005

header ads

MENARI DI BAWAH PURNAMA


Cerpen Fileski

[Telah dimuat Jawa Pos, Radar Bojonegoro 14 Januari 2024]



Senyuman dan lambaian tangan kala senja mengepakkan sayap jingga. Angin darat mendorong perahu itu semakin ke tengah. Ia ingin menangis, namun ia tersadar ada tangan seorang gadis kecil yang menggenggam tangannya. Tangan yang mungil, tangan yang tak semestinya melihat segala duka dunia. Tangis hanya akan membuat malam ini penuh lara. Gadis kecil itu adalah adiknya. 

Sekalipun ini bukan yang pertama kalinya. Entah mengapa setiap Ayahnya pergi berlayar, ia tak kuasa membendung air mata. Sekalipun ia seorang lelaki, tetap saja ingin menangis ketika ditinggal Ayahnya pergi. Sinar senja temaram menyembunyikan tetes air mata duka. “Bukankah Ayah akan kembali esok pagi?” Ia berkata, sembari tetap menatap perahu yang semakin lama menjauh dibawa angin senja menuju samudera. 

Betapapun sedihnya, ia tak akan menampakkan itu di depan adiknya. Setiap kali malam tiba,  ia juga sering teringat ibunya. Yang dulu selalu menemaninya setiap malam ketika Ayahnya sedang melaut. Menemaninya dengan dongeng-dongeng yang mengantarkan ke alam mimpi. 

Ibunya sudah pergi, dan tak akan kembali. Tuhan mengambilnya ketika proses persalinan melahirkan adiknya. Kini ia menggantikan posisi ibunya, menemani adiknya, dengan dongeng yang pernah diceritakan ibunya. Untuk meringkas malam, menunggu sampai Ayahnya pulang membawa ikan hasil tangkapan. 

Ini malam ketiga, semenjak ia melihat Ayahnya mendorong perahu dari bibir pantai, menuju ke tengah samudera. Tak seperti biasanya, sampai hampir empat hari, Ayahnya tidak pulang. Biasanya Ayahnya berangkat melaut ketika senja, dan pulang ketika angin laut mengantarkan perahunya ke darat bersama senyum cahaya pagi. 

Mereka tinggal di sebuah gubuk, yang tak jauh dari pantai. Tampak malam ini rumahnya gelap gulita. Yang biasanya lampu minyak di depan rumahnya menyala, menerangi halaman rumahnya, sama sekali tak terlihat ada nyala api yang menari. Benar-benar gelap gulita. 

Kalaupun ada sedikit cahaya, itu dari pantulan bulan purnama yang mengintip dari sela-sela daun kelapa. Ia duduk di depan pintu rumahnya. Berharap menunggu Ayahnya datang dan memeluknya. Sekalipun itu tidak mungkin, karena malam hari tak ada angin laut menuju daratan yang berhembus mengantarkan layar perahu Ayahnya menuju pulang.

Sementara adiknya sedang terlelap, tak ada pilihan selain terlelap. Kegelapan membuat alam pikiran terasa lebih menyenangkan daripada mata terbuka. Ketika lampu minyak sudah tak ada, yang terlihat hanya gelap, menunggu mentari esok pagi. Sudah tiga hari ini ia tak pergi ke sekolah. Sebab tak mungkin ia meninggalkan adiknya sendiri di rumah tanpa Ayah. Pun PR dari sekolah tak bisa ia kerjakan ketika malam tiba, karena ketika sudah malam, dalam rumahnya sama sekali tak ada cahaya. 

Hanya ditemani bintang-bintang dan rembulan yang sedang mengintip nyiur yang sedang menari diterpa angin malam. Adiknya terbangun, merintih karena lapar. 

“Kak, aku lapar.” secara tiba-tiba adiknya bersuara dari belakang tempatnya duduk. Ia tergugah dari lamunan. Melihat adiknya yang lesu. Dengan perlahan ia menuju dapur, sesekali menabrak kursi. Benar-benar tak ada cahaya, gelap gulita. Sesampainya di meja dapur, ia meraba-raba meja, mencari korek api yang tersisa. Kemudian menyalakan kayu di pawon. Api menyala, ia bisa melihat kaleng bekas jajanan, disitulah ia menaruh beras. 

