005

header ads

SINASETRA

Sinasetra adalah tujuan pendidikan agar manusia mampu memiliki penghasilan untuk menopang kebutuhan hidup, tidak berbuat kejahatan, hidup secukupnya, anti terhadap keserakahan karena keserakahan untuk menumpuk materi adalah tujuan yang tak berujung, fatamorgana kebahagiaan. Kebahagiaan yang sesungguhnya bukan pada kepemilikan materi, tetapi pada penerimaan dan rasa syukur atas apa yang saat ini dimiliki. Sehingga penganut paham Sinasetra tidak menjadikan kesuksesan sebagai tujuan hidup. Ketika orang menjadi orang besar atau orang kecil adalah garis nasib yang sudah diatur oleh sistem semesta, seperti adanya ratu lebah yang memimpin koloni lebah, sistem yang berlangsung secara organis, seperti dalam istilah jawa disebut "ketiban pulung", sehingga manusia tidak dididik untuk harus mengalahkan satu dan lainnya. Adanya orang bodoh itu penting agar bisa terlihat mana yang orang pintar, adanya orang berkecukupan itu penting, agar terlihat mana yang orang kaya, sehingga dalam konsep Sinasetra tidak ada orang miskin, karena telah mampu mencukupi kebutuhan dirinya sendiri tanpa harus merasa miskin. Roda kehidupan memang harus berputar, sehingga dualisme kaya-cukup, pintar-bodoh, cepat-lambat, dan lainnya wajib ada agar terjadi pergerakan alur dalam sistem semesta. 


Di tengah dunia yang terus bergerak cepat, mengejar puncak demi puncak kesuksesan, sering kali manusia lupa menanyakan satu hal yang paling mendasar: untuk apa semua ini? Apakah hidup memang semata-mata tentang menjadi yang paling kaya, paling pintar, paling cepat, paling unggul dalam kompetisi yang tiada akhir? Dari pertanyaan itulah lahir gagasan besar tentang Sinasetra, sebuah falsafah hidup, sekaligus arah pendidikan, yang menempatkan manusia dalam sistem semesta secara utuh dan sadar.

Makna Dasar Sinasetra

Sinasetra adalah tujuan pendidikan yang tidak semata-mata menjadikan manusia sebagai mesin produksi atau alat kompetisi, melainkan sebagai makhluk hidup yang utuh: mampu hidup mandiri, memenuhi kebutuhan dasarnya, dan tidak merugikan orang lain. Dalam falsafah ini, manusia dididik untuk bekerja demi mencukupi kebutuhan, bukan demi ambisi menumpuk kekayaan. Sebab keserakahan—yakni dorongan untuk terus memiliki lebih dari yang dibutuhkan—dipandang sebagai ilusi, sebuah fatamorgana kebahagiaan.

Falsafah ini meyakini bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada banyaknya harta, jabatan, atau prestise sosial, melainkan pada penerimaan diri dan rasa syukur. Orang yang hidup dalam Sinasetra belajar untuk mengurangi keinginan, bukan memperbanyak kepemilikan. Mereka tidak menjadikan kesuksesan dalam arti duniawi—kaya raya, terkenal, punya kuasa—sebagai ukuran nilai hidup. Mereka melihat kehidupan sebagai perjalanan untuk menjadi cukup, bukan untuk menjadi lebih dari orang lain.

Sinasetra Melawan Sistem Kompetisi

Sinasetra lahir sebagai kritik terhadap sistem pendidikan modern yang terlalu menekankan pada kompetisi: menjadi nomor satu, mengalahkan teman sekelas, memenangkan seleksi, mendapat ranking, masuk universitas unggulan, hingga mendapatkan pekerjaan paling bergengsi. Semua itu menciptakan manusia-manusia cemas, rakus, dan sering kali lupa bagaimana caranya bersyukur.

Dalam pandangan Sinasetra, kesuksesan bukanlah tujuan utama, dan bahkan tidak semua orang harus mencapainya. Menjadi besar atau kecil, pintar atau biasa-biasa saja, cepat atau lambat, bukanlah ukuran nilai seseorang. Semua itu adalah bagian dari sistem semesta yang berjalan secara organik. Seperti koloni lebah yang punya ratu, pekerja, dan prajurit, semuanya berperan penting dalam menjaga harmoni. Tidak semua lebah bisa jadi ratu, dan itu bukanlah masalah.

