005

header ads

Opini: Cinta Sebagai Ujian Tanpa Kunci Jawaban

 PERIHAL PUISI PENYAIR DI PPN XIII - MUHAMMAD LEFAND 


Cinta Sebagai Ujian Tanpa Kunci Jawaban


Oleh Ikhsan Risfandi*




Tidak ada yang lebih jenaka sekaligus serius daripada ketika kehidupan diperlakukan seperti ujian sekolah. Muhammad Lefand, dengan puisi “Pelajaran Membuat Soal”, memanfaatkan metafora pedagogis itu untuk mengubah soal ujian—yang biasanya penuh tekanan, kecemasan, dan lembar jawaban yang harus diisi—menjadi ruang kontemplasi cinta, janji, dan kenangan. Larik-lariknya seperti menyodorkan kertas ujian kepada pembaca, tetapi bukan dalam rangka memaksa kita mencari jawaban benar, melainkan menyadarkan bahwa hidup itu sendiri adalah soal yang tak pernah punya kunci.


Pertanyaan pertama dalam puisi ini diawali dengan instruksi sederhana: “Tatap mataku / Pegang dadamu / Detak jantungku menjadi rahasiamu.” Alih-alih deretan pilihan A, B, C, D, atau E, yang disodorkan adalah interaksi intim, penuh kehangatan tubuh dan tatapan. Lefand membalik logika: soal ujian bukan lagi cara menguji pengetahuan, melainkan cara menguji resonansi antar-jiwa. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) menulis: “Education must begin with the solution of the teacher-student contradiction, by reconciling the poles of the contradiction so that both are simultaneously teachers and students.” Dalam larik Lefand, soal pertama bukan datang dari guru kepada murid, tapi dari manusia kepada manusia, dari jantung ke jantung. Pendidikan—atau dalam hal ini cinta—hanya mungkin terjadi jika relasi itu simetris, bukan hierarkis.


Pertanyaan kedua, “Dari mata ke hati / Dari kata ke arti / Isyarat tertulis lembaran janji,” memperluas medan ujian ke ranah janji. Di sini, puisi seakan berubah menjadi kontrak simbolik antara dua insan, di mana bahasa adalah media. Neil Postman dalam Teaching as a Subversive Activity (1969) mengingatkan: “Once you have learned how to ask questions – relevant and appropriate and substantial questions – you have learned how to learn and no one can keep you from learning whatever you want or need to know.” Pertanyaan Lefand bukan sekadar retorika, tapi justru latihan untuk membangun janji: bagaimana dari mata berpindah ke hati, bagaimana dari kata sampai ke arti. Inilah momen ketika belajar menjadi pengalaman eksistensial, bukan sekadar soal benar atau salah.


Pertanyaan ketiga justru paling subversif: “Tak ada pilihan ganda / Kita satu rasa / Menikmati mesra / Membaca bahagia sepanjang usia.” Lefand menghapus pilihan—yang biasanya inti dari logika ujian—dan menggantinya dengan satu jawaban tunggal: kebersamaan. Ini seperti menggugat sistem pendidikan modern yang sangat mengandalkan ujian pilihan ganda, seolah-olah semua kebenaran bisa dipadatkan dalam satu opsi huruf. Ivan Illich dalam Deschooling Society (1971) menulis: “The pupil is thereby schooled to confuse teaching with learning, grade advancement with education, a diploma with competence, and fluency with the ability to say something new.” Maka, ketika Lefand meniadakan pilihan ganda, ia seolah sedang menyodorkan alternatif pendidikan cinta: bukan tentang memisahkan opsi, melainkan menyatukan rasa.


Puncak puisinya hadir di pertanyaan keempat: “Ditulis seutuh kenangan / Karena ujian butuh pengertian / Dan jawaban masih bergantung pada soal / Sedang kita lalai merenungi banyak hal.” Di sini, Lefand menyadarkan bahwa soal-soal dalam hidup bukan sekadar objek untuk dijawab, tapi juga cermin yang memaksa kita merenung. Henry Giroux dalam Teachers as Intellectuals (1988) menegaskan bahwa pedagogi kritis “argues that students should be taught to question and challenge domination, and the beliefs and practices that dominate.” Lefand dengan sederhana mengingatkan: ujian bukan sekadar mengulang hafalan, tapi ruang untuk membongkar kelalaian kita terhadap hal-hal mendasar dalam hidup.


Jika dibaca lebih jauh, puisi ini sebenarnya menggugat budaya ujian yang mekanistik dan menakutkan. Dengan menyulap ujian menjadi percakapan intim, Lefand menyingkirkan trauma ujian dari kelas-kelas dan menggantinya dengan ruang kontemplasi. Di titik ini, saya teringat Marshall McLuhan yang menulis dalam Understanding Media (1964): “We become what we behold. We shape our tools and thereafter our tools shape us.” Puisi Lefand, sebaliknya, mengembalikan alat ujian ke bentuk yang lebih manusiawi: bukan soal untuk menjerat, tapi soal untuk menumbuhkan.


Yang tersisa kemudian adalah tawa getir sekaligus hangat: bahwa kita semua pelajar yang sedang diuji oleh hidup, tapi jarang diajak belajar membuat soal. Lefand mengingatkan: yang sejati bukan jawaban yang sempurna, melainkan kemampuan menciptakan soal-soal yang memaksa kita berhenti, menatap, dan merenung.


Pertanyaan yang mengambang di akhir puisi ini barangkali adalah undangan untuk kita semua: apakah kita sudah cukup berani membuat soal sendiri dalam hidup kita, atau masih terus menunggu kunci jawaban dari orang lain?


*Irzi ialah nom de plume Ikhsan Risfandi lahir di Jakarta 1985. Irzi sempat menjajal peruntungan sebagai gitaris jazz, kemudian menulis puisi dan cerita pendek. Buku-buku puisinya adalah Ruang Bicara (Stiletto Book, 2019) dan Trivia Kampung Sawah (Velodrom, 2024).



Posting Komentar

0 Komentar