005

header ads

[TERBAIK] CERPEN KAK IAN | Fasik (Saat Segala Cara Dilakukan)

 Fasik (Saat Segala Cara Dilakukan) 

Oleh Kak Ian

Minggu ini aku diundang ke rumah Harun. Mendapatkan undangan darinya di hari Minggu bagiku sangatlah teristimewa. Maklum dia sering mengultimatumku lewat WA maupun di tempat kerja. Bila di hari Minggu janganlah sekali-kali aku WA dirinya apalagi membicarakan tentang masalah pekerjaan. Bukan itu saja aku pun dilarang untuk ke rumahnya pula. Jika itu dilanggar maka akan tamatlah sudah karierku yang selama ini aku impikan.

Aneh. Itulah kenyataannya. Jikalaupun ingin ke rumah Harun, hanya hari-hari yang ditentukan saja—dan terlebih dulu harus membuat janji padanya, sebelumnya.

Aku dan Harun sama-sama guru ASN. Kami sama-sama satu tempat mengajar dan masih berstatus jomlo. Sebenarnya aku bukan pure jomlo dikarenakan pernah menjalin kasih dengan Dee, kekasihku itu.  Tapi sekarang dia hanyalah mantan.  Sebelum Dee menjadi mantanku, kami sama-sama satu almamater—dan dia selalu mendesak agar aku segera menemui orangtuanya. Padahal kedua orangtuanya tidak ingin anak gadisnya mendapatkan  orang seperti aku—yang menurut mereka tidak memiliki masa depan. Hanya mengandalkan gaji bulanan saja—dan uang pensiunan yang tidak seberapa.

Begitulah saat aku dengar dari balik ponsel Dee, saat ayahnya yang mengangkat. Aku saat ingin menelpon. Tapi sialnya si Tua Bangka yang pecicilan itulah yang mengangkat ponsel Dee. Aku yang mendengar suara bariton lelaki tua itu pun terkejut dan bertanya-tanya. 

“Kenapa ponsel Dee ada di tangan ayahnya. Di tangan si Tua Bangka pecicilan itu?”

Sejak saat itulah jika Dee mengajakku ke rumahnya menemui kedua orangtuanya terutama ayahnya aku pun selalu mengelak dan punya alasan. Lagi pula aku juga belum memikirkan berumahtangga dikarenakan hidupku belum mapan. Tempat tinggal pun masih kos. Bukan hanya itu saja menjadi guru ASN pun masih golongan rendah, belum ada kenaikan pangkat.

Aku menjadi guru ASN adalah keinginan orangtuaku di kampung. Mereka meinginkan aku menjadi ASN, biar hidup kami terjamin dan mengangkat status sosial keluarga di kampung.

“Kami menjual kebo dan sawah agar kamu bisa mengangkat derajat kita di kampung ini!”

Begitu Ayah mengatakan kepadaku di saat aku sedang membereskan berkas-berkas untuk melanjutkan kuliah di ibukota. Saat itu Ibu ada di sampingku hanya terlihat nanar di mata tuanya.

Aku sadari menjadi saat ini karena mereka pula yang sudah mengorbankan kebo dan sawahnya agar diriku bisa melanjutkan kuliah di ibukota. Hingga, akhirnya aku pun berhasil juga kuliah di PTN di ibukota. Mendengar aku kuliah di perguruan negeri membuat kedua orangtuaku sangat bersyukur dan senang. Dikarenakan doa-doa mereka terkabul, menurutnya. Entah.

Aku kuliah mengambil jurusan pendidikan. Sedangkan saat itu aku belum kenal dengan Harun. Tapi saat mengambil jurusan itu barulah aku mengenal Harun sampai saat ini.

Selepas dari kuliah aku mencoba bertaruh nasib untuk ikut seleksi calon guru ASN. Namun tiap kali aku ikut seleksi tak satu pun lolos. Dewi fortuna enggan berpihak padaku.

Ternyata baru kusadari pula, bukan jaminan kuliah di tempat negeri akan mendapatkan kerja yang enak. Aku saat itu frustasi sekali dan tidak ingin kembali ke kampung. Karena aku malu pada Ayah dan Ibu di kampung.

Tapi Tuhan bermurah hati padaku. Di saat seperti itu, aku bertemu Harun kembali. Ternyata dia ikut seleksi guru ASN—dan tidak lolos pula. Tapi dia santai saja. Dikarenakan selama ini dia kuliah dan menjadi guru bukanlah cita-cita apalagi impiannya. Dia ingin sekali menjadi pengusaha tidak ingin menjadi guru. Tapi keluarganyalah yang melarangnya bahkan menurut mereka jika dia tidak mengikuti keinginan keluarganya, dia akan dihapus dari daftar pewaris tunggal perusahaan keluarganya itu.

