YIN UDE
LELAKI PEMUNGUT PAKU
Terik matahari musim kemarau sudah seperti sengatan bara yang diletakkan di punggung Azis. Tapi lelaki empat puluh tahun itu berusaha bertahan.
“Sebentar lagi,” kata hatinya sambil terus membungkuk, mengorek-ngorek tanah tepi jalan untuk mengeluarkan sebuah paku yang ujungnya mencuat.
Dua menit kemudian…
“Habis!” gumamnya pelan demi dilihatnya tak ada lagi paku yang tergeletak atau yang nampak mencuat. Dan ia puas pada “kerjanya” hari ini: lima biji paku berkarat yang telah ada dalam genggamannya.
Begitulah Azis, setiap hari, setiap pulang pergi ke masjid untuk sholat, ia selalu menyempatkan diri memerhatikan jalan yang ia lewati guna memastikan tidak ada paku yang tergeletak, yang menyembul dari dalam tanah, yang menurutnya bisa saja terinjak orang atau membuat bocor ban kendaraan yang lalu lalang. Dan karenanya sepanjang perjalanan ia akan lebih banyak menunduk, berusaha awas pada “sasarannnya”. Tiba di rumah, jarang sekali kantongan plastik dalam saku celananya tak berisi paku, biar hanya sebiji. Paku-paku itu ia kumpulkan dalam kaleng, disimpan di belakang rumahnya.
Begitulah pula untuk masing-masing waktu sholat ia akan memilih jalan yang berbeda-beda saat pulang dan saat pergi ke masjid, agar semakin besar kemungkinan dirinya menemukan paku, yang tak pernah ia pikirkan, entah bagaimana caranya, entah siapa yang membuangnya, selalu saja ada di jalanan.
Sederhana saja, Azis berkeyakinan apa yang ia lakukan itu baik. Dan keyakinannya itu pernah ia sampaikan kepada Ustad Syamsun, yang langsung memuji, “hebat kamu Azis, mau melakukan sesuatu yang baik, yang sederhana tapi bermanfaat bagi orang lain.”
Pujian itu dilontarkan Ustad menyusul paparannya tentang sabda Rasulullah yang berbunyi, “tatkala seorang pria sedang berjalan, tiba-tiba ia mendapati sebuah dahan berduri yang menghalangi jalan. Kemudian ia menyingkirkannya. Maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya.”
“Paku, sama hukumya dengan duri, membahayakan saat ada di jalan. Maka ketika kau menyingkirkanya, Allah juga bersyukur padamu dan mengampuni dosamu, bahkan bisa menjadi penyebab kau masuk surga kelak,” terang Sang ustad menambah semangat di dada Azis.
Benar, ia hanya ingin berbuat baik, kendati ia tahu orang-orang sudah sering bergunjing tentang apa yang ia lakukan.
Orang-orang menyebutnya pemulung paku. Ada yang mencibir dan menganggap dirinya sok berbuat baik. Bahkan beberapa jamaah masjid sudah mencapnya tidak waras.
Isterinya, Maemunah tidak luput pula menjadi orang yang menilai buruk Azis.
“Apa-apaan Abang ini?!” seru perempuan itu selalu, “pulang pergi ke masjid hanya untuk jadi pemungut paku! Buat apa paku-paku itu Abang pungut? Kalau butuh, kenapa tidak beli saja?! Bikin malu saja!”
Tapi Sang suami hanya tersenyum membalas omelan isterinya. Seperti senyumnya pada siapa saja yang kerap menghadapkannya dengan kata-kata dan pertanyaan serupa. Azis merasa pujian dan penjelasan Ustad Syamsun sudah cukup menjadi pegangannya untuk teguh melanjutkan “kegiatannya” itu. Dan ia bangga pula menjadi orang yang dipuji karena apa yang ia perbuat.
Kini bukan sekedar paku yang dipungut oleh Azis. Potongan-potongan kayu atau papan yang sering pula dibuang orang-orang di pinggir jalan ia kumpulkan dan dibawa pulang.
