005

header ads

[TERBAIK] Cerpen Ken Hanggara | Tuan Markoni Mendirikan Kerajaan


Di sebuah negeri, kanibalisme merajalela dengan cara paling munafik. Kau boleh saja berlibur bersama teman-temanmu, naik bus atau kapal, hingga setiba di negeri yang indah itu, kau tak menduga setiap petugas yang menjemputmu di perbatasan boleh jadi bakalan memangsamu nanti malam. Mereka, para pemangsa, belajar dari lelaki bernama Markoni, musuh bebuyutan saya.

Tuan Markoni pernah menyakiti adik saya. Dialah pemegang peranan penting di negeri ini. Tak ada yang menandingi kelicikan seorang Markoni. Sampai batu nisan adik saya berlumut, sedangkan si bayi yang terjadi akibat peristiwa itu tumbuh besar, tidak sekali pun hukuman setimpal lelaki itu rasakan.

Dulu sekali, berpuluh tahun lalu, Tuan Markoni berkelana dari pulau satu ke pulau berikutnya, di negeri kami yang luas dan penuh tanah subur tak bertuan untuk dipatoki dan diakuinya sebagai tanah leluhurnya. Itu tidak benar, hanya akal-akalan, tetapi tidak ada yang melawan.

Tuan Markoni tidak lahir di negeri kami, melainkan di negeri antah berantah yang tidak tercatat dalam sejarah. Semua tahu itu. Dia membunuhi siapa pun yang menentang dan mempertanyakan hak atas tanah jajahan.

"Saya tidak menjajah. Saya justru menaungi kalian yang hidup dan beranak-pinak di pulau-pulau ini," katanya dalam suatu orasi. "Karena leluhur saya baik, kalian masih bisa hidup."

Berpuluh tahun menghimpun kekuatan dan membangun jaringan antara pulau satu ke pulau lainnya, membuat nama Tuan Markoni dikenal bukan hanya sebagai penakluk, tetapi juga pemimpin. Di mana-mana, mereka yang menang dan tak bisa dibunuhlah yang akan disebut pemimpin. Dan Tuan Markoni melakukan perjanjian diam-diam dengan sang maut agar tidak mati sampai kiamat. Dengan demikian, dialah pemimpin abadi kami.

Begitulah.

Tuan Markoni membangun kerajaan pribadi di atas pulau-pulau yang dulu pernah disebut negeri kepulauan; sekarang dia mengubah negeri itu serupa peternakan pribadi sehingga dapat melakukan apa saja, sesukanya, terhadap segala yang berada di atas pulau- pulau atau yang kemudian dia sebut "kandang-kandang". Kami dianggap binatang yang sewaktu-waktu (harus) siap dijemput dan disembelih demi kepentingan peternak. Kamilah ternak yang konon ia pelihara, yang ujung-ujungnya memeras keringat sendiri demi tidak kelaparan. Sumber daya alam berada dalam genggamannya dan kami tidak boleh belajar memegang senjata.

Apakah kami selalu diam?

Sekali waktu kabar burung mengantarkan cerita pemberontakan di pulau-pulau. Tuan Markoni, dengan uang yang banyak, membangun benteng kokoh di setiap sudut yang tidak bisa dipanjat kaum penentang. Tubuh-tubuh tumbang di saat semacam ini dan dirimu tidak akan dikenang anak cucumu bila kau termasuk di sana. Tuan Markoni punya pulau khusus untuk mengubur jasad para lawannya.

Mengenai uang, sebenarnya bukan milik Tuan Markoni. Semua tidak lain dari hasil menjajah tanah yang bukan haknya. Uang-uang itu dikumpulkan tiap hari dari pajak yang nilainya tidak masuk akal. Tentu perlawanan terus berdatangan, tapi Tuan Markoni seakan dipihaki malaikat maut. Banyak kematian terjadi tanpa terendus, yang kami yakini karena anak buah Tuan Markoni hidup dari mengisap darah. Tubuh-tubuh kembali berjatuhan dan kuburan di pulau itu semakin menggunung.

