005

header ads

Cerpen: Impian Aila

 Impian Aila

Oleh: Naledokin A Stupid Writer


“Beneran kamu mau jadi violinis? Serius?” Beben menatap adiknya, Aila. Yang dipandang intens menunduk, sedikit takut. “Bukan karena ikut-ikutan Mas ta, masuk SMK?” Murid SMK tahun akhir jurusan bisnis dan pemasaran itu kembali bertanya.


“Ih, Mas geer. Siapa juga yang ngikut. Hm ... terinspirasi sih memang.” Aila santai menjawab.


“Nah, bener kan? Kamu ikut-ikutan Mas.” Beben melempar HP ke meja di depannya. 


“Ih, aku sudah terpikir untuk jadi violinis sejak kelas tujuh tau. Cuma belum terpikir sekolahnya.” Remaja putri 15 tahun itu membela diri.


Sore ini, seperti biasa, rumah hanya berisi mereka berdua dan Mbak ART. Waktu yang tepat bagi Aila untuk meminta dukungan sang kakak. Tinggal hitungan bulan ia di kelas sembilan. 


"Ayolah, Mas. Bantu Aila bilang ke Papa. Ai butuh masuk sekolah musik.” Si bungsu mendekap bantal dan duduk di dekat Beben 


“Coba, Mas pengen denger.” Kali ini Beben terdengar lebih serius. Sang adik menoleh ke arahnya, menaruh perhatian.


“Kenapa kamu ingin jadi violinis? Terus, kamu sudah tahu cara menjadi pemain biola pro? Sudah Ai pikirkan konsekuensinya apa?” 


Beben memberondong Aila dengan pertanyaan yang ditanggapi dengan cengiran khas Ai.


“Sudah lebih dari seminggu Ai tanya sana sini, browsing ke sana ke mari. Mas tahu, Ai malah sudah sempat mampir ke sekolah musiknya, lho. Wah, sekolahnya cool, asri, sejuk. Ai langsung jatuh cinta.” 


Remaja berambut ikal itu semangat bicara tanpa sadar, ia tidak langsung menjawab pertanyaan kakaknya sama sekali. Tatapan bosan Beben menyadarkan Ai.


“Maaf, maaf. Mas seperti tidak tahu saja. Ai sudah les biola lama. Sudah sejak SD kelas empat! Bu Kasih juga sudah sering mengajak nonton konser, ikut tampil di pertunjukan bahkan Ai pernah menang lomba kan?” Bu Kasih adalah guru biola Ai.


“Itu tidak menjawab pertanyaan, Mas.” Beben bersikeras. “Kalau kamu menghadapi Papa, kamu harus pastikan, impianmu itu bisa menghidupimu, menjamin ekonomimu di masa depan.” Beben menjelaskan. 


“Bu Kasih terjamin ekonominya! Beliau guru di sekolah musik dan ngajar les privat juga. Sebelumnya bahkan bergabung dengan bimbel musik terkenal itu. Mas tahu, kan?”


“Kamu mau seperti Bu Kasih? Bukannya tadi bilang mau jadi violinis, pemain biola pro? Emang Bu Kasih pemain biola pro? Terus terjamin ekonomi versimu dengan versi Papa, beda.” Beben sedikit kesal. 


Ia teringat perjuangannya sendiri meyakinkan sang ayah agar bisa masuk SMK. Ia bermimpi menjadi pengusaha. Impian yang langsung ditolak Papanya saat pertama kali dikemukakan. Ai memandang Mas-nya dengan tatap tak mengerti.


“Pada dasarnya, Papa tidak mau anaknya susah secara ekonomi. Papa pengen anak-anaknya terjamin ekonominya, minimal seperti Papa-lah. Lebih dari tercukupi sandang, pangan dan papan. Bisa punya rumah –lebih dari satu kalau bisa, mobil dan prestise di masyarakat.” 


“Prestise itu apa?” Pertanyaan Ai membuat Beben semakin kesal. “Tanya sendiri Mbah Google,” jawab si kakak sedikit kasar. Ia kemudian beranjak ke dapur, haus katanya.


Ai bergegas meraih HP si sulung dan mencari arti kata prestise. HP Aila sendiri ada di kamar, ia malas mengambilnya.


“Pengakuan masyarakat bahwa kamu berprestasi, mampu dalam keterampilan tertentu, Ai. Kurang lebih begitu. Kamu dihargai karena kemampuanmu itu.” 


Beben yang datang sembari membawa segelas sirup dan camilan berbagi info. Aila mengangguk-angguk sembari menggigit-gigit bibir.  


“Impianmu harus menghasilkan uang yang lebih dari cukup untuk menghidupimu nanti. Tidak sekedar kebahagiaan yang kau dapat. Uang Ai, uang!” Beben minum sirupnya sekali teguk.


“Mas kenapa jadi marah? Ai kan bicara baik-baik ke Mas.” Bungsu keluarga Dwija itu mulai merengut. Kekesalan Beben ternyata menular.


“Maaf. Mas jadi ingat waktu Mas bilang ke Papa dulu, milih SMK dan pengen jadi pebisnis.” Gelas diletakkan Beben. Sekarang ia mulai menghabiskan Potato Chips.


“Mas benci karena seringkali orang lebih menghargai uang daripada kebahagiaan.” Beben menjawab dan membiarkan Ai ikut menghabiskan Potato Chips yang ada.


Sore itu, kedua kakak beradik berembuk, mengatur strategi untuk menghadapi sang dekan salah satu universitas swasta terkemuka di Yogya yang juga adalah ayah mereka, Dwija Sasmita.


*****


“Mau makan apa kamu nanti? Jadi violinis, pemain biola?” Suasana makan malam agak terganggu dengan pertanyaan Pak Dwija. 


Beben dan Ai beradu pandang dan tersenyum kecut. Tanggapan Pak Dwija persis seperti yang ada dalam benak mereka.


“Ya, makan nasilah, Pa. Memangnya Ai penari Jathilan yang makannya beling (pecahan kaca).” Beben santai menjawab sembari mengambil kembali sepotong ayam goreng.


Bu Abel mengelus punggung Pak Dwija sambil memandang Beben, kode peringatan terpancar dari sana.


"Maaf, Ma, Pa." Remaja 18 tahun itu berkata, tersenyum lebar pula.


*****


Malam berikutnya, suasana makan malam sedikit berbeda. Tidak banyak obrolan, percakapan yang terjadi.


“Ehm, ehm.” Deheman Pak Dwija membuat kepala-kepala di seputaran meja makan terangkat. “Papa sama Mama sudah diskusi. Kami berdua setuju kamu daftar ke sekolah musik, Ai.”


“Beneran, Pa? Beneran boleh?” Aila melihat Papa-nya tak percaya. Pak Dwija mengangguk-angguk. Bu Abel ikut tersenyum di samping suaminya.


Aila menengok sang kakak dan tos bersama. Setelahnya, ia menghampiri Papa dan Mamanya.


“Terima kasih banyak, Pa.” Si bungsu mencium tangan kanan sang kepala rumah tangga sepenuh takzim dan haru. “Aila berjanji tidak akan mengecewakan Papa.” Sepasang mata Ai terkerjap, basah.


“Sudah, sudah, nggak usah pakai nangis. Papa hanya ingin kamu melakukan yang terbaik setelah ini.” Pak Dwija menepuk-nepuk punggung anak bungsunya sepenuh sayang. 


*****


Bionarasi:

Naledokin, a stupid writer dari Yogya, seorang naif yang bermimpi menjadikan menulis sebagai profesi





Posting Komentar

0 Komentar