*
Sholat subuh telah usai. Para jamaah, sendiri-sendiri, atau berkelompok pulang meninggalkan masjid.
Seperti biasa Azis lebih senang pulang paling akhir. Dan ia akan berada di belakang, menyendiri, menyusuri jalan yang masih gelap dengan senternya.
Cahaya senter itu bergerak-gerak di tanah, diikuti tatapan mata Azis yang teliti dan tekun memerhatikan, siapa tahu ada paku yang tergeletak.
Tiba di ujung gang kampung sebelah…
“Astagfirullahal adziiim!” serunya tertahan, dengan mata melebar.
Di depannya, di atas tanah bahu jalan berserakan paku-paku triplek, yang beberapa di antaranya sudah berkarat! Ukurannya yang kecil, ditambah suasana gelap, membuat paku-paku itu hampir tak terlihat oleh Azis. Untung mata lelaki itu awas.
Lekas ia keluarkan kantongan plastik dari saku celananya, membungkuk dan mulai memungut paku-paku itu.
“Siapa yang begitu teledor sampai pakunya berceceran begini. Kalau paku kecil begini sudah tertimbun debu akan sulit dilihat. Sangat mudah terinjak, sangat mudah pula menusuk ban sepeda atau sepeda motor…,” keluh batinnya polos.
Habis.
Hendak ia melangkah, cahaya senternya menumbuk lagi serakan paku berukuran sama tak jauh dari tempatnya berdiri.
Tak pikir panjang Azis kembali membungkuk, memungut dan memasukkan paku-paku itu ke dalam kantong plastik yang ia pegang.
“Orang gila! Orang gilaaa! Orang gilaaaa!!”
Lelaki itu tersentak oleh teriakan ramai berulang-ulang dari belakangnya. Begitu membalikkan badan, didapatinya tujuh anak kecil yang tertawa seraya menunjuk-nunjuk padanya.
“Orang gila pemungut paku! Orang gila pemungut pakuuu!!” sorak mereka sambil terus tertawa, sambil terus menunjuk-nunjuk.
Azis menggeleng-gelengkan kepala. Ia tidak kenal anak-anak itu. Wajah mereka samar-samar dalam gulita yang belum sepenuhnya pudar.
Tapi ia tidak marah. Justeru tersenyum.
“Orang gila! Orang gila pemungut pakuu!!” teriakan anak-anak itu terus memecah sepi pagi dan tak berhenti ketika mereka lari masuk gang, meninggalkan Azis yang terus menggeleng-geleng.
Ia tidak tahu bahwa paku-paku itu ditebar semalam oleh beberapa pemuda kampung yang hendak iseng padanya, yang ingin menjadikan ia malu dengan cara menyuruh anak-anak meneriakinya.
**
Tak bisa hilang lengking sirine ambulan dari benak Azis. Ambulan yang tadi siang membawa jenazah seorang ibu dari kampung sebelah yang meninggal begitu cepat karena tetanus. Kabarnya kemarin ia menginjak paku triplek berkarat di tepi jalan depan salah satu gang kampungnya.
Azis gemetar sendiri ketika -berdasarkan cerita orang-orang- ia pastikan gang itu adalah gang tempat ia kemarin subuh memungut paku, tempat anak-anak meneriakinya “orang gila”. Ternyata masih ada paku yang terlewatkan dari perhatiannya, yang tidak sempat ia pungut, dan kemudian terinjak oleh ibu itu, hingga lukanya infeksi dan berakibat begitu fatal.
Azis merasa berdosa karena kurang cermat! Azis merasa ia telah menjadi bagian dari penyebab kematian ibu itu!
Tiba-tiba pula ia meyakini kekurangcermatan itu sebagai adzab Tuhan pada dirinya yang selama ini selalu menyimpan rasa bangga dipuji oleh Ustad Syamsun.
