005

header ads

Manusia Sebagai Animal Rationale: Pemimpin Atau Penguasa Alam


Martinus Oeleu



Abstraksi

Kajian tulisan ini bertujuan menemukan fungsi dan peran manusia sebagai makhluk berakal budi dalam realitas masa kini. Manusia diperhadapkan kepada reaktualisasi diri dalam konteks masa kini yang kompleks. Penulis hendak menyuarakan lagi prinsip manusia sebagai animal rationale yakni yang berakal budi dan berkesadaran. Manusia sebagai organisme mau dan mampu mentransformasi kondisi alam dan melestarikannya sebagaimana mestinya. Cara yang digunakan dalam penelitian  adalah prinsip kualitatif dengan pendekatan telaah literatur. Pendekatan menekankan  penelusuran  kajian  teoritis  dan  nilai  yang berkembang  berdasarkan  kajian ilmiah.  Penulis  memberi  kesimpulan  bahwa,  manusia sebagai makhluk yang berakal budi  harus  membangun relasi yang intim dengan alam ciptaan yang lain sebagaimana mestinya agar ada hubungan timbal balik. Karena tidak bisa di pungkiri bahwa alamlah yang menyediakan segala sesuatu bagi keberlangsungan hidup manusia.


Pendahuluan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manusia disebutkan sebagai alam kecil yang merupakan bagian dari alam besar yang ada di atas alam. Ia adalah makhluk yang bernyawa, makhluk antromorphen dan merupakan binatang yang menyusui, akan tetapi juga merupakan makhluk yang dapat mengetahui dan menguasai kekuatan-kekuatan alam di luar dan di dalam dirinya, baik lahir maupun batin.  Sedangkan alam semesta merupakan isi dari keseluruhan alam. Hubungan antara manusia dengan alam sangat ditentukan oleh kemampuan manusia dan alam sendiri. Keduanya memerlukan hubungan timbal Balik secara berkelanjutan. Melalui pengelolaan lingkungan hidup secara bijaksana selain dapat menyelamatkan dan melestarikan lingkungan hidup, juga dapat menjamin kebutuhan dan kemakmuran umat manusia itu sendiri. Oleh karenanya. disadari atau tidak, keseimbangan dalam lingkungan kehidupan manusia dan lingkungan alam dapat terganggu karena ulah manusia itu sendiri. Manusia menganggap dirinya sebagai pusat alam semesta ini (anthroposentrisme).Maka segala orientasi ciptaan dianggap hanya untuk manusia dengan mengabaikan aspek kelestarian alam itu sendiri. Prinsip kreasionisme mengajarkan bahwa kosmos tidak tidak berkembang sendiri atau berevolusi dengan dayanya yang natural, tetapi membutuhkan pengaruh ekstrinsik (yang transenden) yaitu penciptaan dari yang tiada. Hal ini  menunjukan bahwa semua yang ada adalah makhluk ciptaan yang sama-sama saling membutuhkan tetapi manusia lupa bahwa dirinya bisa berada karena bergantung pada alam semesta. Manusia mungkin juga lupa bahwa Allah pencipta alam semesta menyediakan ciptaan lain yang telah dipandangNya baik bagi manusia guna kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, penulis melalui tulisan ini, hendak memaparkan konsep relasi manusia dan alam yang sejatinya terus membangun kesadaran manusia dalam tanggungjawab untuk menjaga dan mengelola alam yakni bagaimana manusia modern memahami dan memperlakukan alam secara tepat.


Metode 

Penulisan ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif pendekatan penelahaan literatur. Telaah literatur menggunakan cara pengoleksian data terhadap buku, catatan, dan laporan mengenai persoalan yang ingin diselesaikan. Analisis data, seperti ragam perihal sama dan pembuat perbedaan. Studi kepustakaan berusaha menelusuri penyelidikan teori, sumber pustaka, dan penelitian terdahulu yang saling mengkait dengan situasi manusia dan alam masa kini. 


Pembahasan

Manusia sebagai animal rationale

Manusia dalam keutuhan dirinya merupakan makhluk yang sangat kompleks. Manusia adalah animal rationale sekaligus sebagai homo socius. Sebagai animal rationale, manusia berbeda dari pada makhluk ciptaan lainnya atau makhluk infrahuman karena hanya manusialah yang memiliki akal budi. Sebagai makhluk rasional, manusia senantisa berpikir, berefleksi dan menyadari eksistensi dirinya di tengah keberadaannya bersama yang lain. Atau dengan kata lain, manusia mempunyai kemampuan mencerna pengelaman, merenung, merefleksi, menalar, dan meneliti dalam upaya memahami lingkungannya.

Aristoteles (384-322 SM), seorang filosof besar Yunani mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal sehat (animal rationale), yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal-pikirannya. Untuk mendapatkan pengetahuan dan melakukan suatu tindakan, ada suatu proses yang dilalui manusia. Manusia memperoleh informasi dari dunia luar melalui panca indera sampai akhirnya diterima oleh akal budi. Kemudian, setelah informasi tersebut diterima oleh akal budi, maka kehendak (will) mulai bereaksi dengan usaha untuk menginginkan objek tersebut. 

Secara kodrat manusia memang tumbuh sebagai makhluk yang berakal budi, akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari dapat terjadi bahwa hasrat terkadang bisa menguasai diri manusia dan mengalahkan dominasi akal budi dan kehendak. Hal itu terjadi karena hubungan akal budi dan kehendak dengan hasrat tidak bersifat despotic melainkan bersifat political. Maksudnya, hasrat itu tidak menuruti akal budi dan kehendak secara otomatis. Supaya akal budi dan kehendak bisa mengendalikan hasrat, harus ada training hasrat untuk menaati perintah-perintah dari akal budi dan kehendak.