Ketiban Pulung dan Takdir Alamiah

Dalam kearifan Jawa, dikenal istilah “ketiban pulung”, yaitu peristiwa seseorang yang mendapat keberuntungan atau takdir besar tanpa ia cari dengan paksa. Ini adalah pengakuan terhadap mekanisme semesta yang tidak selalu bisa dijelaskan oleh logika manusia. Sinasetra mengadopsi nilai ini untuk membentuk kesadaran bahwa tidak semua bisa dan harus diraih oleh kerja keras. Ada peran takdir, keberuntungan, dan kehendak semesta yang mengatur segala sesuatu. Manusia cukup menjalankan tugasnya, bukan memaksakan kehendaknya.

Konsep ini melawan dogma “siapa bekerja keras, maka akan berhasil”, karena pada kenyataannya, tidak semua kerja keras berbuah manis, dan tidak semua orang malas hidup sengsara. Sinasetra mengajarkan bahwa hidup tidak harus seragam. Dalam sistem semesta, harus ada yang cepat dan lambat, ada yang terang dan gelap, agar harmoni dan pergerakan terus terjadi. Ini adalah prinsip dualisme hidup yang tidak harus dilawan, tetapi disadari dan dijalani dengan bijaksana.

Menghapus Istilah Miskin

Salah satu gagasan revolusioner dari Sinasetra adalah menghapus istilah "miskin". Bagi penganut Sinasetra, miskin hanyalah persepsi sosial yang dibentuk oleh sistem konsumsi dan kompetisi. Selama seseorang mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, ia tidaklah miskin, meskipun tidak memiliki banyak. Sebaliknya, orang yang terus merasa kurang, meski punya segalanya, justru sedang menjalani hidup yang fakir secara spiritual.

Dalam konsep ini, hidup berkecukupan adalah tujuan yang luhur. Orang yang bisa makan dengan tenang, tidur dengan damai, dan tidak membenci orang lain karena kesenjangan, adalah orang kaya dalam ukuran Sinasetra. Kekayaan adalah keadaan batin, bukan angka di rekening.

Pendidikan yang Membebaskan

Pendidikan dalam Sinasetra tidak mencetak manusia menjadi roda dalam mesin ekonomi global, tetapi membentuk manusia menjadi pribadi yang tahu batas dan tujuan hidupnya. Siswa diajak untuk mengenali diri sendiri: potensi, minat, dan kebutuhannya. Mereka belajar bekerja bukan untuk menjadi lebih dari orang lain, melainkan agar bisa hidup tanpa menyusahkan siapa pun.

Maka, dalam sistem ini tidak ada ranking yang membedakan "anak pintar" dari "anak bodoh". Karena yang disebut bodoh dalam ukuran akademik, bisa jadi adalah yang paling bijak dalam kehidupan. Justru perbedaan itulah yang memungkinkan sistem bekerja. Ada orang bodoh agar terlihat siapa yang pintar. Ada orang lambat agar orang cepat punya makna. Ada yang diam agar suara punya kekuatan.

Nilai-Nilai Etik dan Sosial

Sinasetra juga mengusung nilai-nilai etik yang kuat. Penganutnya menolak melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun—penipuan, perampasan hak, penguasaan sumber daya secara rakus—karena semua itu lahir dari hasrat keserakahan. Nilai-nilai ini menanamkan rasa tanggung jawab sosial: membantu sesama, berbagi seperlunya, dan hidup dalam solidaritas, bukan saling menjatuhkan.

Dalam kehidupan bermasyarakat, Sinasetra mendorong lahirnya komunitas-komunitas kecil yang saling menopang, tidak berdasarkan pada kelas sosial atau status ekonomi, tetapi pada rasa kemanusiaan. Tidak ada arogansi karena merasa lebih, dan tidak ada rasa rendah diri karena merasa kurang. Semua setara dalam semesta.

Jalan Menuju Ketenteraman

Sinasetra adalah jalan pulang ke dalam diri, menuju ketenteraman yang sejati. Ia bukan sekadar falsafah pendidikan, tetapi sebuah way of life, cara hidup yang membebaskan manusia dari perangkap ambisi, kompetisi tanpa arah, dan keserakahan yang mematikan nurani. Dengan menjalani hidup secukupnya, mensyukuri yang ada, dan menerima peran kita dalam semesta, manusia bisa hidup dengan damai dan merdeka.

Dalam dunia yang makin bising dengan tuntutan untuk jadi yang terbaik, Sinasetra hadir sebagai oase sunyi yang menenangkan: tidak semua harus jadi juara, tidak semua harus jadi miliarder. Cukup jadi manusia yang utuh, sadar, dan bersyukur. Itulah kemenangan yang sejati.

Posting Komentar

0 Komentar