005

header ads

Cerpen OBITUARI HUJAN DI KOTA PANDEMI



          Sebentar lagi Desember akan bergegas menjemput bulan Januari. Menjemput tahun 2021 dengan perasaan penuh euforia. Sementara musim masih setia pada hujan. Hari demi hari kota ini masih dilanda gerimis panjang. Membuat sampah-sampah yang berserakan di  jalan terbawa arus air ke dalam selokan.


           Siang ini, matahari berselimut kabut tipis. Kulihat jalan kota masih padat kemacetan. Bunyi klakson kendaraan-kendaraan bermotor bising dalam keramain. Dari ujung selatan, juga tampak orang-orang pekerja kantor melintas berlalu lalang mencari tempat berteduh.  Selang berapa waktu, pada akhirnya, sebagian dari mereka ada yang berani menerobos hujan hanya dengan menggunakan jas hitamnya untuk menutupi kepalanya. Lagi-lagi, hujan telah menghandas pekerjaan mereka, termasuk diriku. Menyebalkan.


***


           Setelah kesekian kalinya hujan bertandang di kota ini, aku rasa hujan hari ini sangat menyenangkan. Iramanya begitu teduh membawa kedamain. Mengapa tidak, dimasa pandemi zaman sekarang, aku dan suamiku harus berdiam diri di rumah. Sungguh membosankan, semenjak masa pandemi awal mulanya lahir dari kota Wuhan Cina tepat bulan Desember 2019, penduduk dunia dibuat kebingungan, resah berkepanjangan. Sebab, wabah Corona ini sudah begitu banyak memakan korban. Bayangkan saja, betapa sangat menakutkan jika angka kematian karena virus tersebut hari ke hari menghabiskan ribuan nyawa yang melayang. Sangat menakutkan bukan?.


           Malam semakin larut dalam keheningan. Hanya binatang-binatang malam seperti kodok dan jangkrik yang bersahutan. Seekor dua ekor burung kalilawar juga tampak berkeliaran seperti sedang mencari buah jambu yang sekiranya sudah matang. Sementara bintang-gemintang tergelincir perlahan. Sedang aku masih tetap membaca koran di ruang tamu. Aku terkejut. Tatkala kabar angka kematian sebab virus tersebut hari ke hari semakin meningkat. Ah, akankan zaman sekarang adalah musim kematian? Tidak mungkin! Lantas, ada apa dengan dunia ini, entah aku tak tahu.


           Di daerah rumah sakit Bangka Belitung, sekitar pukul 20:30 WIB. kabar duka melanda seorang Dokter perempuan berusia 29 tahun. Ia dinyatakan meninggal setelah usai menangani pasien yang dinyatakan positif Corona tepat pada bulan Nopember lalu. Berdasarkan data yang diperoleh Dokter lainnya, Dokter Maria meninggalkarena tertular Virus Corona saat menangani pasien. Alhamdulillah, sedangkan pasien dinyatakan sembuh. Malam itu juga dari pihak Dokter, langsung menangani jenazah Dokter Maria, sekaligus diberitahukan kabar duka tersebut kepada keluarganya.


           Seketika, aku menekan dadaku lebih dalam. Sangat miris membaca berita tesebut. Berbagai pertanyaan aneh munculdalam otakku. Bagaimana jikalau nasibku akan berujung seperti Dokter Maria? Semoga saja tidak. Apapun resikonya, aku akan tetap meneruskan profesiku sebagai Dokter yaitu menyembuhkan orang sakit atas kehendak Tuhan.


***


           Akhir-akhir ini kerapkali hujan bertandang, seakan-akan menandakan sebuah isyarat alam bahwa kota ini sedang berduka atas maraknya kematian. Seolah-olah hujan adalah irama obituari kisah kota ini.


            “Ibu, maskerku dimana?.”


           Aku menoleh. Ternyata sadari tadi Evi anakku, sedang mencariku. Dari bening matanya, sudah dapat kutafsir bahwa ia tampak kelelahan.


           “Sebenarnya apa yang sedang kau cari Nak?.”


           “Aku harus memakai masker Bu untuk pergi ke sekolah, sedangkan aku dari tadi, mencari maskernya tapi tidak ketemu,” ucapnya dengan raut wajah gelisah.


           “Semenjak kapan kau Nak, suka memakai masker ke sekolah?.”


           “Ah, Ibu, aku ini mematuhi protokol Covid 19. Semenjak masa pandemi, sudah banyak Bu, perubahan-perubahan yang terjadi di sekolahku, baik dari waktu jam KBM nya, hingga sampai diwajibkan memakai masker Bu, nanti kalau aku tidak pakai masker, bisa tidak diperkenankan masuk dalam sekolah.”


           Ternyata aku baru tahu bahwa dalam aspek pendidikan pun, juga harus mematuhi prokol Covid 19. Seperti yang diceritakan oleh suamiku beberapa waktu lalu, bahwa sekarang ini, hidup kita sudah ada dalam kendali wabah Corona. Bagaimana tidak, di kota ini para warga harus bertahan berdiam diri di rumah. Orang-orang pekerja kantor diliburkan, toko-toko harus ditutup, hingga penghasilan ekonomi mereka pun mengalami kekurangan.