“Ya, Allah ampuni hamba-Mu yang selama ini bangga telah berbuat baik, hingga Kau jadikan aku lalai, sampai ada paku yang hamba lewatkan, yang berakibat meninggalnya orang lain…,” rintihnya di ujung wirid usai sholat ashar di masjid.
Ia benar-benar merasa bersalah di depan Tuhannya. Tak henti, berulang-ulang ia memohon ampun atas kebanggaan yang dengan sengaja ia biarkan menetap dalam hatinya.
“Ampuni hamba-Mu ya, Allah, ampuni hamba…,” pintanya, “jangan hentikan aku dari memungut paku, ya, Allah. Dan jadikanlah perbuatanku ini terus memberi manfaat bagi orang lain. Aku mohon pula, perkenankanlah paku-paku yang selama ini aku pungut suatu saat ada gunanya bagi orang lain, ya, Rabbi….”
Azis yang bersimpuh di atas sajadah di sudut masjid terus merintih-rintih, bahkan berurai air mata.
Ia tak sadar ada sekian pasang mata jamaah yang menatapnya dengan berbagai ekspresi, dengan berbagai macam sangkaan.
Ada yang heran, ada yang kasihan, ada yang sinis, ada raut wajah mengejek, ada banyak pula yang kian yakin bahwa Azis pemungut paku memang sedang tidak waras.
***
Tiba di rumah, wajah Azis masih murung. Itu mengundang rentetan pertanyaan Maemunah.
“Kenapa wajahmu sedih begitu, Bang? Ada apa? Kau kena masalah? Siapa yang bikin kau tidak enak hati seperti ini? Hei, kenapa diam saja?”
Suaminya yang tak menyahut membuat wanita itu jengkel dan memilih pergi.
Di serambi tatapan tawar Azis menumbuk Nur, janda tetangga depan yang sedang duduk di balai-balai depan rumahnya.
Perempuan satu anak itu nampak murung pula.
Azis terus menatapnya. Suatu ketika mereka bertemu pandang. Risih rasanya Azis tak basa-basi. Maka ia pun bertanya, “ada apa, Nur? Kenapa sepertinya sedih begitu?”
Nur nampak ragu menjawab.
“Ada apa?” desak Azis.
“Anu, Bang. Saya lagi pusing. Usman, ponakanmu, sudah dua hari tidak mau pergi mengaji. Ia malu karena guru mengajinya terus-terusan mendesaknya untuk membawa rekal, alas Al Qur’an sendiri. Sementara mau kubuat, aku tak bisa. Mau kubeli, harganya mahal. Begitu juga kalau aku meminta bantuan tukang kayu. Ongkosnya banyak….”
Tersentak hati Azis mendengar luncuran kalimat dari bibir janda itu. Tiba-tiba ia ingat paku sekaleng penuh dan potongan-potongan papan yang selama ini ia tumpuk.
Lekas ia ke belakang rumah. Sesaat ia muncul lagi dan langsung menuju halaman rumah Nur. Ia membawa kaleng berisi paku dan papan hasil ia pungut di jalan.
“Tunggu sebentar,” katanya seraya bergegas ke rumah Sanusi, tetangganya yang lain.
Nur mendengar seruan Azis memanggil-manggil Sanusi dan menyatakan hajat meminjam gergaji dan palu.
Ia kembali lagi dengan menenteng gergaji dan palu, lalu meminta Nur meminjaminya pensil dan penggaris milik Usman.
Usman keluar membawa pensil dan penggaris.
Anak kelas lima SD itu dan ibunya, dan Maemunah pula yang sudah ikut nimbrung hanya bisa memandangi Azis yang mulai mengukur papan tanpa bicara.
Sejurus kemudian papan itu ia potong menjadi dua bagian sama panjang sama lebar.
Diukurnya lagi, digergajinya lagi.
Usman tertarik. Ia jongkok lebih dekat dengan Azis.
“Tumpahkan semua paku itu dari kaleng,” perintahnya pada Si anak.
Usman menurut. Paku-paku beraneka ukuran kini nampak teronggok di depan mereka.
