oleh Fileski Walidha Tanjung
Ada satu pernyataan dari Ananda Sukarlan yang perlu kita renungkan secara serius: “You don’t connect with the society, we’re gonna die, bro.” Kalimat itu, meskipun dilontarkan dengan nada santai, sesungguhnya adalah alarm keras bagi dunia sastra Indonesia hari ini. Kritiknya tentang PPN XIII bukan sekadar keluhan seorang musisi yang kebetulan hadir di forum sastra, melainkan sebuah cermin yang memantulkan wajah asli dari festival-festival kita: eksklusif, terbatas, dan terjebak dalam gema ruang tertutup—echo chamber—antara sesama sastrawan. Seni yang seharusnya mengalir di nadi masyarakat, malah menjadi lingkaran kecil yang sibuk merayakan dirinya sendiri.
Fenomena ini mengingatkan saya pada dikotomi lama dalam sejarah seni: seni untuk seni versus seni untuk masyarakat. Sebuah perdebatan klasik yang belum juga usai hingga kini. Paradigma “l’art pour l’art” lahir di Eropa abad ke-19, sebagai bentuk perlawanan seniman terhadap tekanan moral, agama, dan politik. Seni dipandang sebagai entitas otonom yang tidak tunduk pada fungsi sosial apa pun. Ia cukup ada untuk dirinya sendiri. Namun, sebagaimana diingatkan filsuf Prancis Paul Valéry: “To see is to forget the name of the thing one sees.” Seni yang hanya sibuk pada dirinya sendiri berisiko melupakan hakikat awal keberadaannya: sebagai medium untuk melihat kehidupan dengan cara yang lebih jernih, bukan sekadar menyenangkan segelintir kalangan yang paham konteks.
Di titik ini, kritik Ananda Sukarlan dan catatan Muhammad Subhan bertemu: sastra kita terancam kehilangan akarnya. Festival-festival sastra lebih mirip temu kangen alumni ketimbang ruang perjumpaan kreatif antara seni dan masyarakat. Audiensnya itu-itu saja: penyair membaca puisi di depan penyair lain, penulis mendiskusikan buku di depan penulis lain. Sementara publik—para petani, buruh, pelajar, ibu rumah tangga—tetap berada di luar lingkaran, nyaris tak punya akses pada makna yang seharusnya bisa mereka serap dari karya sastra.
Sialnya, festival-festival ini kerap juga terjebak dalam pola narsisisme kolektif. Saya melihat bagaimana undangan ke acara PPN XIII, misalnya, hanya bergulir kepada mereka yang sekadar mengirimkan puisi untuk antologi. Juri pun menilai puisi hanya dari teks, tanpa memperhitungkan sejauh mana seorang penyair bergerak nyata di tengah masyarakat. Akibatnya, kita punya generasi penyair yang produktif di ruang digital—mengirim puisi ke lomba, memposting karya di media sosial—tetapi tidak produktif dalam kehidupan sosial. Mereka sibuk flexing di depan banner, mengantongi undangan keikutsertaan, lalu merasa sudah menjadi bagian dari sejarah sastra. Padahal, puisi hanya jadi ajang selfie, podium bumble yang memantulkan eksistensi semu.
Di sinilah letak problem representasi. Sastra kehilangan daya membumi karena terlalu sibuk merayakan dirinya. Seakan-akan keberhasilan seorang penyair diukur dari seberapa sering ia hadir di forum pembacaan, bukan dari seberapa jauh puisinya mampu menyapa batin masyarakat. Apakah ini bukan paradoks besar? Seni yang lahir dari keresahan manusia, justru tercerabut dari denyut kehidupan manusia itu sendiri.
Jika demikian, kita perlu menawarkan perspektif baru. Alih-alih terjebak dalam oposisi biner “seni untuk seni” versus “seni untuk masyarakat,” bukankah lebih relevan jika kita bicara tentang “seni bersama masyarakat”? Dalam kerangka ini, seni tidak lagi dilihat sebagai produk yang dipertontonkan kepada publik, melainkan sebagai proses kolaboratif yang lahir dari interaksi dengan publik itu sendiri. Bayangkan festival sastra yang tidak hanya berlangsung di hotel mewah atau auditorium kampus, tetapi juga di pasar tradisional, warung kopi, atau balai desa. Bayangkan penyair yang tidak hanya membaca puisi di podium formal, melainkan juga mendiskusikan puisinya bersama nelayan atau pelajar. Sastra menemukan konteksnya kembali ketika ia berani keluar dari lingkaran elitis dan menjemput denyut nadi rakyat.
Filsuf Jerman Jürgen Habermas pernah mengingatkan tentang pentingnya “ruang publik” sebagai arena diskursus yang memungkinkan warga negara untuk terlibat dalam percakapan kritis. Jika kita menerjemahkan gagasan ini ke dunia sastra, maka festival sastra seharusnya menjadi ruang publik yang inklusif. Ruang dimana penyair, petani, musisi, buruh, mahasiswa, dan pedagang kecil bisa sama-sama hadir, berbagi pengalaman, serta saling memperkaya. Dalam ruang semacam itu, seni bukan lagi menara gading, melainkan jembatan yang menyatukan keragaman pengalaman manusia.
Namun, untuk sampai ke titik itu, kita butuh keberanian. Keberanian penyair untuk menanggalkan kenyamanan eksklusifitasnya. Keberanian penyelenggara festival untuk keluar dari pola lama “temu kangen sastrawan” menuju format yang benar-benar partisipatif. Keberanian untuk mengakui bahwa puisi bukanlah sekadar teks yang indah, tetapi juga praksis sosial yang bisa mengubah cara orang memandang kehidupan. Bukankah justru di situlah martabat sastra diuji—bukan di podium yang gemerlap, melainkan di ruang kehidupan nyata yang sering kali sederhana dan keras?
Maka, pertanyaannya sekarang: apakah kita rela terus memelihara festival sastra sebagai echo chamber, atau kita mau menjadikannya sebagai ruang perjumpaan yang autentik dengan masyarakat? Apakah kita puas dengan puisi sebagai ajang flexing eksistensi, atau kita berani menuntut puisi untuk kembali pada misinya yang lebih luhur—mencerahkan, menghibur, menggugah kesadaran, bahkan mungkin menggerakkan perubahan?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Tetapi disitulah letak urgensinya. Sebab, jika seni hanya berhenti pada seni, maka benarlah peringatan Ananda Sukarlan: “we’re gonna die, bro.” Namun, jika seni berani melibatkan diri bersama masyarakat, maka sastra tidak hanya hidup, tetapi juga menghidupkan. Dan pada akhirnya, bukankah itulah yang kita harapkan? Sebuah sastra yang tidak hanya menjadi gema di ruang tertutup, tetapi juga nyanyian yang bergema di jalanan, di sawah, di pasar, dan di hati siapapun yang mendengarnya.
Mungkin inilah saatnya kita bertanya dengan lebih jujur: untuk siapa sesungguhnya kita menulis? Untuk diri kita sendiri, untuk lingkaran kecil kita, atau untuk kehidupan yang lebih luas yang menanti untuk disentuh oleh karya-karya kita. []
Fileski Walidha Tanjung adalah penulis kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis esai, puisi, cerpen di berbagai media nasional. Buku karya terbarunya; Melukis Peristiwa, Luka yang Dibalut Doa, Cara Penghilang Duka.
0 Komentar
Lingkar literasi, sastra, dan seni budaya Asia Tenggara serumpun Bahasa.