005

header ads

Fenomena Pemusik Jalanan Yang Berbaju Adat Bali


Opini Suciana Alfiradesti

Pendidikan Sosiologi-Antropologi Universitas Sebelas Maret


Komunitas pemusik jalanan adalah suatu fenomena yang sudah tidak baru dan tidak asing lagi dikalangan masyarakat. Hal ini dikarenakan komunitas musik jalanan sudah ada di banyak daerah di Indonesia, contohnya di kota-kota besar yaitu Yogyakarta dan Bali, untuk menemukan pemusik jalanan tidaklah sulit karena pemusik jalanan bisa ditemukan di lampu merah dan ini adalah hal yang lumrah. Umumnya komunitas musik jalanan ini terbentuk karena adanya kesamaan diantara orang-orang tersebut yakni sama-sama menyukai musik sesuai dengan arti dari kata komunitas sendiri yang berasal dari bahasa latin yaitu communitas yang berarti “kesamaan” yang kemudian diturunkan lagi menjadi communis yang memiliki arti “publik, sama, dibagi oleh semua atau banyak” (Fazrin, 2018).

Namun sangat disayangkan seringkali pemusik jalanan dicap buruk oleh kalangan masyarakat karena dianggap memiliki pola perilaku penyimpangan yaitu cenderung melakukan tindakan pemaksaan dan tindakan kekerasan yang dilakukan kepada masyarakat. Penyebaran pemusik jalanan yang sering kali ada di lampu merah dianggap menjadi keresahan besar bagi masyarakat (Shabrina, 2018).

Namun sebenarnya tidak semua pemusik jalanan memiliki sisi negatif namun juga memiliki sisi positif dan banyak masyarakat yang menganggap pemusik jalanan menarik karena pemusik jalanan dianggap memberikan hiburan sehingga tercipta rasa senang dan bahagia (Trilaksana, 2014).

Seperti contohnya pada komunitas pemusik jalanan di pulau Bali. Dimana pandemi ini membuat orang-orang harus memutar otak dan bekerja lebih keras untuk mencari uang dan menambah pemasukan agar bisa tetap memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dari sinilah terbentuk sebuah fenomena pemusik jalanan berbaju adat Bali yang mana tak lain pemusik jalanan mengenakan pakaian adat dari Bali. Sebenarnya hal tersebut juga terjadi di Yogyakarta dimana pemusik jalanan menggunakan alat musik tradisional seperti angklung dan mengenakan kain batik lurik dan blangkon (Sandi, 2021).

Masa pandemi bisa dikatakan berdampak kepada semua orang termasuk kepada para pemusik jalanan. Dan hal ini membuat para pemusik jalanan harus berpikir keras agar mereka dapat terlihat menarik dan tidak membosankan dan hal inilah yang memicu adanya pemusik jalanan berbaju adat Bali walaupun para pemusik jalanan yang ditemukan ini masih berusia muda.

Fenomena pemusik jalanan berbaju adat Bali ini menurut pandangan saya adalah suatu hal yang sangat menarik dan hal seperti ini bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan terutama wisatawan asing karena sudah diketahui di Bali banyak sekali para turis atau wisatawan asing dari mancanegara. Selain itu pemusik jalanan berbaju adat Bali ini tidak serta merta hanya untuk mencari uang namun di sisi lain hal ini juga bisa untuk memperkenalkan ataupun menunjukan salah satu kebudayaan Indonesia yaitu tentang pakaian adat. Dijelaskan juga bahwa pemusik jalanan yang ditemukan banyak yang masih berusia muda, hal ini justru bisa dijadikan sebagai contoh kepada generasi muda lainnya agar bisa lebih kreatif dengan tetap memegang teguh kebudayaan Indonesia. Dan seharusnya fenomena seperti ini tidak hanya dilakukan dan terjadi di Bali saja, tetapi bisa juga dilakukan di daerah-daerah lain agar kebudayaan Indonesia bisa semakin terekspos dan lebih .

Referensi:

Fazrin, M. A. (2018). Inferioritas Dalam Komunitas Pengamen Jalanan. 1–4. http://eprints.uad.ac.id/id/eprint/10823

Sandi, E. P. (2021, October). Fenomena Pemusik Jalanan Berbaju Adat Bali Disebut Bisa Jadi Daya Tarik Wisata Baru. Suarabali.Id. https://bali.suara.com/read/2021/10/25/172500/fenomena-pemusik-jalanan-berbaju-adat-bali-disebut-bisa-jadi-daya-tarik-wisata-baru?page=1

Shabrina, D. N. (2018). Pengaruh Berpikir Positif Terhadap Komunitas Pengamen Jalanan. 1–6. http://eprints.uad.ac.id/id/eprint/10829

Trilaksana, A. (2014). Musik Pengamen Jalanan (Studi Tentang Fungsi Musik Jalanan Sebagai Media Pendidikan Moral Dan Kritik Sosial). Agastya: Jurnal Sejarah Dan Pembelajarannya, 4(01), 1–11. https://doi.org/10.25273/ajsp.v4i01.818

PROFIL PENULIS



SUCIANA ALFIRADESTI, yang biasa dipanggil “Alfira”. Lahir di Banyumas, pada hari Senin tanggal 02 Desember 2002. Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Antropologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Bertempat tinggal di desa Kebokura RT 02 RW 03 Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas. Whatsapp: 088233140862, alamat surel: salfiradesti@gmail.com 



Posting Komentar

0 Komentar