005

header ads

Cerpen: LEMBARAN LAPUK Karya : Awalia Bawani

LEMBARAN LAPUK

Karya : Awalia Bawani

C:\Users\LENOVO\Documents\AWALIA BAWANI\dd2a6fadaeb718d9537b007569970241.jpg

"Ibuuu... Aku pulang. Lihatlah! Aku mendapat nilai ujian tertinggi di kelas," teriak seorang anak laki-laki dari ambang pintu. 

Deandra Pramudita, seorang anak berprestasi dari sekolah ternama di kotanya. Ia masih duduk dibangku sekolah dasar, namun kecerdasannya melebihi anak seumurannya. Dengan penuh antusias Deandra berlari mencari sang Ibu sambil melemparkan tasnya ke sembarang arah. 

"Ibu di dapur, Nak," teriak Ibu dari arah dapur. 

Dengan napas yang tersengal-sengal, Deandra menyodorkan kertas ujiannya kepada sang Ibu. 

"Anak Ibu memang hebat, untuk ujian selanjutnya kamu harus tetap mempertahankan nilai ini," apresiasi Ibu. 

"Tentu saja, Bu. Aku akan melakukan yang terbaik," tegas Deandra dengan sikap memberi hormat kepada Ibunya. 

"Kamu pasti lelah, ganti bajumu dan segera makan," perintah Ibu dengan segala aktivitas yang terus di kerjakannya. 

"Siap, Ibu," sahut Deandra sambil mengecup pipi Ibunya.

"Ah, kenapa susah sekali mengalahkan musuh ini," omel Deandra sambil terus menekan layar handphone yang ada ditangannya. 

Sayup-sayup Ibu mendengar suara Deandra dari arah kamar. Dengan mimik kesal, Ibu memasuki kamar Deandra. 

"Ibu! Kenapa handphone-ku di ambil, sedikit lagi musuhku terkalahkan," kesal Deandra. 

"Musuh, musuh, dan musuh. Itu saja yang kamu pikirkan, sekarang ini waktunya untuk belajar!" ketus Ibu. 

"Ibu, tolonglah. Aku sudah belajar berjam-jam, aku juga butuh istirahat," ujar Deandra tak mau kalah. 

"Sudahlah, tugasmu hanya belajar, tidak ada yang lain. Kamu harus mendapatkan nilai terbaik untuk ujian bulan depan, kamu tidak boleh tertinggal dari teman-temanmu walau hanya satu angka," ujar Ibu menuntut. 

Tanpa ada perlawanan dari Deandra, Ibu meninggalkan kamar dengan gawai yang masih digenggamnya. Deandra hanya pasrah mendengar perkataan Ibu kepadanya. Bukan untuk pertama kalinya Ibu bersikap seperti itu. Tidak bosan-bosannya Ibu menekan Deandra untuk menjauhi layar gawainya itu. Tidak, Deandra bukanlah anak yang kecanduan dalam bermain gawai, Deandra hanya ingin menghibur dirinya setelah seharian penuh dicecar dengan materi-materi yang tiada henti. Deandra adalah anak rajin, pun anak yang penurut kepada Ibu yang sangat disayanginya. Tak pernah sekalipun Deandra membantah perintah dari sang Ibu, meski kehendak Ibunya tidak sejalan dengan keinginannya. 

Deandra sangat menjaga perasaan Ibunya, karena ia tahu, selama ini Ibu sudah bekerja keras untuk menjadi sosok Ibu sekaligus Ayah bagi Deandra. Ayahnya sudah pergi meninggalkan Ibunya semenjak Deandra masih di dalam kandungan. Bukan meninggalkan untuk selamanya, melainkan pergi dengan wanita lain. Ayah Deandra lebih memilih hidup bersama adik Ibu, ketimbang dengan Ibu yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun lamanya. Meskipun Deandra terbilang masih anak-anak, namun pemikirannya sudah mengalahkan orang dewasa. Ia paham akan apa yang dialami oleh Ibunya, Deandra terus berusaha untuk mengabulkan setiap keinginan Ibunya, termasuk tuntutan untuk selalu menjadi sempurna dalam akademiknya.