Azis memilih-milih ukuran paku yang dirasa sesuai. Disatukannya papan dengan paku tersebut. Suara ketokan palu mengisi sore.
Mata Usman melebar. Wajahnya sumringah demi melihat hasil kerja lelaki pemungut paku di depannya itu.
“Rekal!” serunya, “itu rekal untukku?”
Seraya menimang-nimang rekal yang baru selesai dibuatnya Azis mengangguk, dengan senyuman pula.
Usman berdiri, meloncat-loncat girang. “Aku sudah punya rekal! Aku sudah punya rekaaal!” soraknya.
“Masya Allah, Bang Azis hebat!” terlontar kalimat bahagia dari bibir Nur.
“Sekarang Usman sudah punya rekal sendiri!” imbuhnya sambil memeluk anaknya.
Maemunah tercengang. Tak menyangka suaminya akan membuat barang semacam itu, yang berguna bagi Usman, yang membuat Si bocah dan ibunya begitu senang.
“Tapi ini belum sempurna,” sela Azis dengan wajah puas pula melihat ada orang yang bahagia dengan apa yang ia perbuat.
“Masih perlu diamplas dan dicat sedikit biar bagus,” sambungnya.
“Ndak apa-apalah, Bang. Yang penting ada alas Al Qur’an dulu. Besok lusa kalau ada rejeki kita beli amplas dan cat kaleng kecil. Untuk sementara ini sudah bagus dan sudah bisa dimanfaatkan,” sambut Nur yang sudah menerima rekal itu dari Azis.
Ia memandanginya lekat-lekat seperti tak percaya barang yang dibutuhkan anaknya dan menjadi penyebab kegelisahannya beberapa hari telah ada begitu cepat di tangannya.
“Tapi paling tidak dibilas sedikit dengan air. Biar bersih dan suci untuk meletakkan Al Qur’an. Maklum papannya saya pungut di pinggir jalan,” kata Azis mengingatkan.
Tak harus disuruh dua kali, Usman sudah menjunjung rekal itu ke dalam rumah untuk dicuci.
“Ini, minta tolong suruh Usman beli amplas dan cat kaleng kecil ke toko.”
Azis tak percaya dengan apa yang ia dengar dan ia lihat: isterinya meminta Nur menyuruh Usman seraya menyodorkan beberapa lembar uang kepada tetangganya itu.
Ya, Azis tidak percaya sebab ia tahu betul salah satu sifat isterinya adalah sedikit kikir.
“Oh, terima kasih, Kak Maemunah, terima kasih…,” ucap Nur terharu.
Ketika Nur masuk ke dalam rumah untuk menyerahkan uang itu kepada anaknya, Maemunah berbisik pada Azis, “ndak apa-apa kan, Bang? Saya bantu sedikit Nur dan anaknya. Kasihan mereka. Lagi pula, kan bukan Abang saja yang ingin berbuat baik….”
Azis mengangguk cepat.
Lelaki itu tersenyum bahagia atas kesadaran yang timbul pada isterinya.
Bahagia pula karena terbawa rasa syukur pada Tuhan, yang ia yakini telah mengabulkan doa-doanya.
--Selesai-
Sumbawa, 10 Juni 2021
Yin Ude Aktif menulis dan memublikasikan cerpen, artikel dan puisi sejak tahun 1997, yang termuat di media lokal dan luar Sumbawa, seperti Sumbawa Ekspress, Sumbawa Post, Gaung NTB, Lombok Post dan Suara Muhammadiyah. Buku yang telah terbit Sepilihan Puisi dan Cerita “Sajak Merah Putih”, Novel “Benteng” , Antologi Puisi “Seribu Tahun Lagi”, Antologi Puisi “Genta Fajar”, Antologi Puisi “Plengkung: Yogyakarta dalam Sajak”, Antologi Puisi “Hujan Baru Saja Reda”, Antologi Puisi “Jejak Puisi Digital”, Antologi Puisi “Para Penyintas Makna” dan Antologi Puisi “Pertemuan di Simpang Zaman”.
:
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024