Perlu kau tahu, tidak ada kanibal selain lelaki megalomania itu di negeri ini. Sudah bukan rahasia, dia mewariskan sifat celakanya pada tiap pihak yang bekerja padanya. Satu demi satu orang terjangkiti virus kanibalisme. Satu demi satu manusia bukan lagi hidup sebagai manusia. Saling mangsa mulai menjadi hal lumrah.

Demikianlah Tuan Markoni merusak tanah nenek moyang kami. 

Saat itu, di puncak kejayaannya, di hari ketika setiap manusia tega memangsa saudara sendiri, di hari ketika kerajaan ini menjadi bukan sekadar kepulauan, tetapi juga kumpulan sangkar-sangkar raksasa yang terbuat dari emas, saya dan Mariana lahir.

***

Saya dan Mariana besar tidak dalam pengasuhan ibu. Kami hidup berdua dari kecil oleh kebaikan orang-orang yang memberi saya pekerjaan di pasar. Mariana cantik, tetapi, kata orang, dia sinting. Saya tidak tahu apakah adik saya benar tidak waras, karena dia hampir selalu diam. Bicara sedikit dan tidak jarang berkomunikasi hanya melalui bahasa isyarat.

Namun demikian, saya menyayangi Mariana seperti manusia normal, meski sejarah tak melepas kami dari perintah menjadi binatang: mangsa siapa pun yang bisa kau mangsa. Sebuah warisan tak bermoral dari seorang bernama Markoni, yang saya ketahui dari buku cetak di bangku sekolah, juga poster-poster di pos penjagaan di setiap sudut kerajaan pada masa itu.

Saya melihat beberapa kekejian Tuan Markoni, yang anehnya membuatnya dianggap pahlawan. Pertanyaan-pertanyaan kemudian terus mengepung otak saya seakan suatu hari nanti Tuan Markoni harus saya habisi agar tidak membikin kerusakan lebih jauh di negeri kami.

Sayangnya saya remaja yang tumbuh dalam diam dan selalu menjaga adik dengan seribu jenis ketakutan; Mariana sangat cantik dan saya tidak pernah sangsi soal kabar yang mengatakan Tuan Markoni menggilai puting dada dan kemaluan gadis-gadis kulit putih. Perhatian saya tersita pada upaya lolos dari berbagai bentuk kebijakan kejam pemimpin, bukan usaha menumbangkan agar tidak ada lagi kematian tanpa sebab. Tahun demi tahun, ratusan, bahkan ribuan nyawa melayang di tangan sang diktator, dan saya tahu keluarga korban tidak bisa bertindak. Mereka tahu dalangnya hanya Markoni. Tapi mereka juga tahu: diam lebih baik daripada ikut mati.

Saya kira cara satu-satunya melawan orang ini adalah jadi bagian dari satu cabang bisnis yang dia geluti: gladiator. Barangkali, dengan begitu, saya akan bisa menghimpun kekuatan untuk menusuk iblis itu dari dalam.

***

Meski potret wajahnya bertebaran, sejarah Tuan Markoni buram. Tidak ada yang tahu siapa sesungguhnya dia. Ada yang bilang dia lahir dari rahim iblis, sehingga betapa pun waktu lama mengitari badan, ia tidak menua. Saatnya tua hanyalah ketika malaikat peniup sangkakala memulai tugas. Namun tidak sedikit pula yang bilang Markoni lahir dari rahim malaikat. Keduanya sulit dinalar, tapi lebih banyak yang percaya ia keturunan iblis.