Tiupan angin yang begitu syahdu menambah dalam hanyutnya pikiran Ibu pada sebuah bingkai foto lapuk. Di saat yang bersamaan, terdengar derap langkah kaki anaknya yang sudah pulang. 

"Kamu sudah pulang, Nak?" tanya Ibu dari dalam kamar. 

Tak kunjung mendapat jawaban dari sang anak, Ibu segera bergegas keluar. Didapatinya wajah lesu anaknya yang sedang terduduk disofa ruang tengah. 

"Kenapa tidak menjawab Ibu, Deandra?" tanya Ibu tegas.

"Ibu, tolong maafkan Deandra, Deandra berjanji untuk lebih giat dalam belajar, Deandra akan mendengarkan semua perkataan Ibu, asalkan Ibu tidak marah," pilu Deandra. 

"Apa yang kamu bicarakan ?" heran Ibu sembari mengambil kertas yang sedari tadi digenggam erat oleh anaknya.

Raut wajah Ibu yang berubah dalam sekejap waktu membuat jantung Deandra berdegup tak keruan. Hari ini Deandra telah mengikuti ujian penentuan kenaikan kelas. Ia mendapatkan nilai yang nyaris sempurna, karena teman sebangkunya lebih unggul beberapa angka dari dirinya. Bukan selisih yang begitu jauh untuk diratapi meskipun temannya mendapatkan nilai lebih unggul dari dirinya berkat mencontek. Namun Deandra tahu bahwa Ibu akan sangat kecewa mengetahui hal tersebut. 

"Tenang, sayang. Ibu tidak akan marah. Nikmatilah hari ini, karena mulai detik ini tidak ada lagi waktu untuk bermain-main sampai nilaimu kembali sempurna," terang Ibu dengan senyuman yang sulit diartikan.

Ibu pergi meninggalkan Deandra tanpa sepatah kata apapun lagi. Rasa kecewa sudah menyelimuti hati Deandra. Mungkin Ibunya memang kecewa, tapi Deandra lebih kecewa karena dengan bersusah payah ia mendapatkan nilai itu, namun tetap tidak ada artinya dimata sang Ibu. 

Waktu sudah menunjukkan tengah malam, namun Deandra malah terbangun dari tidurnya. Ia tidak sengaja tidur, ia ketiduran ketika sedang belajar. Ia harus mempersiapkan diri untuk ulangan harian besok, ia tidak ingin mengecewakan Ibunya lagi. Namun, tak dapat dipungkiri perutnya sudah tidak kuat menahan lapar. Deandra berjalan menuju dapur berniat mengambil makanan untuk sekadar mengganjal perutnya. Langkah kaki Deandra terhenti di depan kamar Ibunya saat mendengar suara tangisan yang begitu hanyut. 

"Kamu tega meninggalkanku bahkan bersama anak yang masih dalam kandunganku hanya demi wanita itu, hingga anakmu lahir pun tak pernah terbesit keinginan dalam hatimu untuk melihatnya. Akan kubuktikan pada dunia, bahwa aku bisa membesarkan seorang anak dengan baik tanpa campur tangan sedikitpun darimu," suara menyayat hati diiringi isak tangis dari dalam kamar. 

Deandra tahu, itu adalah suara Ibunya, tak ada orang lain lagi di rumah ini selain mereka berdua. Baru pertama kali Deandra mendengar Ibunya menangis. Selama ini Ibu selalu menyembunyikan semua kesedihannya. Deandra memang sudah mengetahui tentang kebenaran ayahnya, namun Ibunya tidak pernah sesedih ini ketika menjelaskannya kepada Deandra, Ibu terlihat sangat tegar. Rasa laparnya seketika sirna, tak ada hasrat sedikit pun untuk pergi ke dapur, Deandra hanya ingin memeluk Ibunya. Ia ingin masuk ke dalam kamar Ibunya, tapi niat itu ia urungkan, tidak sampai hati untuk menganggu ibunya, meskipun ia berniat untuk memeluk dan menguatkan sang ibu. Dia putuskan untuk kembali ke dalam kamar.