Dalam hati ia berdoa, semoga masih ada beras yang tersisa di sana. Adiknya bersuara “Kak, apakah kita masih punya beras?” Ia pun bergegas menuju kaleng itu. Ia memasukkan satu tangan. Syukurlah ada yang bisa digenggam. Ia lega, masih bisa makan malam ini. Pun ia ambil air untuk mencuci beras, lalu mulai memasak nasi di atas tungku yang sudah menyala dari bahan bakar kayu. 

Cukuplah sedikit nasi untuk mengganjal perut mereka berdua, setidaknya bisa bertahan sampai pagi. Ia yakin, esok pagi Ayahnya akan pulang membawa banyak ikan hasil tangkapan. Ia bawa wadah nasi itu ke depan rumah. Berdua bersama adiknya menikmati hidangan di bawah sinar purnama. 

Walau hanya hidangan berupa nasi, terasa nikmat sekali ketika lapar menghampiri. Sebaliknya, sekalipun ada hidangan berbagai lauk dan buah-buahan di meja panjang, tak akan manusia menemukan kenikmatan makanan di saat perutnya sedang kenyang. Nikmati apa yang ada, jangan pikirkan apa yang tidak ada. Itu kalimat yang diucapkan ibunya ketika masih ada. Sebuah kalimat sederhana yang begitu dalam maknanya. Yang selalu mengingatkannya untuk selalu bersyukur. 

Untunglah, malam ini ia tak mengalami kisah seperti yang diceritakan ibunya. Kisah tentang seorang ibu yang memasak batu untuk menenangkan hati anaknya yang menangis karena kelaparan. Kalau dipikir-pikir memang lucu kisah itu, mengapa harus memasak batu. Kenapa tidak memasak air saja, lalu diminum, untuk mengganjal perutnya agar penuh air. Sebab manusia tak akan mati cepat hanya karena tidak makan, tapi bisa mati karena dehidrasi tak minum air. 

“Ayo dik, makanlah. Setelah kau kenyang, lanjutkan tidurmu, agar segera pagi. Semoga pagi nanti Ayah sudah pulang.” Ujar ia sambil mengarahkan sesendok nasi ke mulut adiknya. 

“Kak, kenapa Ayah lama sekali pergi. Biasanya tidak selama ini.” Tanya adiknya cemas. 

“Kita doakan saja, Ayah tidak kenapa-kenapa. Yuk kamu makan saja.” Berusaha menenangkan hati adiknya, meskipun dalam hatinya pun ia sangat khawatir tentang bagaimana nasib Ayahnya. 

Rembulan masih setia menemani dedaunan nyiur yang menari. Debur ombak seperti lagu-lagu pesta malam perayaan pernikahan. Memang ketika hening sepi, kita bisa mendengarkan riuhnya suara alam. Bintang-bintang berkelip, sesekali ada yang jatuh, entah kemana. Dalam kegelapan, kita bisa melihat cahaya bintang dengan sangat jelas. Itu sebuah kemewahan yang tak mungkin didapatkan oleh penduduk perkotaan. Betapa kecilnya manusia dihadapkan pada hamparan jutaan bintang. Apakah di sana juga ada kehidupan? Sebuah pertanyaan yang selalu hinggap di kepalanya, tak heran jika ia betah di perpustakaan untuk membaca buku-buku astronomi. 

Ia kangen ke perpustakaan, beberapa hari tidak sekolah membuatnya sangat haus pengetahuan. Ketika berada di perpustakaan, ia bagaikan seekor ikan yang terdampar di daratan dan ada yang melemparkannya kembali ke lautan.

Bagaimana jika Ayahnya tak akan kembali lagi? Kekhawatiran itu juga begitu menghantui pikirannya. Meskipun ia yakin Ayahnya sedang baik-baik saja dan akan pulang di pagi hari. Sebab ia tak mendapatkan firasat apa-apa. Biasanya anak yang ditinggal mati oleh orang tua kesayangannya, akan mendapatkan firasat. Quantum entanglement, begitu istilah yang pernah ia baca dari buku di perpustakaan yang membahas tentang keterkaitan ikatan batin yang menembus ruang dan waktu. 

