Bertahun-tahun Rangki bergelut
dengan puisi belum pernah dia merasa hatinya sesakit kali ini. Sekarang dia
merasa hatinya teramat patah, sampai tak ada lagi keinginan sedikit pun dalam
dirinya untuk menyentuh puisi lagi.
Ejekan senylekit apa pun yang kerap
dia diterima di awal memulai mendalami puisi dulu tak berarti apa-apa
dibandingkan kehinaan yang dia terima saat ini. Banyaknya penolakan dari
berbagai media terhadap puisi karyanya tak sepahit dengan kenistaan yang kali
ini menimpanya.
Jika sebelumnya semua kekecewaan
yang terjadi tak mampu menggoyahkan niatnya ingin menjadi penyair yang mumpuni,
tapi apa yang terjadi kali ini membuat Rangki seperti tak punya kekuatan untuk
menghalau cela yang dia terima. Aib. Ya, Rangki menyebut sebagai aib atas apa yang
menimpanya itu. Karena itu menurutnya tak ada lagi jalan keluar selain mengubur
cita-citanya.
Hal itu bermula dari perkenalan dia
dengan Raras, perempuan mungil yang ternyata teramat mencintainya. Raras memang
sangat terobsesi dengan Rangki. Seakan-akan Raras bersedia melakukan apa pun
agar Rangki menerima cintanya. Bahkan menurut Raras, meski sebenarnya ada
beberapa prinsip Rangki yang tidak dia sepakati tetapi hal itu tidak mengurangi
perasaan cintanya terhadap Rangki.
Sesungguhnya Rangki juga punya perasaan
cinta kepada perempuan yang ternyata seorang pejabat kota itu, tetapi karena
dia merasa tidak pantas bersanding dengan perempuan yang menurutnya begitu
sempurna hingga Rangki berusaha memupus perasaannya.
Namun, di balik sikap yang menghindar
itu sesungguhnya ada alasan yang disimpan. Dalam hati Rangki yang terdalam, dia
tak ingin hal itu menjadi penghalang atas keinginannya menjadi penyair yang
andal.
Meski begitu, Raras tak mau pasrah
begitu saja, dia terus mengejar Rangki. Bahkan dengan percaya diri Raras
mengatakan sesuatu kepada Rangki yang hal itu dia yakini sebagai senjata ampuh
untuk meluruhkan hati Rangki.
“Aku tahu, sesungguhnya kamu tidak ingin
benar-benar menghindariku,” kata Raras.
“Maksudmu?” tanya Rangki heran.
“Aku tahu, sesungguhnya kamu tak
ingin menolakku.”
“Aku bingung.”
“Apa yang membuatmu bingung?”
“Kamu dan puisi.”
“Kamu hanya mempersulitnya.”
“Aku tidak mengerti.”
“Aku ya aku, puisi ya puisi.”
Rangki tetap masih bingung dengan
pernyataan Raras, tapi suara hatinya mengamini apa yang dikatakan Raras. Karena
itu dia tidak lancar menanggapi. Di benak Rangki justru berkelindan pikiran
tentang bagaimana cara mengatakan dengan jujur kepada Raras tetapi Raras tidak
merasa direndahkan.
“Kamu memang ada benarnya, tapi apa
yang kupikirkan tidak sesuai dengan apa yang kamu pikir,” kata Rangki kemudian.
“Aku tahu,” sahut Raras.
“Tahu apa?” tanya Rangki sedikit
kaget.
“Kamu hanya merasa tidak
pantas,"
“Hmm.”
“Kok hmm?”
Rangki menggeleng.
"Benar, kan?” tanya Raras.
Rangki bergeming.
"Tapi benar, kan?” tanya Raras
lagi.
Rangki berpikir apa yang Raras katakan
benar, tapi Rangki meyakini bahwa Raras tidak sepenuhnya tahu apa yang dia
maksud.
“Aku boleh meminta sesuatu?"
tanya Rangki memecah kesunyian yang waktu itu beberapa lama menyergap.
“Apa itu?”
“Apakah aku boleh tetap menulis
puisi setelah kita bersama?”
Tak dinyana oleh Rangki, Raras
langsung menanggapi dengan anggukan antusias. Bahkan setelah itu Raras mengatakan
justru karena bermula dari puisi pemberian Rangki-lah hatinya timbul rasa cinta
yang mendalam. Mendengar Raras mengatakan begitu, Rangki seperti mendapat wahyu
kelegaan. Seketika di dalam dirinya muncul perasaan percaya diri yang
sebelumnya tidak pernah ada, terkhusus saat dia sedang bersama Raras.
“Jadi apa lagi yang jadi masalah?”
tanya Raras sembari bibirnya menyungging senyum.
Rangki spontan menggeleng.
“Terus?”
“Aku seperti belum percaya.”
“Tentang?”
“Kamu baik sekali.”
