KESENANGAN MENULIS ESAI SASTRA DAN BUDAYA
oleh: Anjrah Lelono Broto
Ilustrasi kesenangan dalam menulis esai sastra dan budaya (sumber: pinterest) |
Serupa
Ilustrasi
“Apa yang kita cari dalam hidup ini?” sepenggal dialog dalam naskah
drama Kapai-Kapai (1970:52) karya Arifin C. Noer tersebut diucapkan
berulang kali. Seakan memberikan penandasan betapa tingginya kita mendaki
gunung dan atau begitu dalamnya kita menyelami samudera, sebenarnya sebagai
manusia dalam hidupnya diri kita tengah mencari apa? Pencarian tersebut kadang
menjumpai sebuah titik pertemuan, namun kadang hingga sampai entah, titik
pertemuan hanyalah menjadi angan tanpa kunjung ketercapaian. Pun begitu,
manusia dalam pencariannya tak segan menjadi Sisyphus (dalam Mitologi Yunani)
dan Prabu Watugunung (dalam mitologi Jawa) yang tak putus asa melakukannya
terus dan terus.
Kemudian, di setiap perulangan pertanyaan-pertanyaan dialog dalam naskah
tersebut, jawabannya adalah; “bahagia”. Ternyata, kebahagiaanlah yang dicari
oleh kehakikian diri kita sebagai manusia. Tak segan seorang petani berangkat
subuh dan beranjak pulang dari sawahnya ketika matahari benar-benar tinggi,
begitu pula beragam identitas profesi manusia lain. Ketiadaan segan tersebut
bisa hadir karena yang bersangkutan hatinya merasa “bahagia”. Padahal, ketidakbahagiaan
terkadang hadir ketika hasil panen ternyata tidaklah sesuai dengan harapan.
Akan tetapi, ketidaksesuaian harapan ternyata tidak membuatnya yang
bersangkutan berhenti menjadi petani, tidak membuat manusia berhenti untuk
terus berusaha mencari kebahagiaan.
Kata “bahagia” sendiri memiliki banyak sinonim. Di antaranya; “suka
cita”, “suka ria”, “senang”, dll. Dalam tulisan ini saya tidak sedang
mengisahkan ulang Kapai-Kapai, Sisyphus,
dan atau Prabu Watugunung. Saya hanya akan membagi sedikit yang saya tahu
perihal penulisan esai sastra dan budaya yang menyenangkan. Apakah
kesenangannya begitu besar hingga layak dibagikan? Esai sastra dan budaya yang
menyenangkan itu yang bagaimana? Lalu, menurut saya, jurus jitu membuat esai
sastra dan budaya yang menyenangkan tersebut yang bagaimana?
Kernyitan dahi dan duka hati saya rasa tidak perlu terhadir ketika
menyimak uraian berikut ini, sebab pertanyaan-pertanyaan di atas dapat
ditemukan jawabannya dengan perasaan yang senang (asal ada komitmen dan
keikhlasan).
Tentang
Kesenangan
Aristoteles mendefinisikan kesenangan atau kebahagiaan merupakan
kesempurnaan kegiatan manusia sebagai manusia (Sudrijanta, 2004:150). Dengan
kata lain, apabila seseorang menjalankan fungsinya masing-masing sesuai dengan
situasi dan kondisinya dengan baik, maka dirinya akan mencapai sesuatu yang
disebut sebagai kebahagiaan atau kesenangan. Poesposuprojo (1988:30) mengatakan
bahwa kesenangan adalah sebuah keadaan subjektif terhadap kepuasan atas
keinginannya. Artinya, ada hukum relativitas yang berlaku dalam mendefinsikan
kesenangan itu sendiri. Bisa disimpulkan bahwa hukum relativitas ini pula yang
ada dalam kesesuaian antara situasi dan kondisi dalam pandangan Aristoteles.
Kesenangan dalam menulis (dalam pengertian luas) bisa jadi dapat
ditemukan ketika yang bersangkutan mempercayai ungkapan Pramoedya Ananta Toer
tentang adanya kerja keabadian dalam kepenulisan. Namun, saya pribadi lebih
condong menemukan kesenangan ketika karya tulis kita bisa memberikan kebermanfaatan
bagi diri sendiri dan pembacanya; sekecil apa pun besaran kebermanfaatan
tersebut. Bukankah rasa senang yang sukar diuraikan ketika ternyata karya tulis
kita kemudian dibaca oleh orang lain, menjadi objek kajian/diskusi/skripsi,
menjadi rujukan tulisan, dll?
Kesenangan menulis esai sastra dan budaya dapat kita awali dari
pengenalan terhadap jati diri esai itu sendiri. Esai adalah sebuah
karya tulis non-fiksi yang menyoroti tema tertentu dari perspektif pribadi
penulis (Joe Saltzman dalam Hernowo, 2002:04). Esai dapat mempunyai beberapa
bentuk yang berbeda. Esai naratif menampilkan sebuah cerita, sementara esai
persuasif menyatakan sebuah argumen. Esai eksploratoris menelusuri sebuah ide.