Manusia perlu menyadari bahwa seluruh tindakan dan sikapnya harus berdasarkan kontrol dari akal budi. Ini adalah bentuk kedewasaan seseorang dan sekaligus juga sebagai bentuk tanggung jawab seseorang atas segala tindakan yang dilakukannya. Supaya akal budi dan kehendak bisa mengendalikan hasrat dengan baik, pengandaian yang digunakan dalam hal ini adalah akal budi dan kehendak sudah baik. Artinya adalah akal budi dan kehendak sudah memiliki keutamaan-keutamaan dalam tindakannya. Dengan demikian, hasrat yang dikendalikan oleh akal budi dan kehendak ini bisa membawa manusia pada tujuan akhirnya, yakni kebahagiaan.


Relasi manusia dengan alam

Relasi manusia dan lingkungan adalah hubungan yang timbal balik dan simbiotik mutulisme. Saya sebut sebagai timbal balik dan simbiotik mutualisme karena manusia hidup di alam lingkungan hidup dan alam sebagai lingkungan hidup juga membutuhkan manusia untuk pelestariannya. Jadi, manusia butuh alam untuk kehidupannya dan alam juga membutuhkan manusia untuk pelestariannya.

Dalam perspektif ekologis, hubungan manusia dan alam merupakan suatu keniscayaan. Antara manusia dan alam tetdapat keterhubungan, keterkaitan, dan keterlibatan timbal balik yang sama dan tidak dapat ditawar. Hubungan tercebut bersifat dinamis, artinya terjalin secara sadar, dan terhayati, sebagai dasar kepribadian manusia itu sendiri. 

Manusia sebagai makhluk yang berakal budi tentu harus sampai pada kesadaran bahwa segala tindakannya akan menjadi tolak ukur dari kualitas moral hidupnya. Selain sebagai bentuk hubungan moral antara manusia dengan Iingkungan atau alam semesta serta tingkah laku manusia terhadap lingkungan, juga menegaskan sebagai bentuk kritik terhadap bentuk moralitas dan etik yang selama ini hanya menjadi dominasi manusia. Dengan demikian penerapan nilai moral tidak lagi hanya kepada manusia tetapi juga kepada bumi dan dengan seluruh isinya sebagai satu kesatuan kehidupan.

Jika manusia bertindak sebagai penguasa atas alam, maka manusia akan menempatkan alam sebagai objek dan menganggap bahwa alam hanya sebagai alat pemuas. Manusia memanipulasi dan memperkosa alam sesuka hatinya. Alam dianggap tidak memiliki nilai yang setara dengan manusia karena manusia beranggapan bahwa nilai dan prinsip moral hanya berlaku untuk manusia dan kebutuhannya, dan kepentingan manusia dinilai lebih tinggi dari pada entitas non-manusia. pada tataran ini, alam menjadi sesuatu yang tak bernilai dan pada saat yang sama, kekosongan terjadi karena hilangnya kesadaran manusia akan eksistensinya sehingga manusia tampil makin kejam dan menyakitkan terhadap alam

Tetapi jika manusia bertindak sebagai pemimpin, berarti manusia akan bersikap serupa hamba. Pada konsep ini, jika manusia sebagai pemimpin, maka secara implisit ia sama dengan alam lainnya. Bukan manusia yang menguasai alam akan tetapi yang hidup bersama-sama dengan alam dan memanfaatkannya secara memadai dengan mempertimbangkan kelestariannya. Manusia sebagai animal rationale tentu akan menyadari ketika upaya memenuhi kebutuhan hidup manusia mulai ada hambatan, ketika disadari ternyata produksi dari alam ada yang tidak dapat diperbarui dan adanya tanda-tanda menghilang dan akan menghilangnya beberapa mahluk lain dari muka bumi. Kemudian timbul keinginan memberlakukan manusia adalah setara dengan makhluk lain sebagai sesama penghuni bumi. Dengan demikian kelestarian alam dan isinya akan turut melestarikan manusia. jika manusia sampe pada titik ini, manusia telah memandang dirinya sebagai bagian dari alam. Upaya memperbaiki kondisi lingkungan pun makin berkembang, akan tetapi upaya tersebut jika ditilik lebih jauh dan dalam adalah untuk mempertahankan kehidupan manusia dengan didukung oleh kehidupan lainnya dalam bentuk sumber daya alam dan sistem ekologi yang telah diperbaharui karena pernah dirusak akibat kehidupan manusia itu sendiri. Dengan demikian, terlihat pengaruh manusia sebagai makhluk berakal budi dalam mengelolah lingkungan menjadi lebih baik atau lebih buruk sangatlah besar.


Kesimpulan

Manusia hidup karena adanya alam, sementara itu alam semesta akan terus hidup dan berkembang manakala manusia mau melestarikan alam semesta dan bukan merusaknya. Dengan demikian manusia dan alam semesta tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena dalam kehidupannya tidak mungkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan, setiap hari manusia melihat dan menggunakan alam semesta, bahkan kadang kala disadari atau tidak manusia merusak alam semesta. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk yang berakal budi harus menyadari pentingnya alam bagi kelangsungan hidupnya dengan menjaga kesetimbangan kehidupan seluruh mahluk hidup di bumi ini.


Posting Komentar

0 Komentar