005

header ads

Janturan ke Pulau Seberang | : Dewata-Bali, MMXV | Puisi: Dzikron Rachmadi

 Janturan ke Pulau Seberang |

: Dewata-Bali, MMXV            |     

  

Puisi: Dzikron Rachmadi                      


Kuhidu ambu kembang menguar 

sari-sari kenang, menuntunku 'tuk 

memulangkan rindu pada aroma 

dupa di pulau seberangtelatah 

di mana kami dahulu bersambang...


1.

Dari Tapal Kuda, surya senja purna 

mengemasi rona mega-mega:

segala rasa telah menjelma renjana... 

Di Ketapang—di sepanjang sempadan

—sengaja kami menggelar tualang.

Titian kelana seketika memanjang 

menyaba Jimbar-Wana, kapal-kapal 

membelah selat setelah puas 

menyandar dada di dermaga.


Menuju di Gilimanuk, orang-orang 

saling melempar derma ke segara,

seiring persada jiwa telanjur mendentur 

sedalam kalam samudra pada mereka;

mata-mata pijar bersabung legam pekat 

malam di kedalaman lautan: anak-anak 

logam pelabuhan. Lantaran tiada nasib 

hari baginya 'kan tandang, melainkan 

sekadar memburu hidup dari koin-koin 

logam yang tenggelam.


2.

Nyalang pandang melanglang tajam 

pada telatah Jembrana, manakala mata 

membuka tubuh jelita pulau Dewata...

Setiba di Tanah Lot, degub-degub indah 

begitu mesra memaguti jantung; terangkai 

debar dari debur pasang Dang Kahyangan.

Kemudian, dari benak karang-karang, 

kronik sejarah itu kembali terngiang; ihwal 

pandita kuna dari telatah Jawa nun aksa 

kelana tuju telatah Dewata: Danghyang 

Dwijendra—pencari cahaya suci tuju 

telatah Beraban—yang menyadurkan 

keabadian kisah selendang-ular-karang.


3.

Menjelang petang, mata terhidang oleh 

drama bertajuk pertempuran, wiracarita 

lama yang diusung menuju panggung 

pementasan: Sendratari Ramayana; kisah 

Rama merenggut kembali belahan-jiwa:

Sinta; yang terandam dalam cengkeraman 

Rahwana. Berikut aksi sang Hanoman, 

yang masyhur sebagai tokoh antar-zaman. 


Pada hari yang mulai menyajikan gelita 

legam, Kuta malam belum lagi terpejam. 

Persimpangan kami kemudian bersama 

pelancong asing di bahu jalanan, 

berlalu-lalang, mendaur ulang keping 

demi keping kesunyian malam; selaras 

dengan pekik ingar kusir-kusir 

memacu laju dokar-dokar.


4.

Di pagi yang wangi, memoar 

kembali mengharumi istana prakarsa 

trah putri Bali—Putra Sang Fajar—

Istana Tampaksiring-Gianyar. Setinggi 

monumen Bajra Sandhi; harapan kami 

menjulang mewujud persemaian tanda 

patrigelagat juang para pahlawan 

mewaris janji kepada generasi.


Kemudian, perjalanan berangsur 

menuai rasa dalam dada, perlahan 

rihlah demi rihlah menyusun kenang 

dari lambaian janur-janur, umbul-umbul, 

penjor-penjor, serta bunga-bunga; yang 

menyambut setia pelancong dunia. 

Seharum pendar asap-asap dupa; yang 

membumbungkan untaian-frasa-doa 

memanjati langit-langit tua.


5.

Beranjak sedari pagi menggenangi 

jalanan-jalanan desa dan kota,

tibalah sang surya mengalirkan suluh 

ke pesisir Pandawa, seirama kami 

membaur bersama debur penyisir 

pesisir Sanur, yang membawa bentang 

pesona cakrawala-buana menuju tepat 

ke dalam intim-suam pelukan mata.


Pada rihlah-rihlah yang tengah melangkah;

kunjunglah tiba lembayung berjubah merah.

Searah sang surya yang telah memunguti 

rona mega-mega kembaliyang begitu 

purna meriasi langit-langit pasi. Seantara 

senjakala mulai kuncup: kembali pulas 

di pelupuk ufuk...


Betapa rindu di dada telah menyusur-

kelana dari Jawa menuju Dewata,

tercipta kenang begitu mengiang 

meski tubuh mengeram di nun kejauhan...



(Jawa, 2021-2023)





BIODATA PENULIS


Dzikron Rachmadi, 'Pengarang dan Pembaca Buku' ini lahir dan berdomisili di Pare, Kabupaten Kediri. Pernah belajar di PAI FTIK IAIN Kediri. Dapat disapa melalui IG: @_dzikroch.


Posting Komentar

0 Komentar