Akhirnya dia seperti kebo dicocok hidungnya, dia mengikuti semua permintaan ayah dan ibunya. Padahal dirinya bila ikut tes guru ASN selalu gagal terus. Tapi dia tetap menjadi guru ASN dengan ‘jalur belakang’. Akhirnya dia mendapatkan itu semua.

Sedangkan aku? Ternyata aku ditolong oleh Harun. Mungkin karena dia sudah tahu segala kronik kehidupanku selama aku kuliah dan satu kelas dengannya sampai empat tahun lamanya. Aku akhirnya lolos pula menjadi guru ASN dan mengajar di sebuah sekolah negeri di ibukota. Lagi-lagi aku dibantu oleh Harun memakai jalan pintas. ‘Jalur belakang’.

Begitulah awal kenapa aku tidak pernah melanggar apa yang diultimatumkan oleh Harun. Sebab, aku menjadi guru ASN selama ini melalui bantuan Harun pula. Bantuan ‘jalur belakang’ tanpa sepengetahuan Ayah dan Ibu di kampung.

Maka dari itu aku dan Harun pun masih menikmati kesendirian masing-masing dengan caranya masing-masing pula. Kalaupun aku punya cara membunuh rasa kesepian lebih tepatnya rasa borned dan suntuk. Aku selalu pergi ke pantai. Itu pun harus kulakukan bila tidak, rasa jenuh menghantuiku terus. Maklum guru manusia juga, bukan. Butuh refreshing dan healing.

Sedangkan Harun lebih estetik dan lebih skeptis. Dia adalah penggila dan pengoleksi buku. Kecintaannya pada buku katanya menurun dari kakeknya juga. Sama-sama penggila dan pengoleksi buku. Hanya saja yang membedakan jika kakeknya suka mengoleksi buku-buku sejarah. Lain halnya dengan Harun yang lebih suka mengoleksi buku-buku sastra.

Pernah suatu hari aku diajak ke toko buku hanya untuk mengantarkan dia membeli buku penulis idolanya. Tidak hanya satu yang dibelinya bahkan setengah lusin pernah dibelinya. Aku yang melihat kecintaannya pada buku-buku sastra bangga juga memiliki teman unik satu itu. Apalagi aku juga suka baca buku sastra—dengan syarat itu harus dari penulis yang aku suka.

Setali tiga uang, ternyata Harun juga mengoleksi buku-buku dari penulis kesukaanku pula. Jadi aku tidak perlu membelinya. Tinggal memberikan pesan WA pada malam hari dan esokkan paginya di tempat kami mengajar Harun pasti akan membawakannya untukku.

Namun kali ini tentang undangannya ke rumah Harun di hari Minggu itu membuat aku jadi heran bahkan bertanya-tanya. Ada apa gerangan di hari ‘istimewa’ dirinya itu  dia memanggilku?

“Silakan duduk, Zain. Mau minum apa?”

Saat aku baru tiba dan menjatuhkan pantat di kursi besi yang ada di teras rumahnya. Harun langsung menawariku minuman.

“Apa, saja, Run!” kataku.

“Oke!” serunya.

Tidak lama kemudian Harun tiba dengan membawa dua cangkir kopi untuk aku dan dirinya. Usai itu dia masuk ke dalam kamarnya, di mana koleksi-koleksi bukunya disimpan dan dirawat di sana. Tidak berapa lama kemudian dia keluar dengan membawa beberapa buku koleksiannya.

“Ini kau bawa pulang nanti, ya!” tukas Harun.

“Itu buatku?!” aku meyakinkan Harun.

“Iya, itu buat kamu! Aku sudah tidak ingin mengoleksi karya-karya dari penulis macam dia. Kukira karya-karya yang dia tulis itu bagus dan membawa inspirasi sesuai dengan attitude dan kepribadiannya. Ternyata tidak mencerminkan dirinya sama sekali. Tidak mengajarkan kebaikkan dan kemashalatan seperti di buku-bukunya itu. Dia sering sekali menjatuhkan mental para penulis muda, provokator setiap kali ada konflik antar penulis dan mirisnya lagi dia juga sudah menutup pintu rezeki penulis lain pula,” ungkap Harun seusai dia memberikan buku-buku koleksiannya yang diberikan kepadaku.

Aku yang mendengarkan ucapan Harun itu sontak terkejut bukan kepalang. Apakah sedemikian rupa, penulis yang karya-karyanya banyak kubaca melakukan itu. Tetiba aku teringat di medsos tentang berita yang lagi viral bahwa ada penulis yang sering sekali menjatuhkan mental para penulis muda dan selalu membuat provokasi setiap ada konflik antar penulis yang sedang berpolemik. Apakah penulis idolaku yang dimaksud?