Dalam buku Tifa Penyair dan Daerahnya (1983:92-94),
H.B Jassin merumuskan pengertian esai sastra sebagai karangan yang membicarakan
soal-soal manusia dan hidup, dijiwai oleh subjektivitas pengarang, dalam
mencari arti hidup dan penjelmaannya. Yang dibahas dalam pengertian esai sastra
tersebut adalah beragam soal sastra, tidak tersusun secara metodis, tetapi
dipetik dengan merdeka dari sana-sini di jalan penghidupan. HB Jassin
menambahkan bahwa melalui esai dihadirkanlah hikmah-hikmah kehidupan,
tanggapan-tanggapan, pikiran-pikiran, renungan-renungan, komentar-komentar atas
kejadian-kejadian, kutipan-kutipan atau ucapan orang, anekdot-anekdot, filsafat
hidup, tetapi semuanya itu dengan cara subjektif, menurut pikiran dan perasaan
penulisnya sendiri berdasar pada karya seni, karya sastra, dan kenampakan
budaya lainnya.
Nyoman Kutha Ratna dalam
bukunya Glosarium: 1.250 Entri Kajian
Sastra, Seni, dan Sosial Budaya (2013:120) menjelaskan bahwa esai sastra
dan budaya pada umumnya dikaitkan dengan kritik sastra. Berbeda dengan kritik
sastra yang memberikan penilaian secara teoretis, mendalam, dan dilakukan
melalui berbagai segi, esai sastra pada dasarnya lebih terbatas pada pemahaman
awal, permukaan, bahkan juga mengandung semacam persuasi untuk mempengaruhi
pembaca.
Teknik penyajian esai
sastra dan budaya dilakukan dengan melakukan deskripsi, interpretasi, dan
analisis. Esai sastra bisa saja hanya menonjolkan deskripsi, interpretasi, atau
analisis atas objek karya sastra yang ditelaah sesuai dengan minat subjektif
penulisnya yang bersifat apresiatif. Teknik penyajian esai sastra tidak
mengikutsertakan evaluasi, karena itu sudah masuk ranah kritik sastra.
Objek analisis esai
sastra adalah karya sastra, seperti puisi, cerpen, novel, dan naskah drama.
Sedangkan, objek analisis esai budaya adalah karya kreatif budaya, seperti karya
drama, karya tari, karya lukis, karya seni rupa, karya musik, karya film,
festival, maupun perhelatan kesenian dan kebudayaan seperti parade, karnaval,
tradisi-tradisi tertentu yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Esai Menyenangkan
Sekian penulis maupun motivator kepenulisan telah membagikan banyak jurus jitu bagaimana menulis esai, termasuk di antaranya esai sastra dan budaya. Namun, tak banyak yang membagikan jurus jitu bagaimana menulis esai sastra dan budaya yang menyenangkan. Sekian tips dan trik dalam jurus-jurus jitu kepenulisan tersebut kebanyakan justru terkesan ‘memberatkan’ (calon) penulis esai sastra dan budaya. sehingga, kadangkala banyak (calon) penulis esai sastra dan budaya justru dihinggapi ketakutan sebelum melangkah lebih lanjut.
Lalu, bagaimana jurus jitu menulis esai sastra dan budaya yang
menyenangkan dan tidak mengundang dihinggapinya ketakutan tersebut?
Jika Hernowo (2002:16) menyebut bahwa ada tiga kesenangan yang didapat
dari proses kepenulisan, yakni (a) mengenali diri sendiri; (b) berbicara ke
publik; dan (c) mengasah kreatifitas, maka nampaknya saya perlu untuk
memberikan satu item tambahan dalam konteks penulisan esais sastra dan budaya.
Item yang saya tambahkan adalah “Penghargaan Terhadap Karya Sastra dan Budaya”.
Penambahan item di atas memiliki signifikansi cukup tinggi di tengah semakin surutnya ruang-ruang apresiasi yang proporsional terhadap karya sastra dan karya kreatif kebudayaan belakangan ini. Buku-buku karya sastra, nama-nama penulis karya sastra, hingga agenda-agenda kesusastraan dan kebudayaan menunjukkan peningkatan kuantitas yang luar biasa satu dekade terakhir ini. Akan tetapi, hal ini kurang diikuti peningkatan pula pada publik penikmat karya sastra dan karya kreatif kebudayaan. Buku-buku sastra yang diterbitkan belum menjadi konsumsi publik secara luas dan masih tersaji di lingkaran tertentu. Bagi saya pribadi, lahir-tumbuh-kembang esai-esai sastra dan budaya merupakan salah satu jawaban guna memperlebar ruang cakup dan definisi ‘kalangan tertentu’ publik tersebut. Setuju?!
####
Mojokerto, 2020-2023
___________
Anjrah Lelono
Broto, aktif menulis esai,
cerpen, serta puisi di sejumlah media masa. Beberapa puisinya masuk dalam buku
antologi bersama Buku karyanya
adalah Esem Ligan Randha Jombang (2010), Emak, Sayak, Lan Hem
Kothak-Kothak (2015),
Nampan Pencakan (2017), Permintaan Hujan Jingga (2019), Kontra Diksi Laporan Terkini (2020), dan
Garwaku Udan lan Anakku Mendung (2022). Terundang
dalam agenda Kongres
Bahasa Jawa VI (2016), Muktamar Sastra (2018), Kongres Budaya Jawa (2018), dan Musyawarah Nasional Sastrawan
Indonesia III (2020). Karya
naskah teaternya “Nyonya Cayo” meraih
nominasi dalam Sayembara Naskah Lakon
DKJT 2018. Sekarang bergiat di Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA),
dan Komite Sastra Dewan Kesenian Mojokerto (DKKM). Kontak FB: anjrahlelonobroto, dan WA: 085854274197.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313