"Dia bisa menguasaimu. Kamu yang tidak bisa dikalahkan teman-teman bajinganmu; padahal kamu tahu mereka lahir dan tumbuh di sarang penyamun. Di sana pembunuhan adalah makanan sehari-hari. Juga kamu yang tak bisa dibunuh petarung di arena gladiator; kamu tahu tidak semua orang, kecuali dengan kemampuan tarung dan daya tahan tingkat tinggi, sanggup masuk tempat itu. Bayangkan kamu yang sekuat itu saja kalah. Bagaimana bukan disebut keturunan iblis?" tutur seseorang di sudut pasar.

Ketika saya dewasa dan mempertanyakan keciutan orang-orang pada sosok Markoni, seseorang memberi penjelasan gamblang. Saya dengan tubuh kekar, hasil berlatih selama belasan tahun demi melindungi Mariana, juga demi cita-cita sepi melawan seorang diktator, memang tak berdaya. Dengan atau tanpa kekuatan fisik, Tuan Markoni tidak terkalahkan. Melalui kaki tangannya yang banyak, yang semua terjangkiti virus kanibalisme, kerajaan berada sepenuhnya dalam kendalinya.

Tuan Markoni mengalahi kehebatan setan yang bisa menembus kepala raja terbebal. Dia menembus kepala siapa pun yang bahkan baru akan berencana menumbangkannya. Orang-orang ini dijemput paksa dari rumah atau tempat kerja atau taman bermain atau mana saja, sehingga di tempat khusus, di pulau kuburan itu, sang diktator membunuhi para penentang. Seperti dulu. Selalu. Tak berubah.

Kekecewaan dan amarah yang menumpuk bertahun-tahun membuat setiap gladiator yang dijadikan komoditi oleh Tuan Markoni, belajar menyembunyikan pikiran di bawah bantal. Kematian demi kematian membuat mereka terbiasa menahan diri tidak berpikir soal kejatuhan Tuan Markoni. Yang ada di kepala mereka, termasuk saya: menunggu waktu untuk rencana kami. Rencana menggulingkan dia yang berdekade lamanya mengangkangi negeri ini.

***

Suatu hari Mariana pulang dalam keadaan kotor. Dia diperkosa Tuan Markoni yang hari itu menculik belasan gadis untuk memuaskan hasrat. Saya mengerti adik saya tidak mungkin bicara. Teman-teman paham, para gadis yang pulang dengan daster rombeng dan darah mengucur ke bawah, adalah hasil perbuatan Tuan Markoni.

Pemberontakan tidak lagi bisa dihindarkan. Para kanibal harus mati dengan cara yang sama. Pikiran-pikiran yang mulanya terbenam di bantal, mulai berserakan untuk kembali ke kepala kami. Kami harus menelan daging mereka agar suatu hari nanti, tidak lama lagi, singgasana Tuan Markoni di salah satu pulau berhasil kami capai dan hanya dia seoranglah yang perlu kami habisi ramai-ramai, tanpa perlawanan dari anak buahnya yang sudah mati semua.

Begitulah, kami bunuh satu per satu kanibal, para pemihak Markoni. Kami santap mereka dalam pesta yang terdiri dari bukan hanya para petarung arena gladiator, melainkan juga wanita, anak-anak, para lanjut usia, bahkan gelandangan dan pengemis yang selama ini keberadaannya paling riskan untuk ukuran diktator keji yang ingin hidup seribu tahun lagi.

Di hari kelima, para kanibal habis dan tinggallah Tuan Markoni seorang diri tanpa teman. Saya tahu kemerdekaan akan kami jemput. Sang diktator mati dan kami menjadi pengganti. Kami bangun negeri lagi dari nol. Kami mulai dengan niat demi bangsa dan tanah air.

Sayangnya virus kanibalisme telanjur menjangkiti kami, dari mayat-mayat lawan pada masa itu, sehingga sampai detik ini, saya kira, meski tanpa adanya Tuan Markoni sekalipun, negeri ini tetap belumlah merdeka. [ ]


Gempol, 2018-2021


KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya tersebar di media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018).


Posting Komentar

0 Komentar