005

header ads

Kasidah Hijau | Ahmad Rizki

 Kasidah Hijau | Ahmad Rizki


Malam telanjang dalam

euforia, tapi hidupku

takut dan menderita.


Ia datang padaku,

dan ia menegurku


Kurasakan getar hasratnya.

Namun aku makin

menderita.


Aku mendongak, dan

perlahan kukatakan,

"Suatu saat itu pasti!"


Malam telanjang dalam

euforia, tapi hidupku 

takut dan menderita.


Ia tampak marah dan

pastinya kecewa. Namun 

keadaanku tak lebih

menderita.


Ia mulai mendekatiku,

jarinya ringan seperti 

kapas, matanya gelinding

ke hatiku, bibirnya 

utuh-sempurna.


"Kepastian kata-kata,

atau kata-kata

yang dapat dipastikan

itu sukar kuartikan. 

Namun aku memilih

percaya, tapi jangan

buat aku kecewa!"


Ia katakan itu 

di kupingku, dan 

pergi begitu saja.


Malam telanjang dalam 

euforia, tapi hidupku

takut dan menderita.


"Tunggu saja! Keganjilan, 

kepastian, keinginan, ah,

atau semua itu

pasti datang padaku

suatu hari. Dan,

kalau tidak, aku 

sendiri yang menghampirinya."


Malam telanjang dalam

euforia, tapi hidupku 

takut dan menderita.


"Tunggu saja di sana.

Sampai penderitaan ini 

musnah selama-lamanya!"


Tak menoleh ia, dan

malam padam. Dan 

pelan-pelan tubuhnya

pudar dari pandangan 

mataku.


(2022)




Kasidah Hijau I


Orang bilang matahari

siang bolong pasti 

mentereng, tapi hatiku 

sepi dan ketakutan.


Dirinya hilang dan

tak kujumpa. Terbata

-bata aku hitung 

peristiwa--dari masalah,

biang masalah, tragedi,

sengsara, dan semuanya--

yang malang dan tak 

berguna. Aku tahu: 

kata-kata mustahil

cukup. Tidak! Air 

mata juga tak

meredam dahaga. Namun

inilah nyata yang

kurasa.


Orang bilang matahari 

siang bolong pasti 

mentereng, tapi hatiku 

sepi dan ketakutan.


Terbelenggu bahasa 

di hati. Dan

berhentilah sementara di 

sini.


(2022)


Kasidah Hijau II


Angin melambai-lambai

dan daun bergoyang 

riang gembira.


Aku tak tahu  

apakah kita resmi 

berpisah tanpa membawa 

sejarah dan masa

depan yang kita

idam-idamkan?


Ketika kau datang 

persis seperti penderitaan 

dunia yang tak 

bawa cahaya, aku 

tak mengerti apa

yang seharusnya kita 

pertaruhkan? Atau penjara 

kehidupan yang memisahkan 

dan memenjarakan kita 

berdua, apakah harus 

benar-benar terjadi 

pada hidup kita?


Angin melambai-lambai

dan daun bergoyang 

riang gembira.


Hanya jari ringanmu,

hanya matamu, hanya 

penderitaanku, hanya kenyataan

yang menukar duka 

dengan bahagia, atau

senang dengan sengsara,

sebelum akhirnya kenyataan

mengembalikan posisi dan 

hak pada tempatnya.


Angin melambai-lambai

dan daun bergoyang 

riang gembira.


Aku tak mengerti!

Pasti kamu juga 

tak mengerti. Mengapa 

dunia berlangsung harus 

seperti ini?


Aku tak mengerti!

Pasti kamu juga

tak mengerti. Mengapa 

air mata lebih

berguna dari utopia

atau mimpi?


Ah! Aku tak 

mengerti! Kau juga 

pasti tak mengerti!

Mengapa cinta tak 

lebih berarti dari 

derita abadi?


(2022)


Kasidah Merah


Bulan merah.

Pipimu merah.

Malam larut

dan tubuh kita berkerut.


Di samping ranjang,

di atas mimpi masa depan,

angin di jendela melucuti

keinginan dan keangkuhan,

lalu matamu dan mataku

saling menatap api

penderitaan. 


Bulan merah

Cawat merah.

Pipimu merah.

Dan sepanjang malam

kami peluk segenap derita.


(2022)


Kasidah Merah I


Seperdelapan nyanyian

di mulut penyair jadi karang,

dan bulan keliling-keliling di matanya.


Bila cinta sampai di puncak, 

cahaya dan gelap amat sesak

Waktu meleleh, bunga dalam

harapan mekar sempurna,

itu berarti awal sebuah derita.


Pertemuan dan bahasa jiwa

hanya punya derita,

napas dan ketakutan melekat

jadi udara,

entah indah atau celaka

tapi akhirnya cinta tumbuh derita.


Mimpi dan kenyataan tak ada

bedanya, awal dan akhir juga

tak ada beda.


Cinta itu derita

Derita itu cinta.


Hati dan pikiran pasrah.