Mentari tak jemu-jemu untuk menyapa para penduduk bumi. Di saat itulah Deandra memulai harinya dengan sedikit berat. Ia masih terbayang-bayang akan Ibunya semalam.

"Nak, sarapan dulu, Ibu sudah membuatkan makanan kesukaanmu," perintah Ibu sambil menyiapkan piring di meja makan. Tanpa berkata-kata, Deandra langsung memeluk sang Ibu. 

"Kamu kenapa, Nak?" tanya Ibu khawatir.

"Ibu, kenapa Ibu selalu menanyakan keadaanku, harusnya Ibu menanyakannya pada diri Ibu sendiri. Ibu harus selalu tersenyum, Ibu tidak boleh menangis. Jika Ibu menangis karena aku memberikan sesuatu yang berharga bagi Ibu, itu baru boleh. Aku akan selalu menjadi anak Ibu yang baik, Ibu harus selalu bahagia," ujar Deandra dengan tangis yang tak henti-hentinya.

Ibu Deandra tak sanggup menahan haru, ditumpahkannya segala sesak didada yang selama ini merengkuh dirinya.

"Hidupmu juga kebahagiaan Ibu, Nak. Ibu tetap hidup karena dirimu, tidak ada yang lebih berharga di dunia ini selain anak Ibu, Deandra Pramudita, kamu anak Ibu satu-satunya," ujar Ibu sendu. 

Tak ada pemandangan yang jauh lebih indah dibandingkan pelukan Ibu dan anak yang penuh cinta. 

"Bu Aria, Dinda mencontek," teriak Deandra yang membuat seisi kelas memusatkan perhatian pada dirinya.

Spontan Dinda langsung menginjak kaki Deandra.

"Awas kamu," bisik Dinda dengan matanya yang sudah hampir keluar. 

"Dinda, berikan contekanmu!" tegas Bu Aria yang dengan segera menghampiri bangku Deandra dan Dinda. 

"Ti-tidak, Bu. Deandra berbohong. Dinda tidak membawa contekan apapun," jawab Dinda kalang kabut. 

"Berikan atau Ibu sobek kertas ujianmu!" serius Bu Aria.

Dengan wajah pasrah, Dinda memberikan selembar kertas yang digunakannya untuk mencontek. Kali ini Deandra tidak tinggal diam dengan apa yang dilakukan temannya. Sebelumnya ia mendapatkan hukuman dari sang Ibu akibat nilainya yang kalah unggul, sekarang ia akan membuktikan bahwa dirinya bisa memberikan nilai terbaik tanpa adanya kecurangan sedikit pun. 

Seperti perkiraannya, Deandra mendapatkan nilai terbaik untuk kesekian kalinya. Hanya Ibu yang terbesit dalam pikirannya, dia ingin memberikan nilainya sebagai hadiah kecil kepada sang Ibu. 

"Ibu, Deandra pulang," ucap Deandra dengan riang gembira. 

"Ibu, aku mendapat-" cicit Deandra terpotong. 

Belum usai Deandra menuntaskan kalimatnya, ia mendapati seorang lelaki asing berada di ruang tamu bersama sang Ibu. 

"Kamu sudah pulang, Nak?" tanya Ibu basa-basi. 

Tanpa menjawab pertanyaan Ibu, Deandra berjalan menuju Ibunya dengan tatapan yang tiada henti kepada lelaki asing itu. 

"Nak, ini teman lama Ibu, ayo beri salam yang baik," perintah Ibu dengan lembut. 

