastra (2018), Kongres Budaya Jawa (2018), dan Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia III (2020). Karya naskah teaternya “Nyonya Cayo” meraih nominasi dalam Sayembara Naskah Lakon DKJT 2018. Sekarang bergiat di Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA), dan Komite Sastra Dewan Kesenian Mojokerto (DKKM). FB: anjrahlelonobroto

Posting Komentar

0 Komentar