005

header ads

Puisi Lahir, Maka Ia Tak Pernah Mati | Emi Suy

Puisi tidak diciptakan untuk abadi,

tetapi karena ia lahir dari keabadian.

~Catatan kecil seorang penulis


Saat Kata Memilih Tanggal Lahirnya


Akhirnya, puisi mendapat tanggal lahirnya. Bukan karena ia baru saja datang ke dunia, tapi karena dunia akhirnya mengakui bahwa ia telah lama hidup. Tanggal 26 Juli akan ditetapkan sebagai Hari Puisi Indonesia. Hari ketika bangsa ini tak hanya memberi penghormatan kepada Chairil Anwar yang lahir pada 1922, tetapi juga menyambut kelahiran dari sesuatu yang lebih halus dari udara, lebih sunyi dari doa: puisi.



Tentu, puisi tidak lahir dari ruang sidang atau lembar keputusan. Ia lahir jauh sebelumnya dari napas yang ditahan, dari tangis yang tak sempat dijeritkan, dari ketakutan yang mengendap di tulang punggung sejarah. Namun setiap tubuh yang hidup membutuhkan nisan dan tanggal lahir. Sejarah pun demikian. Maka puisi pun diberi penanda, agar ia tak lagi berjalan sendiri dalam waktu, agar ia bisa dirayakan bukan sebagai hantu, tapi sebagai cahaya.


Dalam sebuah konferensi pers di Taman Ismail Marzuki, 21 Juli 2025, Ketua Yayasan Hari Puisi Indonesia, Asrizal Nur, mengingatkan: Hari Puisi bukan milik yayasan, bukan milik segelintir penyair yang beruntung duduk di panggung. Hari Puisi adalah milik rakyat yang patah hati namun tetap menanak nasi. Milik mereka yang belum sempat belajar menulis, tapi telah lama melahirkan puisi dari air mata dan peluh.





Bukan Tentang Mati, Tapi Tentang Dilahirkan


Puisi tak perlu pengesahan untuk hidup. Ia lebih dulu menyelinap ke dalam tubuh manusia bahkan sebelum manusia tahu cara menyebutnya. Ia hadir dalam desah napas bayi yang menangis untuk pertama kali, dalam bisik ibu yang meninabobokan anaknya dengan lagu yang tak pernah ditulis. Tapi dunia yang penuh perhitungan ini butuh tanggal. Maka tanggal 26 Juli dipilih. Bukan karena puisi pernah mati, tetapi karena puisi layak dilahirkan kembali, secara resmi, dalam ingatan bersama.


Gagasan itu pertama kali digelar dalam forum kecil di Pekanbaru, tahun 2012. Beberapa penyair dari berbagai penjuru negeri berkumpul. Bukan karena mereka haus panggung, tapi karena mereka haus pengakuan bagi puisi. Puisi yang selama ini berjalan sendiri, kini ingin diarak. Bukan untuk dipuja, tapi untuk dipeluk.


Hari itu, Sutardji Calzoum Bachri membacakan Deklarasi Hari Puisi Indonesia bersama 40 penyair. Di hadapan langit yang mungkin sedang menahan tangis, mereka berkata bahwa puisi adalah naskah asli bangsa. Bahwa sebelum negara ini memiliki undang-undang, ia lebih dulu memiliki nyanyian. Bahwa Sumpah Pemuda adalah puisi pertama yang melahirkan Indonesia. Bukan karena isinya berima, tapi karena isinya mengguncang jiwa.



Puisi: Denyut yang Tidak Tertulis


Apa itu puisi, jika bukan cara manusia menamai rasa? Ia lahir bukan dari tinta, tapi dari peristiwa. Ia hidup dalam tubuh-tubuh yang terluka tapi tak punya bahasa. Dalam kepala-kepala yang penuh tanya tapi dilarang bicara. Puisi bukan hanya sajak yang dirapikan dengan jeda dan rima. Ia adalah denyut yang tak terlihat, getar yang tak bisa diukur, suara yang hanya bisa didengar oleh jiwa yang genting.


Hari Puisi Indonesia adalah milik siapa pun yang pernah bangkit karena sebaris larik. Milik mereka yang merindukan kampung halamannya karena satu baris bait. Milik anak-anak yang diam-diam belajar menulis karena tak tahu cara lain untuk merayakan luka.


Saya sendiri mengenal puisi dari hidup, bukan dari buku. Dari ibu yang menahan tangis sambil menanak nasi yang tak cukup untuk besok. Dari bapak yang menjahit caping gunung di bawah lampu minyak, agar kami tak terlalu sering sakit. Dari tetangga yang kehilangan anak karena demam, lalu menatap langit dengan tatapan yang tak pernah bisa saya lupakan. Semua itu adalah puisi. Bukan karena ditulis, tapi karena hidup.



