005

header ads

Nasi Goreng dan Ihwal Moralitas





Judul : Cinta dan Pala

Penulis : Akhmad Idris

Penerbit : Langgam Pustaka

Terbit : 2023

Tebal : 146 Halaman

ISBN : 978-623-8010-65-3


Apa yang lebih miskin dalam tatanan masyarakat selain keadaan kesulitan finansial, angka pengangguran yang tinggi, dan akses pendidikan yang terbatas? Mudah membayangkan bahwa kemiskinan sebagai kondisi sebuah keluarga yang mengalami ketiga permasalahan tersebut. Kita bisa melihat itu di sekitar kita. Barangkali tetangga kita memiliki masalah serupa, sehingga dengan diam-diam, kita menganggap sebagai keluarga yang miskin. Tapi, apa kata miskin terbatas hanya berkisar pada persoalan hal-ihwal material tersebut? Apakah ada hal lain yang lebih menakutkan dari kemiskinan semacam itu?


Menarik bahwa jawaban dari ketiga pertanyaan itu bisa kita temukan dalam sebuah karya sastra. Akhmad Idris, dalam salah satu cerita di buku terbarunya, Cinta dan Pala (Langgam Pustaka, 2023), menyisipkan kisah yang membahas terma kemiskinan yang mengandung perbedaan makna lain, yaitu kemiskinan moral. Cerpen bertajuk “Di Sebuah Negeri Merdeka” bermuatan sosial yang secara tersirat menunjukkan ironitas di sebuah negara yang menahun telah merdeka. Kata merdeka, yang bisa kita pahami sebagai wujud pembebasan, perbaikan, dan kemajuan; ditampilkan dengan ironi yang masih terejawantahkan di realitas sekitar. 


Cerpen itu secara struktur cerita tak menampilkan dengan balutan teknik yang muluk. Pembagian fragmen masih berada dalam jalur yang linear, kendati dua paragraf cerita bisa berfungsi sebagai pembabaran masalah sekaligus ironi itu sendiri. Kita cerap paragraf kedua Akhmad setelah ia menampilkan tiga karakter utama yang duduk melingkar di tikar penjual nasi goreng: “Di depan mereka tersaji sepiring nasi goreng yang dilahap dengan nikmat oleh si gadis kecil. Dua orang yang tersisa hanya tersenyum memandang kelahapan si gadis kecil, meski perut mereka merintih. Mereka hidup di sebuah negeri yang mengaku telah lama merdeka.”


Di perjumpaan awal, pembaca sangat mungkin memiliki asumsi persoalan utama cerpen terkait kemiskinan di negara kita. Akhmad menyisipkannya lewat tiga kalimat yang maknanya tak utuh membicarakan hal tersebut, tapi mudah terbaca merujuk ke arah masalah soal kemiskinan dan ironi di sebuah negara yang merdeka itu. Dugaan itu tak salah, sebab kisah keluarga Siti dan Joko yang memiliki satu anak perempuan dan satu mertua dari pihak Joko, dalam taraf tertentu, menyentuh persoalan tersebut. Adapun secara garis besar, cerpen ini membawa premis soal dua dikotomi moral baik dan buruk; baik, diwakilkan oleh Joko yang memiliki sifat tak tegaan sehingga gas-gas saja meminjami uang ke teman-temannya; dan buruk, yang diwakilkan oleh perilaku tak tahu diri sejumlah teman Joko yang memanfaatkan pinjaman itu untuk berjudi dan berbohong kepada Joko terkait pelunasan. 


Dua hal ini yang menjadi muatan cerita. Sifat Joko itu menjadi masalah bagi keluarga Siti yang terhitung cukup berkecukupan, saat hampir 90% gajinya dipinjamkan dan mereka hanya bisa mengirit uang. Sementara, anak mereka, Ayu yang gemar makan nasi goreng tengah membutuhkan biaya sekolah. Dari situ, Joko mau tak mau mesti menagih hutang tersebut. Tapi, apa yang terjadi setelahnya? Sebagaimana perwakilan sifat buruk tadi, teman Joko mangkir, ia tak bisa mengembalikan uang itu yang kelak dicap penipu dan, hal itu memancing tragedi: teman Joko kalap dan membunuh pria itu. 


Peristiwa nahas itu lantas menjadi pijakan situasi miskin yang menimpa keluarga Siti, sepeninggal Joko. Toh, keluarga itu harus tetap bisa hidup, sekalipun kepala keluarga mereka telah tiada. Dari situ, mereka perlu memikirkan jalan keluar selain menutupnya dengan menjual harta benda atau menguras tabungan. Dan jalan keluar itu muncul justru dari mertua Siti yang menyarankan membuat warung makan, sebab menurutnya, masakan opor ayam Siti luar biasa lezatnya. Kendati sempat ragu, Siti, yang toh tak punya banyak jalan keluar, menuruti saran tersebut. Ia membangun usaha itu kecil-kecilan, dan berjalan cukup sukses.


Sampai situ, permasalahan seolah teratasi. Keluarga Siti mulai merangkak dari jurang kemiskinan tersebut. Tapi malang tak bisa ditepis, mereka menemukan masalah lagi. Kali ini, dalam bentuk suntikan bantuan yang dijanjikan oleh kakak Siti sendiri. Romlah, si kakak, berjanji akan membantu membesarkan warung Siti, tapi terlebih dahulu ia menyetorkan sejumlah dana untuk dibelikan bahan material dan membayar para tukang. Romlah pun menghilang, uang pun tak kembali, dan bantuan yang ditawarkan hanya omong-kosong belaka. 


Melihat itu semua, pembaca mulai bisa meraba maksud Akhmad yang disisipkan dalam cerpen ini. Kemiskinan memang mengkhawatirkan. Tapi, ia seolah ingin menggarisbawahi, bahwa ternyata ada kemiskinan jenis lain yang tampak lebih mengkhawatirkan, sebab letaknya lebih miskin, lebih berkerak, lebih memiliki nilai destruktif yang besar. Kemiskinan moral itu hal yang nyata, begini bunyi pesan cerpen ini kalau ia bisa berbicara secara langsung. Ironisnya, kemiskinan semacam ini masih kerap kita dapati di sebuah negara yang sudah menahun mengenyam kemerdekan, yang konon bangsanya mulai terdidik dengan baik. Dari kedua karakter itu, teman Joko dan Romlah—kakak Siti, kemiskinan moral memanifestasikan dirinya dalam wujud sifat penipu dan tak tahu diri. Mereka tak menganggap penting hubungan pertemanan dan kekerabatan. Kemiskinan moral semacam ini, bisa menjadi sedemikian menakutkan, sebab ia bisa mengarahkan sejumlah orang dalam tindakan kriminal, pembunuhan, pencurian, pemutusan hubungan, dan keretakan kekeluargaan.    


Lalu, apakah tak ada rekonsiliasi yang ditawarkan cerpen ini? Akhmad, secara sadar, tampaknya memberikan harapan di akhir kisah. Bahwa lewat fragmen pedagang nasi goreng yang memberikan dua porsi lebih kepada Siti, Ayu, dan mertuanya—tadinya hanya buat Ayu, ia seolah mengatakan, masih ada segelintir orang yang dengan segala keterbatasan dan kesederhanaan, menampilkan moralitas yang baik. Sekuens habislah gelap terbitlah terang—meminjam judul buku R.A Kartini, tampaknya dipakai dalam alur kisah ini. Demikianlah. 



Tentang Penulis


Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Akun media sosial : IG; @karaage_wahid

Nomor Telepon/ WA : 089631168911


Posting Komentar

0 Komentar