005

header ads

Pengakuan Terbuka A.S. Laksana


Pengakuan Terbuka!

Teman-teman, hari ini cerpen saya dimuat di Jawa Pos, tetapi saya harus berterus terang bahwa itu bukan cerpen saya. 

Ia betul-betul seperti bunyi kalimat dalam paragraf penutup "Otobiografi Gloria": "Kau mungkin mengira bahwa cerita ini ditulis oleh A.S. Laksana. Sesungguhnya bukan, ia sudah lama tidak menulis dan kurasa ia sedang tidak memiliki gagasan apa pun untuk ditulis."

Beberapa waktu lalu saya menyampaikan kepada para peserta kelas penulisan bahwa dimuat di koran adalah urusan mudah. "Jika cerpen kalian saya kirim ke koran dengan nama saya sebagai penulisnya, cerpen itu pasti dimuat," kata saya.

Yang lebih penting dari sekadar pemuatan sebuah cerpen adalah kesediaan melatih diri untuk mendapatkan kecakapan menulis dan selalu mempertahankan keinginan belajar, sehingga ketika kita mampu menulis bagus satu kali, kita mampu mengulanginya dan tetap mampu menulis bagus di waktu-waktu selanjutnya.

Saya bisa memahami gairah mereka untuk mengirimkan tulisan ke media-media. Mereka sudah menyiksa diri beberapa bulan berlatih menulis; mereka ingin menguji apakah tulisan mereka sudah cukup bagus; menerbitkan tulisan di media-media massa hanyalah salah satu cara untuk melihat bahwa ketekunan mereka melatih diri tak pernah sia-sia.

Melatih diri adalah menyiksa diri. Itu fase paling tidak menyenangkan tetapi harus dilalui dalam pemerolehan kemahiran--dalam bidang apa pun. Pada fase itu orang tak bisa melakukan sesuatu semau-maunya. Kalimat harus diperhitungkan ketukannya, detail harus dipikirkan relevansinya, metafora harus dipertimbangkan penalarannya, dan sebagainya. Ada sekian teknik yang perlu dipelajari, sebagian menjadi pengetahuan, sebagian lainnya pelan-pelan menjadi bagian diri, menjadi kecakapan baru hasil dari melatih diri.

Enam atau tujuh atau tiga belas bulan menyiksa diri dengan urusan teknis adalah waktu yang singkat dibandingkan dua puluh tahun mengerjakan sesuatu dengan kecakapan yang mandek di tempat. Seseorang yang bermain badminton tiap hari di kampung dengan gairah sepenuh-penuhnya selama lima tahun pada suatu malam dikalahkan dengan mudah oleh anak yang baru tujuh bulan berlatih di klub. Itu pengalaman pribadi pada pertandingan tujuh belasan.

Untuk cerpen yang dimuat Jawa Pos hari ini, ia adalah cara kami bersenang-senang di tengah kesuntukan berlatih menulis. Penulis sebenarnya adalah Afrilia. 

Saya hanya menyumbang paragraf pertama: Cerpen itu memang lahir setelah saya memposting satu paragraf pembuka di grup WA dengan pesan: "Ada yang berminat melanjutkan paragraf pembuka ini menjadi cerita?"

Ini paragraf pembuka yang saya sampaikan:

"Satu kali ia datang ke dalam mimpiku, dengan paras cantik, seperti orang mati yang berubah menjadi bidadari, dan aku menyapanya, “Hai.” Ia mengabaikan sapaanku dan pergi meninggalkanku, menyelinap di antara rumpun bunga sepatu di pekarangan. Ia dan bunga sepatu hilang pada saat aku membuka mata dan aku merindukan keduanya, ia dan bunga sepatu. Sampai sekarang ia tak pernah lagi mengunjungi mimpiku."

Afrilia menulis cepat. Ia merampungkan cerita pada hari berikutnya. Saya mengirimkannya ke Jawa Pos dengan nama saya sebagai penulisnya.

Apakah Jawa Pos kecolongan? Tidak. Ia memuat cerpen bagus. Saya mengedit cerpen itu dan menjadikannya lebih bagus, sebab memang itu urusan editor. Dan dalam hal ini, saya editor. Dalam urusan penulisan dan penerbitan naskah, saya sering mengatakan kepada teman-teman: Kita beruntung jika naskah kita ditangani oleh editor yang cakap dalam urusannya, atau yang jauh lebih baik pengetahuannya ketimbang kita. Naskah kita berpeluang menjadi lebih bagus di tangan editor seperti itu.

Para penulis bagus punya editor hebat. Biografi Max Perkins bisa menjadi bacaan menarik untuk memahami kerja seorang editor.

Saya tahu ada inspirasi dari cerpen Garcia Marquez "I Only Came to Use the Phone" dalam cerita Afrilia itu. Saya tahu ada inspirasi dari novel Ken Kesey "One Flew Over the Cuckoo's Nest" dalam cerita Marquez itu. Cerita-cerita bagus memang cenderung menginspirasi lahirnya cerita-cerita bagus berikutnya.

Terakhir, pengakuan ini saya sampaikan demi mengembalikan cerpen "Bidadari Bunga Sepatu" kepada penulis aslinya, Afrilia. Juga sebagai ucapan terima kasih kepada Jawa Pos yang telah memuatnya.

Salam,
A.S. Laksana

NB. Saya tentu hanya akan satu kali melakukan hal seperti ini. Satu kali pun sudah lebih dari cukup. Namun, saya terpikir juga untuk membantu meringankan pekerjaan redaktur: Jika saya kelak mengirimkan cerita karangan siapa pun kepada mereka, mereka boleh meyakini bahwa saya sudah menjalankan fungsi editor untuk tulisan itu sebaik-baiknya.

Posting Komentar

0 Komentar