“Terus?
Rangki mengangguk.
“Yeee, kita jadian,” teriak Raras
“Tapi aku benar-benar seperti belum
percaya,” sahut Rangki.
“Tentang apa lagi?”
"Cinta kita ini."
Mereka resmi bercinta. Kesepakatan
itu mampu menjadikan semangat Rangki terhadap puisi semakin menggebu. Meski
begitu rupanya nasib baik terhadap puisi-puisi ciptaannya tak segera menemui
keberuntungan. Puisi-puisinya masih saja mendapat ejekan, bahkan masih banyak
yang bilang puisi-puisinya buruk. Bukan saja itu, media apa pun yang dia kirimi
puisinya pun tak juga memberi kesempatan. Bahkan bisa dibilang, setelah Rangki
bersama Raras belum satupun puisinya diterima media. Ketika mendapati kenyataan
seperti itu, Raras sebagai kekasihnya berusaha memberi pandangan dengan
mengatakan bahwa mungkin Rangki memang tidak berjodoh dengan dunia puisi.
Bahkan sesekali Raras juga menyarankan kepada Rangki untuk mencoba mendalami
bidang lain, yang dari situ siapa tahu Rangki bisa menemukan bidang lain yang
lebih berjodoh.
Namun pada kenyataannya, sebanyak
apa pun saran dan pandangan Raras tak juga membuat Rangki mundur, justru dia
mengatakan kepada Raras, asal Raras masih bersedia menerima pilihannya itu,
Rangki tak akan menyerah.
Pilihan untuk tidak menyerah itu
semakin menguat kala Rangki berkenalan dengan lelaki yang kepadanya sempat
menunjukkan beberapa puisinya. Setelah lelaki itu membaca puisi itu langsung
memberi tanggapan bahwa puisi-puisi ciptaan Rangki adalah puisi yang hebat.
Bahkan oleh lelaki itu, Rangki disarankan untuk mengikutkan puisi-puisinya ke
dalam kompetisi lomba puisi yang waktu itu sedang digelar.
“Akhir-akhir ini, sebiji puisiku pun
belum lagi diterima media, masa hendak ikut lomba?” tanggap Ranggi waktu itu.
“Semua perlu dicoba,” sahut lelaki
itu.
Seperti mendapat tenaga baru,
semangat Rangki menjadi berlipat menggarap puisi.
***
Peristiwa ini terjadi satu hari
setelah Rangki dan Raras menjadi sepasang kekasih, Raras menghubungi seseorang
melalui ponselnya. Dari percakapan itu diketahui sepertinya Raras sedang
mengadakan perjanjian pertemuan dengan seseorang. Ya, benar. Mereka akhirnya bertemu di sebuah
kafe, dan orang yang bersama dengan Raras saat itu ternyata seorang lelaki.
Dengan lelaki itu, Raras terlihat sedang berbincang serius. Perbincangan
sejenak terhenti ketika Raras menyerahkan sebuah amplop berwarna cokelat. “Ini
baru setengahnya,” kata Raras kemudian.
“Apa yang harus saya lakukan?” tanya
lelaki itu
Raras tak langsung menanggapi,
bahkan dia sempat menghela napas panjang. Setelah Raras merasa yakin, tak lama
kemudian dia mulai bicara lagi.
“Ada empat hal yang harus kamu
lakukan,” kata Raras.
“Apa itu?”
“Pertama, sewa beberapa orang untuk
menghina puisinya. Kedua, usahakan puisinya tak pernah diterima media. Ketiga,
kau temui dia dan puji puisinya, bahkan anjurkan dia ikut lomba. Terakhir,
hasut panitia lomba agar puisinya gagal dalam kejuaraan itu.”
“Kesalahan macam apa yang dia
perbuat hingga Anda menyuruh saya untuk melakukan semua itu?”
“Dia tidak melakukan kesalahan apa
pun.”
‘Lalu mengapa Anda ingin saya
melakukannya?”
“Karena saya sangat mencintai dia.”
“Saya tidak mengerti.”
“Kamu tak perlu mengerti. Tugasmu
cukup melakukan itu saja.”
“Mudah. Masalah itu sangat mudah.
Saya hanya merasa heran. Bukankah tanpa saya melakukannya, seorang penyair
sudah susah hidupnya?”
“Justru karena alasan itu aku harus
melakukannya.”
“Setelah jeda sejenak, lelaki itu
sepertinya baru mengerti apa yang dimaksud Raras. Lelaki itu kemudian
tersenyum, sembari meraih amplop cokelat yang ada di hadapannya, lalu berdiri.
“Baiklah. Saya akan segera lakukan.” ***
Yuditeha. Pegiat Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Telah menerbitkan 16 buku. Buku terbarunya Sejarah Nyeri (Kumcer, Marjin Kiri, 2020), dan Tanah Letung (Kumcer, Nomina, 2020).
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024