Walaupun begitu, ia sudah memikirkan kemungkinan terburuk. Seandainya Ayahnya memang tak akan pernah kembali lagi. Tentu ia akan mengubur dalam dalam cita-citanya untuk lanjut sekolah, menjadi sarjana, dan bisa sukses keliling dunia. Ia akan habiskan waktunya untuk merawat adiknya, ia akan bekerja keras agar adiknya terus bisa bersekolah dan bisa meraih apa yang dicita-citakan. 

“Memang orang miskin itu tak banyak pilihan, tak banyak kesempatan. Seringkali dihadapkan pada pahitnya kenyataan. Minimnya peluang untuk bisa sukses dan mengubah nasibnya. Tanpa ilmu, manusia tak akan berdaya. Gelapnya malam bukanlah penderitaan, kebodohan lah yang membuat gelap kehidupan. Bisa mendapatkan kesempatan untuk bisa mengenyam pendidikan dan ada yang menolong biaya kesehatan, itu saja sangat membantu wong cilik seperti kami.” Pikirnya dalam hati. 

Setelah kenyang, adiknya pun tertidur dengan kepala tertelungkup di dekat lututnya. Ia hendak mengangkat adiknya masuk dalam rumah, agar angin malam tak membuatnya masuk angin. Setelah meletakkan adiknya di tempat tidurnya, ia duduk. Rasa kantuk tak bisa membuatnya terlelap. Pikirannya bercampur aduk antara kekhawatiran dan harapan. “Jika esok pagi Ayah tak kembali, artinya semua harapannya sudah berganti. Tak mungkin seseorang bisa bertahan lebih dari empat hari, tanpa bekal memadai, terombang ambil dengan perahu kecil di tengah deru lautan.” Pikirannya semakin tak karuan. 

Kira-kira hampir menjelang subuh, ada suara truk mendekat ke arah gubuknya. Sorot lampunya menyilaukan, tampak dari sela-sela lubang sekat bambu gubuknya, sekelejap sorot lampunya menggugah lamunannya. “Siapa mereka, kenapa kemari, mencari apa kesini.” Pikirnya dalam hati. 

Terdengar suara beberapa orang yang ngobrol di luar. “Gubuk ini yang harus dibongkar. Kalau ada barang yang berharga, langsung dibawa, masukkan dalam truk, masih ada tempat untuk menaruh barang di dekat mesin motor perahu yang tadi baru dibeli. Pokoknya semua harus dibersihkan hari ini. Kita mulai kerjakan pembongkaran nanti kalau sudah terbit matahari.”

Mendengar kalimat itu, ia terkejut campur marah. Satu-satunya tempat tinggalnya, akan diratakan dengan tanah. Dengan penuh amarah ia buka pintu yang terbuat dari sulaman bambu itu. “Stopppp, jangan bongkar rumah kami!”

“Ternyata belum tidur to? Sini salim sama pak Darmawan, bos barunya Ayah. Kita akan pindah rumah, Ayah dikasih rumah yang layak untuk kita tinggali, dan juga dibelikan motor perahu agar tak perlu lagi menunggu angin laut untuk bisa pulang cepat setelah cukup mendapat tangkapan ikan.” Ujar Ayahnya menenangkan emosi anak lakinya. (*)



Cerita ini ditulis dalam rangka memperingati 13 Januari, hari HAM Nelayan dan Masyarakat Sipil. Peringatan ini merupakan bentuk dukungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) bagi para nelayan dan masyarakat sipil. 


Fileski, 6-7 Januari 2024. 


Posting Komentar

4 Komentar

  1. Keren kali cerpen nya sangat menginspirasi
    No wa:5839

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah.
    Aku sudah berpikir yang tidak-tidak, tapi ternyata ....

    WA. 0889

    BalasHapus
  3. Kisah ini memberi ingatan buat saya, karna memang saya hidup diantara para Nelayan dikalibaru cilincing Jakarta Utara, kehidupan keluarga Nelayan Kadang ada yang memprihatinkan dibawah garis kemiskinan.

    BalasHapus
  4. Mengadalkan tangkapan ikan yang belum tentu dapat sementara biaya BBM kapal Nelayan cukup mahal. 1173

    BalasHapus

Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024