Hah, lega sekali hati Deandra. Ia pikir lelaki itu adalah ayahnya, ia tidak mau kalau sampai Ibunya bersedih lagi.

"Halo Om, aku Deandra," sapa Deandra sambil melemparkan senyum simpulnya.

"Anak manis, semoga tetap seperti ini untuk seterusnya," balas Om Fajar. 

Untuk seterusnya? Apa maksudnya? Atau mungkin dia akan sering datang kemari. Begitulah kiranya isi kepala yang berotasi di pikiran Deandra. Tak berselang lama Deandra asyik dengan isi kepalanya, tiba-tiba Ibu memecah keheningan. 

"Nak, jadi kedatangan Om Fajar kemari untuk menyampaikan niat baiknya. Dia ingin menjadi sosok ayah untuk Deandra," jelas Ibu.

Entah apa yang ada di benak Deandra, ia langsung melemparkan tas nya ke sembarang arah dan kemudian berlari manaiki anak tangga untuk menuju kamarnya. Ibu yang mengetahui hal tersebut bergegas ingin menghampiri anak semata wayangnya itu. Namun, niat Ibu dicegah oleh Om Fajar. 

"Biarkan dia menenangkan diri di kamar. Jangan terlalu egois, kita harus lebih memahami perasaannya," ujar om Fajar dengan tangan yang masih menggenggam tangan Ibu untuk mencegah kepergiannya. 

Langkah kecil itu menyusuri setiap sudut rumah hingga tiba pada salah satu ruangannya.

"Ibu, Deandra boleh masuk?" tanya Deandra dari sebalik pintu yang sedikit terbuka.

"Kemari, Nak" panggil Ibu. 

Tiap langkahnya tak bergairah, dengan lunglai ia meletakkan kepalanya dipangkuan Ibunya.

"Ibu benar-benar ingin bersama Om Fajar?" tanya Deandra.

"Kenapa bertanya begitu?" Ibu balik bertanya.

"Apapun keputusan Ibu, Deandra akan ikut, asal Ibu bahagia, itu saja," ujar Deandra meneduhkan.

Bercakan air dimata Ibu kian membludak, Ibu tak kuasa menahan harunya. Tanpa berkata apapun, Ibu mengecup rambut Deandra. 

*****

Waktu bergulir tanpa disadari. Kini Deandra tumbuh menjadi pemuda yang kian menawan. Keluarganya menjadi semakin lengkap berkat kehadiran adik laki-lakinya, sekarang adiknya duduk dibangku sekolah dasar, sama seperti dirinya sepuluh tahun silam. Keharmonisan selalu tampak dimata Deandra, hanya satu hal yang mengganjal dibenaknya. 

Deandra sangat menyayangkan adiknya yang berbeda jauh dengan dirinya. Adiknya seperti tidak tertarik dalam hal akademik. Bukan, bukan perbedaan pada adiknya yang ia sayangkan. Tapi sikap Ibunya terhadap adik kesayangannya itu. Ia paham betul bagaimana tekad Ibu yang selalu menuntut anaknya untuk sempurna dalam hal akademik. Beruntungnya, Deandra mampu mengabulkan segala keinginan Ibunya, salah satunya menjadi seorang dokter. Tapi untuk saat ini, keadaannya berbeda. Deandra melihat sesuatu dalam diri adiknya yang tidak bisa dilihat oleh Ibu. Lebih tepatnya Ibu tidak mau untuk mengakuinya. Ibu tidak menginginkan kelebihan lain yang ada pada diri anaknya. Padahal, dalam diri adiknya ada bakat terpancar yang tidak Deandra miliki. 

