Langit malam yang gelap terasa begitu kelam. Suasana yang sepi terasa begitu mencekam. Udara dingin berembus dengan riang menerpa kulitku yang berbalut baju dengan lengan yang pendek. Aku sedang duduk bersama dengan sahabatku, Mileza namanya. Gadis cantik dengan kulit yang begitu putih dan mata yang berwarna hazel yang kini sedang meneteskan air mata di pundakku.
“Kenapa orang-orang begitu jahat? Kenapa mereka suka sekali melukai hati orang lain dengan ucapannya,” ujarnya.
Aku hanya terdiam setelah mendengarkan perkataannya itu yang dibarengi dengan isakan tangis. Aku tidak tahu kenapa dia bisa merasa begitu sedih. Biasanya dia tersenyum dan tertawa dengan riang. Aku hanya membiarkan dirinya menangis di pundakku dan mendengarkan semua keluh kesahnya.
“Eireen, maukah kamu membantuku untuk menghilangkan rasa sakit ini?” tanyanya.
Aku hanya menjawabnya dengan anggukkan. Seketika Mileza kembali tersenyum dengan ceria dan menghapus bulir-bulir air mata yang membasahi pipinya. Dia tidak lagi menangis di pundakku. Dia terlihat begitu senang dan kemudian memelukku dengan begitu erat.
“Aku pamit pulang dulu. Sepertinya kamu sudah lebih baik,” ujarku.
Lalu, aku pun berjalan pulang menuju ke rumahku. Melewati jalanan malam yang sepi di bawah sinar rembulan. Dalam langkahku aku terus saja memikirkan cara untuk membantu Mileza. Aku melihat pemandangan sekitar walaupun cahaya malam membuat penglihatanku terbatas. Kedua bola mataku tertuju pada satu hal yang membuatku tertarik. Aku pun segera berjalan dan mendekati sebuah bunga yang indah namun terlihat layu karena sebuah inang yang melilitnya.
“Kau pasti terasa begitu tersiksa. Aku akan membantumu,” ucapku.
Aku mencabut inang yang melilit bunga itu agar dia bisa kembali tumbuh dan berkembang dengan baik. Seketika sebuah ide telah muncul dalam kepalaku.
“Aku sudah tahu bagaimana caranya untuk menolongmu Mileza.”
***
Keesokan harinya saat aku kembali bertemu dengan Mileza di taman. Aku bertanya padanya tentang hal yang membuatnya merasa bersedih.
“Mileza, apa yang membuatmu merasa bersedih kemarin?” tanyaku.
“Marva, kekasihku itu merasa marah padaku. Padahal aku hanya terlambat datang saat bertemu dengannya. Dia memarahiku dan pergi dengan kesal meninggalkanku.”
Setelah tahu hal yang membuat Mileza sedih, aku pun langsung pergi untuk membantu dirinya. Aku pun melakukan hal yang aku rasa benar. Pada sore hari, aku bertemu dengan Marva kekasih Mileza saat sedang berjalan pulang. Dengan cepat aku membuat Marva tidak bisa membuat Mileza bersedih lagi. Setelah itu, aku melanjutkan kembali perjalananku untuk pulang.
Namun, saat baru saja aku sampai di rumahku. Mileza menghubungiku dan memintaku untuk datang ke taman menemuinya. Lalu, aku pun segera pergi ke taman menemui Mileza. Dia sedang duduk di bangku taman tempat di mana kami bertemu. Dan sama seperti malam itu, dia kembali menangis.
“Kali ini, apa yang membuatmu bersedih?” tanyaku.
“Orang tuaku, mereka melarangku untuk bertemu dengan Marva dan memintaku untuk mengakhiri hubunganku dengannya. Apa yang harus aku lakukan Eireen?”
“Tenanglah, aku akan membantumu. Sekarang kamu akan pergi ke mana? Apa kamu mau tetap pulang?”
“Aku akan menginap di sebuah apartemen. Aku tidak mau pulang ke rumah.”
“Baiklah. Aku pulang duluan.”
Aku pun segera pergi meninggalkan Mileza. Dia sudah terlihat lebih baik setelah menceritakan masalahnya padaku. Tapi, aku masih saja bingung. Ternyata ada banyak hal yang harus aku lakukan untuk membantu Mileza. Namun, dengan cepat aku pun membantu Mileza untuk menghilangkan kesedihannya.
Pada malam hari aku pergi ke rumah orang tua Mileza. Mereka berdua sedang menikmati makan malam bersama. Dan mereka pun mengajakku untuk ikut makan. Lalu aku pun menerima ajakan mereka. Setelah makan, aku membantu ibu Mileza mencuci piring. Aku mendekati dirinya yang sedang berada di depan wastafel. Aku berbisik di telinganya.
“Jangan buat Mileza merasa sedih. Aku tidak akan membiarkanmu melakukan hal itu lagi,” bisikku.