           “Ya sudah, kamu tak perlu risau, di kamar ibu, di sana ada masker yang tidak dipakai, kamu bisa mengambilnya.”


           “Makasih ibu,” ucapnya saraya bergegas menuju kamarku.


           Guyuran hujan bertambah sangat lebat.Kemudian alam kembali bergelegar, seolah-olah menggoncang fenomena alam.“Ah hujan, berhentilah kau bergelegar, berhentilah kau berteriak, aku tak ingin mendengarkan celotah-celoteh kemarahanmu itu,” ucapku dalam hati berharap hujan pagi ini segera sirna menjelma cahaya mentari.


***


           Sebuah ruangan berukuran 4x4 panjang kali lebar serta serba bercet putih.Di luar ruangan tersebut, juga terdapat bangku yang memanjang tempat orang-orang menunggu pasien.Ya, tempat ini adalah rumah sakit. Setelah hujan reda beberapa menit yang lalu, akan kuceritakan padamu tentang peristiwa tatkala hendak aku menuju rumah sakit ini. Di sepanjang jalan trotowar, sekitar ada tiga polisi sedang bercekcok mulut dengan seorang kakek tua, pedagang kaki lima.


           “Bapak telah melanggar protokol kesehatan, sangat terpaksa Bapak harus kami denda dengan senilai  uang tiga ratus ribu sesuai aturan pemerintah,” ucap polisi tersebut tegas dan berwibawa.


           “Sebenarnya apa salah saya Pak,” ucap kakek tua itu, tampak kebingungan karena ia rasa tidak mempunyai masalah sedikitpun.


           “Salah Bapak sekarang karena tidak memakai masker saat keluar dari rumah.”


           “Kasihanilah saya pak, saya benar-benar tidak tahu bahwa sekarang di kota ini, kalau keluar rumah harus memakai masker,” ucap kakek tua itu dengan nada momohon, berharap ia tidak akan dihukum terhadap apa yang telah ia perbuat. Permasalahan yang kecil, namun akan berdampak besar bila menyepelehkan hal tersebut. Kemudian ketiga polisi itu berlalu meninggalkan kakek itu.Kira-kira seperti itulah percakapan diantara mereka yang berhasil kuingat dalam otakku.


           Selamat pagi kota pandemi! Begitulah aku menyebutnya atas nama kota ini. Kota yang telah kehilangan kesejahteraannya, kota yang jauh dari kata makmur dan sentosa.


           “Dokter Fina, gawat! Sekarang ada pasien perempuan berumur enam belas tahun yang dinyatakan positif Corona, sekarang ia berada di ruang isolasi khusus, dan ia sangat membutuhkan bantuanmu sekarang ini juga Dokter Fina.”Lagi-lagi ada seseorang yang dinyatakan positif Corona.Sudah terbiasa bagiku mendengar kabar tersebut di rumah sakit ini. Seandainya saja virus tersebut segera menemukan vaksin, mungkin kematian penduduk di kota ini akan terelakkan.


           “Baik Dokter Mila, aku akan segera ke sana.”


           “Makasih Dok.”


           “Iya sama-sama.”    


           Pagi ini, di luar sana cuaca kembali berselimut kabut tipis. Sepertinya hujan akan kembali turun. Sementara diriku mulai melangkah menuju ruangan isolasi.Kakiku seketika kesemutan saat sampai di ruangan tersebut.Tiba-tiba jantungku berdenyut sangat kencang.Di sudut mataku perlahan mengembun, lalu tumbah begitu saja. Lihat! Siapa yang sedang aku dapati berbaring lemah?Ia adalah anakku, Evi. Apakah semua ini adalah rencana Tuhan, mempertemukan aku dengan anakku di ranjang duka. Ah, tidak mungkin anakku Evi terkena penyakit Virus Corona. Bagaimana jikalau ia meninggal? Tidak…, tidak, hal itu mustahil terjadi, meskipun aku tahu bahwa kematian ada pada tangan Tuhan.


           Dan, seperti yang telah kuduga sebelumnya, hujan sangat lebat sekarang. Seolah-olah ia telah berhasil menyindirku terhadap apa yang sedang menimpaku saat ini. Melihat anakku yang sedang berbaring lemah, aku bingung. Nyatanya aku seperti orang gila yang tak tahu harus dengan apa aku lakukan saat ini. Pikiranku seakan-akan telah amnesia. Akhh…, di sini, di kota pandemi, bersama hujan, begitu banyak aku menyimpan cerita suka duka dalam iramanya.


Yogyakarta 30 09 2022


PENULIS: Syafiq Rahman mahasiswa Uin Suka (Universitas Islam Negeri Yogyakarta), belajar menulis dicomonitas Majelis Sastra Mata Pena (MSMP)


Posting Komentar

0 Komentar