005

header ads

Asesmen Pendidikan Bukan Segalanya



Para tokoh sudah mendekati pendidikan dari berbagai sisi untuk melakukan perubahan. Ada yang dari kurikulum, praktik mengajar, mengubah asesmen, keterlibatan masyarakat, hingga sudut pandang sosial budaya.

Namun, hampir semua sepakat bahwa investasi terbesar yang harus berubah adalah GURU.

Tulisan singkat ini ingin menilik dari baut kecil bernama ASESMEN.

Beberapa tahun lalu, para ahli di bidang asesmen seperti Susan Brookhart, Jay McTighe, Rick Stiggins, dan Dylan Wiliam mengungkapkan kegelisahan yang sama. Menurut mereka, asesmen di berbagai sekolah tidak lagi komperehensif dan tidak seimbang.

John Hattie menemukan hal yang serupa tentang kesalahan proses dan fokus pada asesmen. Bahkan, tidak main-main. Hattie menemukan hal tersebut setelah menghabiskan lebih dari 15 tahun mengumpulkan hampir 1.200 meta-analisis dari 65.000 studi pendidikan yang berfokus pada pembelajaran pada lebih dari 250 juta siswa di seluruh dunia.

Asesmen  merupakan poin penting dalam pembelajaran yang efektif. Jika negara, misalnya, terfokus pada peningkatan nilai tes standar saja, maka hanya akan menghasilkan murid-murid peserta tes yang lebih baik. Akibatnya bisa melupakan tujuan pendidikan yang lebih besar untuk membentuk manusia seutuhnya, warga negara yang terdidik, dan tenaga kerja yang beragam dan fungsional.

Terus, di bagian mana kita masih belum tepat?

Ini salah satunya. Yakni, tidak menjadikan asesmen sebagai alat bantu. Seharusnya, asesmen menjadi alat yang akan membantu meningkatkan pengajaran dan pembelajaran. Karena alat bantu, jika seorang guru melakukan asesmen maka harus ada dampak yang dirasakan bagi guru dan peserta didik. Ketika dampak itu diketahui dan dirasakan, maka harus ada tindak lanjut perbaikan pada proses pengajaran dan pembelajaran.

Tindak lanjut inilah yang kemudian membuat John Hattie menyimpulkan bahwa “Intervensi pengajaran yang paling efektif yang saya temukan adalah apa yang saya sebut “visible learning”, yakni meningkatkan kualitas umpan balik dalam proses pengajaran dan pembelajaran.

Ingat, Asesmen bukanlah barometer. Asesmen bukanlah tujuan. Ingat, jangan lagi diam berada di sini. Kita harus bergerak.

Ada dampak kurang baik dan berakibat jangka panjang jika asesmen diposisikan sebagai barometer. Contohnya sudah bertebaran di masyarakat kita. Bisa jadi, posisi inilah yang membuat kualitas pendidikan kita “jalan di tempat” meski model kurikulum dan asesmen diubah berkali-kali.

Jadi, jadikan asesmen sebagai alat bantu untuk memperbaiki cara mengajar kita atau memperbaiki cara murid belajar. Jangan jadikan asesmen sebagai palu atau hakim bagi seorang murid apakah sukses atau tidak. 

Bagaimana memulainya?

Mengubah mindset dengan mempelajari pengetahuan baru tentang asesmen bisa menjadi titik awal yang penting. Dengan pengetahuan baru, akan muncul berbagai sudut pandang dan praktik-praktik baru dalam pengajaran dan pembelajaran.

Lebih lanjut lagi, Dylan Wiliam bahkan menambahkan bahwa yang terpenting bukanlah pengetahuan baru. Yang terpenting adalah mengubah kebiasaan.

Misalnya, seorang guru memiliki pengalaman 15 tahun dan telah membuat ratusan ribu soal dan daftar pertanyaan dalam karirnya. Maka, ketika seseorang telah melakukan sesuatu dengan cara tertentu ribuan kali, melakukannya dengan cara lain tentu sangatlah sulit.

Sesuatu yang sulit, masih sangat mungkin dilakukan. Mari berubah! Anda guru, mulailah dari dirimu! Pasti bisa. Untuk anak-anak kita dan generasi selanjutnya. 

Saya teringat dengan kisah Imam Sufyan bin Uyainah ketika ditanya oleh murid-muridnya: “siapakah orang yang paling butuh akan ilmu?”. Beliau menjawab, “orang yang paling butuh kepada ilmu adalah ulama”.

Seorang ulama adalah seorang guru yang mengajar, membimbing, dan memberikan keteladanan bagi umat dan murid-muridnya. Guru adalah tempat bertanya para murid dan rujukan ilmu bagi banyak orang. Jika guru minim ilmu kemudian salah dalam menjawab atau memberikan keputusan, maka akan diikuti oleh banyak muridnya.

Artinya, guru yang “bodoh” dampak buruknya jauh lebih besar daripada murid “bodoh”. Sebab, murid bodoh dampak buruknya untuk dirinya sendiri, sedangkan guru bodoh bisa meluas ke banyak manusia. 

Terimakasih.

Posting Komentar

0 Komentar