O, cinta sukar dipahami

Kenyataan celaka dan perihnya

lebih dari mati.


(2022)


Kasidah Merah II


Hatimu

abu-abu. Jendela matamu

kuning benalu. Kata-kata

hitam ceria. Nyanyianku

merah air mata.


Aku nyanyikan merah, tapi

kauminta biru samudra.


Hatimu

hijau berlumut. Jendela

matamu kuning langsat.

Kata-kata putih membara.

Nyanyianku merah air mata.


Aku nyanyikan merah, tapi

kauminta biru samudra.


(2022)


Kasidah Kuning


Kami jumpa tengah malam.

Mata kami berkobar.

           Namun angin dan air dunia

           memadamkannya.


Di antara gelagat bintang

Waktu runtuh, beku, bisu.

     Mata kami takut

     dan nyali kami berhamburan.


Kami jumpa tengah malam.

O, kami sepasang 

     asap dan abu

     yang terbuang dari kehidupan.


(2022)


Kasidah Kuning I


Apa yang tak mungkin

        dikecup sang waktu?

Peristiwa malam amat

kosong, tapi hidup

lebih berjarak.


Bintang jatuh di hati kita

      tapi keinginan jadi petaka.


Bulan mekar sempurna

      tapi keinginan bias tanpa makna.


Apa yang tak mungkin

      dikecup sang waktu?

Kenyataan hidup adalah

cinta yang tak kita kenali

nama dan bentuknya.


(2022)


Kasidah Kuning II


Cinta tampak menawan

dan hidup tertawan.

           Segala bisu jadi suara

dan sempurnalah nyanyian jiwa.


Cinta tampak menawan

dan aku sudah tertawan.

          Segala kata punya makna

dan sempurnalah pengembaraan asmara.


(2022)


Kasidah Putih

       :buat Wil.D


//Fajar menabur cinta di 

latar rumahMu. Angin bermesraan 

di dedaunan.//


Bahasa sepi menggeliat

-geliat, atap dan 

lantai basah, jendela 

dan pintu hening,

dan hatimu bicara:


"Dingin. Kehidupan dingin. Pagi dingin. Cinta dingin. Keyakinan dingin."


//Fajar menabur cinta di 

latar rumahMu. Pagi telanjang.//


Mata tersipu, tubuh 

penuh hasrat, ingatan

jadi hutan rimba,

dan mulutmu berkata:


"Beku. Kehidupan beku. Pagi beku. Cinta beku. Keyakinan beku."


//Fajar menabur cinta di 

latar rumahMu. Pagi merekah 

luar biasa.//


Hati terjerat, kata

-kata laknat, ungkapan 

meleleh, dan kau 

berkata:


"Dingin. Hati dingin. Pikiran Dingin. Pagi dingin. Cinta dingin. Keyakinan dingin.


(2022)



Kasidah putih I


Aku adalah mawar

yang dipengaruhi duri.


Kubiarkan serangga 

menyiasati tubuhku


atau angin-angin yang

menggelinjang di dedaunan


dan kepedihan yang

merekah dalam hidupku.


tapi aku mawar berduri

merekah indah hidupku


sebelum jaman berkeliaran

dalam gelagat matahari telanjang 


atau udara yang meneduhkan

daun-daun kehidupan


dan kuterima semua angin

atau hujan


sebab, di sana ada musim

yang menimbang kehampaan.


(2022)

Kasidah putih II


Jangan takut!

Waktu telanjur lewat

dan kehidupan sempurna hampa.


Waktu telah lewat 

dan malam sudah tergusur

ke sela serakan air mata. Dan


selalu ada harum gerai senyummu

terserak ke lantai atau dinding jiwaku.


“Aku dengar kesedihan, Anjani.

Ilalang atau daun kering,

atau batu-batu hitam tenggelam 

ke dasar hati kita.”


Masih tersisa cahaya

bintang matamu

tapi waktu

membuat kita berantakan.


Gemulai bulan, atau

kesendirian yang nyeri, atau

jantung yang menyembunyikan 

udara, dan hampir putus asa

suara hati kita berdua.


Aku dengar kesedihan, Anjani.

Pohon-pohon tumbang. Angin

berjalan ke permukaan. Hati

dan kegelapan jiwa kita

gelagapan.”


Jangan takut!

Waktu sudah lewat

dan kehidupan sempurna hampa.


(2022)

Kasidah Hitam


Cinta adalah

cahaya. Adalah

sebuah cahaya.

Cobalah kau 


     berdiri di 

           antaranya

maka kita serupa 

lelehan lilin yang

naif dan tak 

bisa apa-apa. 


(2022)


Ahmad Rizki, menggelandang di Ciputat, Tangerang Selatan. Beberapa puisi omong kosongnya termaktub di media daring. Buku puisi yang terlanjur terbit: Sisa-Sisa Kesemrawutan (2021). Informasi tambahan dapat ditemukan di Instagram @ah_rzkii atau email ahrizki048@gmail.com


Posting Komentar

0 Komentar