Banyak tumpukan buku gambar di kamar adiknya yang ketika dibuka akan membuat takjub siapa saja yang melihatnya. Seorang bocah SD sudah mampu menggambar sedemikian rupa. Namun, tak pernah sekalipun karya-karya itu diperlihatkan kepada Ibu, karena baru saja Ibu mengetahui adiknya sedang menggambar, Ibu selalu marah. Ibu bilang menggambar tak ada gunanya, hanya akan membuang waktu saja, akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk belajar. Meskipun Ibu tak pernah menghiraukan setiap karya yang dihasilkan adiknya, Deandra selalu memajangnya dalam pigura, berharap adiknya di sana senang, karena karyanya tak akan lapuk dimakan rayap.

"Sudah Ibu peringatkan, jangan membeli barang-barang yang tidak berguna seperti ini, menghambur-hamburkan uang saja!" gertak Ibu dengan wajahnya yang memerah. 

"Ibu, Adi bukannya membeli barang-barang mewah, Adi hanya membeli buku gambar dan alat lukis lainnya, itu saja" sangkal Adi. 

"Untuk apa menggambar? Lihat, nilaimu saja masih rendah. Cobalah belajar dari kakakmu, tak pernah sekalipun dia membawa pulang nilai yang mengecewakan seperti itu," ujar Ibu yang mulai naik pitam. 

"Kenapa aku dituntut untuk selalu sama seperti Kakak, Bu? Tidak semua hal yang berkaitan dengan Kakak selalu ada pada diriku, aku punya jalanku sendiri," keluh Adi.

"Jangan sok menasehati Ibu! Ibu yang lebih tahu apa yang terbaik untuk dirimu. Mau jadi apa kamu dengan hobimu sekarang? Jangan mempermalukan Ibu dengan kegagalanmu," hardik Ibu tak terima. 

“Tak seharusnya Ibu seperti ini, Adi dan aku berbeda, Ibu tidak bisa memaksa kami untuk selalu sama. Adi memiliki potensi baik yang harusnya kita dukung, Bu,” sela Deandra membela adikknya.

“Potensi apa yang kamu maksud? Untuk apa pintar menggambar tapi bodoh dalam pelajaran? Tumpukan gambarnya tak akan berguna untuk mengubah nilainya yang rendah!” cibir Ibu.

“Sebegitu pentingnyakah nilai bagi Ibu ketimbang kebahagian anak Ibu sendiri? Tanya Deandra pilu.

“Siapa yang sudah mengajarimu untuk melawan Ibu? gertak Ibu tak menyangka.

“Deandra tidak sedang melawan Ibu, Deandra hanya ingin Ibu sadar bahwa apa yang Ibu lakukan kepada Adi sudah keterlaluan,” ucap Deandra menjelaskan.

“Dulu Ibu tak melakukan ini kepadamu karena tanpa Ibu harus melakukannya kamu sudah menjadi seperti apa yang Ibu inginkan, tapi adikmu itu, susah sekali untuk dibenahi,” kesal Ibu.

“Tidak semuanya tentang apa yang Ibu inginkan, cobalah sesekali memikirkan keinginan Adi. Cukup aku yang membuat Ibu bahagia dengan melakukan segala yang Ibu mau, tapi tidak dengan Adi. Biarkan Adi memilih apa yang membuat dirinya bahagia. Nilai bukanlah segalanya, Bu,” oceh Deandra tak digubris.

“Ah, kamu tahu apa? Dirimu sekarang ini juga hasil didikan Ibu, jadi jangan mendikte apa yang harus Ibu lakukan. Semua yang Ibu lakukan kepada Adi juga untuk kebaikan dirinya sendiri,” tegas Ibu.

Tak disadari sedari tadi ada yang menarik ujung baju Deandra.

“Sudah, Kak,” ucap Adi lirih.

“Adi, masuklah ke kamar dan lanjutkan menggambarmu, kakak ingin melihat hasilnya nanti,” perintah Deandra bersemangat.

“Turuti kata Ibu kalau kamu tidak mau jadi anak durhaka!” larang Ibu.

Hanya gelengan kepala dan elusan didada yang dapat Deandra lakukan.

Tanpa mengucap sepatah kata pun, Adi langsung bergegas masuk ke dalam kamar dengan langkah gontai tanpa menyentuh sedikitpun alat gambarnya. 

