Puisi Eddy Pranata PNP |
CATATAN KECIL RAMADAN
1/
ada yang selalu engkau rindu
ketika ramadan menderu
: "tangan halus mengelus kalbu
sepenuh kasih-Mu!"
2/
keringat dingin mengalir
membasahi tubuh
lapar-haus
: "beri aku seribu kata
untuk kuperas jadi sajak!"
ya, kuperas jadi sajak.
3/
masuk ke dalam diri
nyaris serupa labirin
serpih kata-kata
: "tangkap dan tuliskan
sebelum kau kehilangan bentuk!"
intuisi bagai pendar cahaya embun.
4/
suara itu serupa gema
datang dari kedalaman jiwa
jauh, jauh
: "aku mau hidup bukan sekadar
berseteru dan bercinta!"
tak jauh dari telaga dewi
di leher gunung; edelweis pun gugur.
5/
gerimis memecah pagi
kenangan jingga mengapung
sedih, perih
: "kekalahan dan pertarungan,
gelanggang menyisakan genangan
dendam!"
air mata tetes, luka itu sungguh
tak mengering jua.
6/
telah kukuras isi perutku
agar jauh amuk nafsu
agar lempang jalan kutempuh
: "engkau nikmati haus lapar,
sepenuh kasih-Nya
sehabis-habis rindu-Nya!"
aku mabuk
sepenuh kasih
sehabis-habis rindu.
7/
aku mencari yang maha kasih
dari satu lorong ke lorong lain
dari satu kota ke kota lain
: "pejamkan matamu
akan kau lihat sajadah panjang
untuk berpasrah diri pada-Nya!"
di sebuah lorong senyap dan sempit
di sebuah kota pesisir yang panas
aku menemukan seberkas cahaya
jatuh membelah jantung-hatiku
aku tersungkur di sajadah panjang-Mu!
8/
engkau merayap di antara batu sunyi
dengan tangan gemetar
dengan dada berdebar
: "ampun aku ya Allah
atas dosa besar dosa kecilku
aku mau jadi bayi lagi!"
berkali-kali tersungkur engkau
meratap engkau
hingga tuntas zikir
hingga kosong ruh
: ampun dan berkah-Mu ya Allah!
9/
dari jendela kamar
dunia kecil; kupu-kupu dan kembang
dan embun yang menguap
: "setiap matahari meretas pagi
doa dan keringat
berjatuhan dari sayapmu!"
berkahi ya Allah
setiap gerak setiap sayap mengepak
kupu-kupu yang lahir
dari rahim rahasia-Mu
: hidup dan mati menuju liang sunyi
yang paling puisi!
Jaspinka, April 2022
Eddy Pranata PNP
TELAH AKU BAKAR SELURUH KENANGAN JINGGA
telah aku bakar seluruh kenangan jingga
dengan dada bergemuruh
abu pembakaran itu aku larungkan ke laut jauh
: "tak ada lagi puisi, tak ada lagi edelweis!"
segalanya kembali ke ruang kosong
ruang di mana aku memilih tiang cahaya
tempat bersandar lalu melanjutkan perjalanan
mungkin tanpa beban lagi
mencatat sejarah kecil
melupakan bukit-bukit yang tandus
juga rumah kayu yang telah ambruk
dan sangat banyak bunga dan duri di taman
menghibur dan melukai
aku sungguh ingin tidak ada air mata jatuh
dan perjalanan harus dilanjutkan
: "pertarungan demi pertarungan menghadang
menang atau kalah adalah hikmah!"
o, telah aku bakar seluruh kenangan jingga
abunya aku larungkan ke laut jauh
: "tak ada lagi puisi, tak ada lagi edelweis!"
Jaspinka, Jumat Wage 8 April 2022
Eddy Pranata PNP
Eddy Pranata PNP
SAMPAN ITU MENEPI JUGA AKHIRNYA
ia ingin segera menepi
dari ombak dan gemuruh laut
dikayuhnya sampan sehabis-habis tenaga
dadanya berguncang, sampan dilambung-lambung
gelombang, beberapa kali nyaris
membentur runcing karang
: "hidup tidak harus jadi penangkap ikan!" entah
teriak siapa : "kurasa engkau lebih tepat jadi penyair!"
sampan itu menepi juga akhirnya
ia berguling-guling di bibir pantai
lalu berteriak seraya mengangkat kedua
tangan ke udara: "seliar apa pun imaji, selicin apa pun
ruh puisi kutaklukkan, kudekap kupeluk!"
di kejauhan ombak menggunung lalu memecah
menghempas ke tebing-tebing karang
: "aku akan terus bertarung dan berburu kata-kata
hingga ajal!"
Jaspinka, 6 April 2022
Eddy Pranata PNP
HUJAN DI LUAR, MALAM KIAN SENYAP
hujan di luar, malam kian senyap
aku menemukanmu terluka dengan air mata tetes
di antara baris-baris puisi yang baru usai kutulis
: "bertahun-tahun kautikam-tikam rekah mawar
durinya kaunikmati dan kian tajam rindumu!"
tetapi entah kapan lagi kita bersua
di dermaga paling jingga atau
di pinggang bukit edelweis
segalanya akan senantiasa berujung aroma
pengkhianatan, o, hujan di luar, engkaukah yang
berjalan meninggalkan rumah puisiku
dengan menyeret luka tak pernah mengering
: "... bayangan itu kian luruh kian jauh..."
Jaspinka, 30 Maret 2022
Eddy Pranata PNP
MUSAFIR PALING FAKIR
udara panas, senja telah berlalu
usai magrib mahaguruku berkata lirih
: "bung, tak ada keinginan manusia terpenuhi semua
bahkan dari seluruh angan-angan dan rencana
tetapi itulah realita, manusia hanya sebutir debu
Allah segalanya, Allah segala maha!"
aku berusaha tersenyum, walau getir, hatiku berkata
: 'benar mahaguruku, akulah musafir paling fakir
berusaha dan berserah hanya pada Allah!'
... mahaguruku menepuk-nepuk kedua bahuku
sebelum pergi (lagi) berkata lirih
: "bung, jangan sekali-kali putus zikirmu..."
aku mengangguk, sorot mata mahaguruku bagai gurun es!
Jaspinka, 28 Maret 2022
Eddy Pranata PNP
SUNGAI AKAL
aku ingin engkau tidak kian dangkal sungai akalmu
apalagi engkau sampai mengajari ikan berenan
: "ini ruang-- penuh kata-kata, tetapi tidak semua
kata layak untuk jiwa puisi!" merenunglah;
satu helai rindu yang kausematkan pada kesetiaan
dalam hidupmu akan menjelma cahaya yang berkilauan
siang-malam dan aku, sekali lagi, ingin engkau tidak kian
dangkal sungai akalmu apalagi engkau sampai mengajari
sang kiai berzikir!
Jaspinka, 26 Maret 2022
Eddy Pranata PNP— adalah Presiden Penyair Banyumas Raya, Indonesia. Juara 3 Lomba Cipta Pusi FB Hari Puisi Indonesia 2020, meraih anugerah Puisi Umum Terbaik Lomba Cipta Puisi tahun 2019 yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Hari Puisi Indonesia.
Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019), Tembilang (2021)
Puisinya juga disiarkan di Majalah Sastra Horison, koran Jawa Pos, Media Indonesia, Indopos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Medan Pos, Riau Pos, Tanjungpinang Pos, Haluan, Minggu Pagi, dll.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313