---


Puisi adalah Perlawanan yang Tak Terdengar


Puisi adalah bentuk paling halus dari perlawanan. Ia tidak berteriak di jalanan, tapi mengendap dalam kesadaran. Ia menolak dijinakkan oleh pasar, ditundukkan oleh kekuasaan, atau dikomodifikasi oleh algoritma. Ia tetap berdiri di sudut sunyi, menjaga suara-suara yang nyaris dilupakan.


Ia tidak selalu cantik. Tidak selalu rapi. Tapi ia selalu jujur. Selama dunia belum adil, selama masih ada tubuh yang dipaksa diam, selama masih ada cerita yang disembunyikan, puisi akan selalu ada menjadi mata bagi yang tak melihat, menjadi mulut bagi yang dibungkam.


Sebagai perempuan, saya tahu benar bagaimana dunia sering kali memaksa kita untuk diam. Tapi puisi membukakan jendela bagi kami. Ia adalah lidah kedua. Ia adalah tubuh lain yang bisa berteriak. Dalam puisi, saya menanam benih dari suara ibu, nenek, teman-teman yang tumbuh tanpa izin untuk bermimpi.





Persaudaraan Kata dan Luka


Hari Puisi Indonesia adalah juga hari ketika kita merayakan persaudaraan kata dan luka. Kita tidak saling mengenal sebagai nama, tapi sebagai puisi. Kita saling menyapa bukan lewat tangan, tapi lewat larik. Kita tidak selalu sepakat, tidak selalu satu suara, tapi kita tahu bahwa puisi lebih besar dari ego, lebih luas dari sekadar panggung.


Bahasa dalam puisi bukan alat komunikasi. Ia adalah senjata lembut yang melukai tanpa darah. Ia adalah pisau sunyi yang bisa membedah sejarah. Penyair sejati memilih kata bukan untuk menutupi luka, tapi untuk menyentuhnya, membersihkannya, lalu merawatnya perlahan.


Kita datang ke puisi bukan untuk menang. Tapi untuk bertahan. Bukan untuk mendominasi makna, tapi untuk mendengarkan sunyi yang tak bisa dipetakan. Puisi tidak menyelamatkan saya dari dunia, tapi ia menemani saya menghadapinya. Dalam kata, saya membangun rumah kecil bagi mereka yang kehilangan alamat.


Epilog: Hari Puisi, Hari Kita Menjadi Manusia


Hari Puisi adalah hari ketika kata-kata berhenti menjadi alat, dan kembali menjadi napas. Hari ketika kita berhenti bicara, dan mulai mendengar. Hari ketika kita berhenti mencari kemenangan, dan mulai mencari makna.

Di tengah reruntuhan harapan, puisi berdiri sebagai tiang penyangga jiwa. Ia tidak menjanjikan surga, tapi menawarkan pemahaman. Ia tidak memberi solusi, tapi membuka ruang agar kita bisa merasakan apa yang telah lama kita lupakan: menjadi manusia sepenuhnya.


Jakarta, Juli 2025




Emi Suy adalah nama pena dari Emi Suyanti, lahir di Magetan, Jawa Timur, 2 Februari 1979. Ia dikenal konsisten menyuarakan spiritualitas, luka, dan keperempuanan melalui puisi-puisinya yang lirih dan reflektif untuk menjadi pembelajaran bersama. Nama Emi Suy tercatat dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2018), serta Apa Siapa Perempuan Pengarang Indonesia (Kosa Kata Kita, 2024).


Karya-karyanya antara lain: Tirakat Padam Api ( kumpulan puisi, 2011), Alarm Sunyi (kumpulan puisi, 2017), Ayat Sunyi (kumpulan puisi, 2018), Api Sunyi (kumpulan puisi, 2020), Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami (kumpulan puisi, 2022), Interval (kumpulan esai, 2023), dan Algoritma Kesunyian (kumpulan puisi bersama Riri Satria, 2023). Puisinya hadir di berbagai media ternama nasional seperti Kompas, Media Indonesia, Banjarmasin Post, Suara Merdeka, Jawa Pos, dan Pikiran Rakyat, serta lebih dari 200 antologi bersama penyair Indonesia lainnya.


Ia juga menekuni fotografi dan seni rupa. Karyanya terpilih dalam The Power of Woman (Bandung, 2016) dan Kecil Itu Keren (KIK) 2025 bersama 500 perupa dari 13 negara. Dalam bidang literasi, Emi menerima penghargaan Buku Puisi Terbaik dari Perpustakaan Nasional RI (2019), Basa-Basi Award (2019), dan Nominasi Sayembara Buku Puisi Yayasan Hari Puisi (2020).


Ia kerap tampil membaca puisi di berbagai forum sastra nasional dan internasional, seperti Pertemuan Penyair Nusantara XII (Kudus), Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (Tanjung Pinang), dan Temu Penyair Asia Tenggara II (Padangpanjang).


Selain bersastra, Emi aktif sebagai pendiri Komunitas Jejak Langkah, ikut serta mendirika Jagat Sastra Milenia (JSM). Saat ini, Emi Suy bergiat di komunitas Kosakata Jakarta Barat.

Posting Komentar

0 Komentar