“Kau tidak perlu mengikuti aku! Kau bebas masih menyukai karya-karyanya atau tidak. Itu bukan wilayahku,” Harun menegaskan lagi.

Pagi itu aku yang berada di teras depan rumah Harun seketika hening. Pun kopi yang tersaji di meja kecil kurasa makin pekat. Pahit rasanya saat kukecap. Padahal sebelum Harun berkata apa pun indera pengecapku baik-baik saja. Tapi saat kedua kali menyeruput kopiku sekali lagi tetiba pahit seketika.

“I-iya!” seruku terbata-bata mengembalikkan perkataan Harun.

Lama. Aku dan Harun berbincang di teras depan rumahnya mengenai apa pun tidak terasa waktu berjalan cepat. Aku pun pamit untuk pulang apalagi esokkan harinya harus sudah mempersiapkan perbekalan tambahan untuk anak didikku di bangku kelas 9. Walaupun agak sungkan pada Harun, kuberanikan diri untuk berpamitan pulang.

“Oya, besok aku ada tambahan pelajaran. Kalau begitu aku pamit ya,” ujarku sambil ekor mataku melirik jam digital di ponsel. Sebentar lagi bola raksasa di atas langit sudah ada di kepalaku.  Aku pun harus bergegas balik pulang. Khawatir Harun akan menyuruhku makan siang nantinya. Itu tidak kuinginkan. Aku takut merepotkan dirinya saja.

“Baiklah, sampai besok!” seru Harun.

Aku pun meninggalkan Harun dengan gontai sambil membawa buku-buku pemberian Harun. Tanpa aku melihat lagi buku-buku itu langsung kutaruh di jok matic. Kulihat Harun sudah tidak ada di teras depan rumahnya saat mataku melihat dirinya kembali. Hingga hatiku masih bertanya-tanya. “Bukankah penulis itu tidak ada bedanya dengan dirinya?”

***

Esokkan harinya di ruang guru aku ternyata sudah ditunggu oleh salah satu orangtua murid. Aku tidak tahu dari kelas berapa orangtua murid itu? Sebab, Pak Kodir, si Penjag Sekolah itu hanya mengirimkan WA singkat saja. Jika aku ditunggu oleh salah satu orangtua murid di ruang guru dari pagi buta.

Akhirnya aku menuju ruang guru dengan terburu-buru. Setiba di ruang guru ternyata benar apa adanya salah satu orangtua murid sedang menungguku. Kulihat dari raut wajahnya tampak cemas.

Dengan mengenakan pakaian ala ibu-ibu sosialita dia melihatku dengan tajam saat aku tiba di ruang guru. Kulihat di tangannya mengempal amplop coklat bergelembung. Saat itu pagi masih sangat berembun. Belum ada sesiapa pun.

Belum lama pantatku jatuh di kursi. Dia langsung memberikan amplop bergelembung itu padaku dengan penuh kegelisahan. Itu tampak dari matanya.

“Ini uang yang Bapak inginkan. Saya harap nilai anak saya bisa ditinggikan dan masuk di sekolah favoritnya. Terima kasih sebelumnya saya ucapkan. Maaf saya tidak banyak waktu karena banyak kerjaan yang menunggu.”

Setelah orangtua murid itu  meninggalkan aku sendirian di ruang guru. Tinggallah aku bersama amplop bergelumbung itu—dan buku pemberian dari Harun—yang kubawa dari kos. Kulihat kembali dengan seksama amplop itu—yang terogok diam tidak berdaya di meja kerjaku. Dia seperti mengejekku. “Kau apa bedanya dengan penulis idolamu dan Harun, temanmu itu.”

Mendadak sekeliling ruang guru terasa gelap dan menyempit. “Aku bukan fasik!”

Aku tersentak. Aku langsung bangkit. Setelah itu kuamati sekelilingku tidak ada yang berubah. Ternyata aku menceracau saat tertidur. Seusainya itu aku sangat lelah yang kurasakan.[]

Keterangan : Secara etimologi, fasik berarti keluar dari sesuatu. Sedangkan secara terminologi, berarti orang yang menyaksikan namun tidak meyakini dan melaksanakannya.  Dalam Islam, fasik adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

*KAK IAN, penulis, aktivis dunia anak, dan penikmat sastra. Karya-karyanya sudah termaktub di Koran Tempo, Kompas Minggu (Dongeng Nusantara Bertutur), Solopos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Banyuwangi, Fajar, Riau Pos, Pontianak Pos, Padang Ekspres, Haluan, Singgalang, Majalah Balai Bahasa Lampung KELASA, Majalah Utusan dll. Bergiat di Komunitas Pembatas Buku Jakarta.







Posting Komentar

0 Komentar