Setelah aku berbisik padanya dia terjatuh lemas ke lantai. Setelah itu, aku kembali ke ruang makan. Ayah Mileza tersenyum padaku.
“Tidak usah ikut membantu membereskan piringnya. Kamu adalah tamu di sini,” ucapnya.
“Baiklah, sepertinya ibu Mileza juga sudah menyelesaikannya,” jawabku.
Aku pun berjalan ke arah ayah Mileza yang sedang duduk di kursi meja makan sambil menghisap rokok di tangannya. Aku pun juga berbisik padanya.
“Jangan buat Mileza merasa sedih. Aku tidak akan membiarkanmu melakukan hal itu lagi,” bisikku.
Seketika setelah itu, rokok yang dipegangnya jatuh. Dan dia terjatuh lemas dengan kepalanya yang bersandar di kursi meja makan. Setelah aku selesai melakukan tugasku. Aku pun pulang ke rumah dan beristirahat.
“Sekarang sudah tidak ada lagi yang akan membuat Mileza bersedih,” ucapku.
***
Keesokan harinya di malam saat bulan purnama tiba. Mileza memintaku untuk kembali menemuinya. Dia sedang duduk di sebuah kursi taman. Dia mengenakan gaun berwarna hitam. Kedua mata berwarna hazelnya terus saja meneteskan air. Tubuhnya terlihat begitu kurus dan kering. Padahal baru tiga hari setelah pertemuan kami kemarin.
“Sekarang hanya kamu yang aku punya Eireen,” ucapnya.
Dia memelukku dengan erat sambil menumpahkan air matanya padaku. Aku merasa kebingungan. Kenapa dia terlihat jauh lebih sedih dari pada waktu itu. Lalu, seketika aku melihat seekor burung yang terjatuh saat terbang.
“Tunggu sebentar,” ucapku.
Aku kemudian menghampiri burung itu. Sayapnya terluka dan dia merasa begitu kesakitan.
“Tidak ada benalu yang melilitnya. Emm ... baiklah, aku mengerti. Cara tercepat untuk membantunya menghilangkan rasa sakitnya adalah dengan mengantarkannya menuju ke kehidupan yang abadi,” ucapku.
Setelah aku memastikan burung itu damai. Aku pun pergi kembali menghampiri Mileza.
“Kenapa kamu bersedih? Harusnya kamu merasa bahagia,” ucapku.
“Apa maksudmu Eireen?”
“Aku telah menghilangkan hal-hal yang membuat dirimu kemarin merasa bersedih. Jadi, seharusnya kamu merasa bahagia,” ujarku.
“Apa maksudmu? Apa kamu yang sudah membunuh Marva dan kedua orang tuaku?”
“Iya,” jawabku.
Mileza semakin terlihat bersedih setelah aku menjawab pertanyaannya itu. Tangisnya semakin kencang. Dia menatapku dengan tatapan yang begitu tajam.
“Kenapa? Kenapa kamu seperti boneka Eireen? Kenapa kamu tidak mempunyai hati? Kenapa?” tanyanya.
“Aku mempunyai hati. Namun, aku tidak memerlukannya. Karena tanpanya aku merasa damai. Seperti namaku, Eireen yang berarti kedamaian,” jawabku.
“Eireen!” teriaknya.
Tangisnya semakin menjad-jadi. Sekarang aku tahu, apa yang harus aku lakukan. Aku berjalan mendekati Mileza dan memeluk dirinya.
“Maaf, sekarang aku baru mengerti,” ucapku.
Setelah aku memeluknya, Mileza jatuh tersungkur ke tanah. Aku melihat dirinya begitu damai. Dia tidak akan lagi merasakan rasa sakit dan kesedihan.
“Maaf Mileza, seharusnya aku melakukannya lebih cepat agar kamu tidak perlu lagi bersedih.”
Malam ini, bajuku berlumuran dengan cairan berwarna merah karena aku memeluk Mileza saat hendak mengantarkannya menuju ke kedamaian yang abadi. Namun, aku sedikit merasa bingung pada perkataannya di waktu terakhirnya. Dia berkata kalau aku seperti boneka. Padahal aku melakukan sesuatu yang menurutku benar.
Itu seperti perkataan ayahku setelah mengantarkan ibuku ke kedamaian dengan tangannya sendiri.
“Lakukan apa yang menurutmu benar.”
Setelah itu, dia pergi menyusul ibuku menuju ke kedamaian. Saat itu, aku masih berusia lima tahun. Namun, perkataan itu melekat begitu dalam di ingatanku.
***
Biodata
Nisa Faidatul Rohimah yang kerap dipanggil Nisa. Perempuan kelahiran 2004 ini tinggal di Kota Banjar, Jawa Barat. Hobinya adalah menulis. Nisa As-tsaqief adalah nama penanya. Akun instagramnya @as_tsaqief, Anda juga bisa menghubunginya melalui email nisafr634@gmail.com atau Whatsap 087705012351.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024