005

header ads

Sandiwara Kata

 Sandiwara Kata

Penulis: ...............


Barisan abjad di depan mataku ini

Mengandung aroma campuran

Ada manis, pedas, asin, dan gurih

Namun dikemas menjadi satu alinea


Orang-orang berbondong memadati pusat kota

Menuju arah sebuah toko buku

Berlomba mendapatkan buku aneka aroma

Namun, sesampainya di sana tak ada satu pun selembar kertas

Yang ada hanyalah barisan orang berbalut baju plastik putih dan senjata cair


Mereka meminta buku-buku itu dibakar

Kalau tidak, semprotan kata-kata pedas akan diarahkan kepada mereka

Salah satu di antara mereka enggan memberi

Hingga muncullah tragedi memanas

Pertarungan berdarah antara kata dan luka


Pada Jemari yang Menulis Puisi


Pada jemari yang menulis puisi,

Ketabahan menghuni, berdiam dalam diri yang sepi.

Kelak, puisi akan melangkahkan kakinya sendiri.

Mengarungi rasa samar dan gelapnya sendiri

Mungkin, pada jeda atau tanda baca yang entah di bab. 


Dan paragraf yang kesekian; ada ingatan

Ingatan yang harus ditanggalkan.

Kenangan yang terlalu membuat kaki dan punggung berat berjalan.

Kenangan yang terlalu menyamarkan jalan yang belum usai diterjemahkan lisan.

Bukan lagi disela-sela jemari yang semakin keriput ini.


Pada jemari yang menulis puisi,

Ada lebam sepi yang meruyak. 

Ada luka pasi yang menghuni.

Mungkin, takdir memilih aku. 

Atau aku yang memilih takdir ini


Menjaga setiap tubuh yang akan tumbuh. 

Melepas ragu dan cemas pilu

Pada segala yang pernah aku cintai dengan penuh.

Semesta telah memilih segala yang tanak untuk berbiak.

Semesta telah memilih jemari yang menulis puisi untuk mengabdi.


Ya, maka jangan kau tolehkan kepalamu kebelakang, puisi

Biarkan aku, jemari tua ini, terus menari, terus mencari

Biji-biji aksara yang siap kurahimkan dalam jemari ini.

Pada jemari yang menulis puisi,

Yang tak pernah mengingkari rindunya sendiri.


Apa-apa yang telah pergi, mungkin akan kembali

Mungkin tak ada lagi sua, jabat tangan dan pelukan terakhir kali

Kalaupun kau mengetuk pintu jemariku lagi

Jangan saat matahari sedang tergelincir di barat

Aku tak ingin rinduku disamarkan cuaca


Aku tak ingin rinduku lupa, walau sekilas, bagaimana menyambut

Kekasih kecilnya yang pulang, walau sebentar.

Rinduku, jemari yang menulis puisi,

Adalah kekalnya biji-biji aksara yang akan terus berdenyar

Dalam panjang terjal aksara, dalam kelu lisan yang belajar mengeja


Sabda Malam di Kedai Tua


Telah ku susun rapi kertas tertulis namamu

Dari bait hingga rubrik prahara pilu

Takkan lagi bisa ku bercenduai

Terkait malamku menunggu pagimu


Terlepas dari mata, senyum dan mimpimu

Engkau masih harum gadis cengeh

Suratkan lah tentangmu bersama angin

Walaupun tak terjamahku


Untukku teramat membisu

Ragamu hadir dipejaman mataku

Takkenal damai memaksa dan gaduh

Dihatiku


Masih Ada Waktu


Raut sembilu wajah yang lugu.

Entah karena tak tahu.

Atau mungkin tak perlu tahu.

Dengan hangatnya dunia yang fana ini.


Membakar dan membeku segenap hati.

Mungkin hanya untuk ingin tahu.

Tapi harus mati dan sia-sia belaka.

Dunia ini sarang cinta dan benci.


Yang berubah seperti cuaca saja.

Berkata cinta,kelak menjadi caci maki.

O....Apakah ini mimpi belaka?

Sehingga semua orang berperang.


Bersilat lidah karena saling benci.

Padahal awalnya dari segenap cinta.

Hidup bagai misteri tertutup.

Dalam kitab kehidupan yang telah rusak.


Melapuk tertutup debu-debu kehidupan.

Malaikat mana yang mau membukanya.

Jika sedikit yang tertera namanya.

Sedihlah Sang Kalik membacanya.


Masih ada waktu untuk berubah.

Yang benci,segeralah berdamai.

Yang berhati jahat,sucikanlah diri.

Ini bukan ucapan suci serupa ayat-ayat.

Namun nasehat kecil untuk jadi besar


Senja di Mama Kota


Merah jingga hiasi cakrawala.

Lalu lalang burung camar.

Menari-nari dalam bingkai rindu.

Hembusan angin dengan sepoinya.

Perlahan memutus dedaunan ditangkainya.


Jatuh berserakan penuhi tanah.

Jejer pepohonan memagari tepian.

Senja itu menjadi tanda.

Bahwa hidup tak selamanya indah.

Bait-bait puisi rindu.


Kulantunkan untuk memuja engkau.

Namun puisiku hampa dimakan sang hama.

Senja di kota itu...

Menyimpan sejuta kisah.

Tentang engkau dan aku yang tidak direstui oleh sang waktu.

Lalik Kongkar, Pemerhati Pembangunan Desa, Minat Kajian Politik, Sastra dan Filsafat 




Posting Komentar

0 Komentar