Dia Ibuku, sosok yang sangat aku sayangi sebelum Ayah. Tidak, aku tidak marah dengan sikap Ibu kepadaku. Aku hanya sedikit kecewa karena ternyata Ibu tidak menyukai apa yang menjadi kegemaranku. Aku menyesal sudah membuat Ibu kecewa, karena telah gagal mendidik anak untuk bisa menjadi seperti Kakak. Aku tidak pernah kesal kepada Kakak karena Ibu selalu membandingkanku dengan dirinya. Aku bahagia karena Kakak berhasil membuat ibu bahagia, membuat senyum indah Ibu merekah setiap kepulangan Kakak ke rumah. Berbeda denganku, wajah muram Ibu akan selalu tampak ketika aku berdiri di ambang pintu, apalagi jika aku membawa kertas ulangan yang penuh dengan coretan merah. Maaf Ibu, karena walau aku tahu Ibu tidak menyukai hobiku ini, aku tetap melakukannya. Aku selalu mencuri kesempatan saat Ibu sedang asyik mendengar keluh kesah Kakak sepulang kerja. Andai Ibu tahu, dari sekian banyak gambar yang ada, wajah Ibu adalah pemenangnya, pun dihatiku akan selalu seperti itu, meskipun Ibu tidak begitu. Kadang aku berpikir untuk pergi menyusul Ayah saja. Karena kalaupun itu terjadi, sepertinya Ibu akan sedikit lega dengan beban yang hilang dari hidupnya. Agar Ibu tidak perlu repot-repot lagi untuk menghukumku, mengunciku di kamar mandi, memarahiku, bahkan membuat tangannya sakit hanya untuk menyisakan bekas biru dibadanku. Aku ingin Ibu bahagia bersama anak yang bisa membanggakannya, agar hanya ada pujian dari tetangga, bukan malah cibiran yang Ibu dapatkan. Karena aku hanya akan membuat Ibu kecewa. 

Begitulah suratan itu di tulis, dengan meninggalkan segala kenangan sang penulis pada secarik kertas di atas gundukan tanah yang menghijau dipenuhi rumput, disertai deraian air yang menghujam turun membasahi kertas itu. 

"Maaf tidak bisa menghadirkan sosok Ibu yang baik, Nak. Ibu malah menghadirkan luka menganga dihatimu, bahkan hingga kepergianmu, Ibu belum bisa memelukmu. Jahat sekali Ibu yang malah menitipkanmu pada nenek," sesal Ibu. 

"Penyesalan memang selalu datang diakhir, Nduk. Indah sekali kan tulisan putramu, bahkan lukisan wajahmu yang dipajang di dinding kamar lebih indah daripada ini. Seandainya kamu tahu, itu hanya salah satu dari sekian banyak lembar buku harian yang ia tulis. Bersyukurlah Nduk, meski apa yang telah dia terima, tak membuat hatinya mendendam kepadamu. Tuhan memberikan kemuliaan pada hatinya," ucap nenek panjang lebar. 

Sewindu sudah kepergian Adi, tapi tak membuat sesak didada menghilang begitu saja. Ibu dan Deandra selalu mengunjungi makam Adi dan Ayahnya yang berdampingan dengan membawa beberapa tangkai bunga matahari, bunga yang selalu digambar di kala hatinya sedang redup.

*****

Selesai.

*Pict: id.pinterest.com

Madiun, 2023

Awalia Bawani, siswi kelahiran Madiun. Seorang amatiran yang mencoba menyelami dunia fiksi. Merajut kata demi kata hingga membentuk jalinan cinta bagi tiap pembaca. Hatinya terlanjur jatuh pada deretan kata yang berpadu-padan.  Kecintaannya pada lembaran-lembaran karya tulis yang membawa dirinya untuk terjun menggoreskan tinta-tinta kasih. 



Posting Komentar

0 Komentar