005

header ads

Cerpen: Ian Hasan | Arata

Cerpen: Ian Hasan | Arata


"Rencanakan kematianmu sejak sekarang, agar tahu rasanya betapa sia-sia menasehati orang putus asa," desahku sembari memutar punggung membelakangi Arata. Fajar mulai meremang, sedangkan aku masih terbenam dalam kecemasan atas keputusannya.

***

Kami telah saling mengenal sejak lima tahun silam, berawal dari pertemuan tak sengaja ketika sama-sama menghadiri peringatan 65 tahun bom atom di Taman Perdamaian Hiroshima. Kala itu aku datang sebagai warga Indonesia yang merasa turut bersimpati atas tragedi dunia tersebut. Arata datang sesaat setelah lonceng kota berdentang, menandai saat mengheningkan cipta dimulai. Lelaki muda berpakaian kasual itu mengambil tempat kosong di sebelahku. Sepintas kulihat wajahnya, cukup menarik dan sepertinya dia orang baik-baik. Kami lantas bertukar senyum ketika upacara peringatan usai, sampai kuketahui bahwa dia seorang keturunan hibakusha. Perbincangan kami semakin akrab dan rasanya tak salah jika aku menganggapnya sebagai tuan rumah yang baik, di negeri yang belum lama kutinggali ini.

Kami bertemu untuk kali kedua di Ginzan Onsen, salah satu kawasan pemandian air panas di Yamagata, pada permulaan turunnya salju di bulan November. Pada satu senja di musim itu, pertama kalinya kusaksikan pendaran cahaya jingga keemasan dari lampu gas di sepanjang jalan terlihat begitu menawan. Aku ingat, kala itu Arata bersama keluarganya terlihat ceria menikmati liburan awal musim dingin. Istrinya begitu anggun mengenakan kimono merah muda berpadu dengan tas kecil berwarna senada, di saat yang sama ketika kusaksikan dari bola matanya, terlihat kurang suka mengetahui keberadaanku. Perempuan itu terkesan ketus memperkenalkan dirinya sebagai salah satu pegawai paling rajin di kantor pemerintah Prefektur Yamagata. Aku yang merasa sebagai warga pendatang tak mau ambil risiko, berusaha tetap sopan dengan banyak meminta maaf atas kelancangan sikap dan tak habis-habis memuji penampilan perempuan itu. Termasuk kelucuan dua putrinya yang tak kalah cantik, dengan poni yang selalu bergerak-gerak ke kiri-kanan sebab tertiup angin, membuat pita kepala berhias bunga sakura di atasnya terlihat anggun sempurna. Sungguh apa yang kusaksikan dari kedua bocah itu, membuatku ingin sekali mendapatkan suami orang Jepang.

Setelah perkenalan singkat dengan keluarganya, Arata mengajakku berdiri di sebuah jembatan kecil di atas aliran sungai Ginzan yang membelah kota. Ketika itu kulihat istrinya sedang sibuk menemani malaikat-malaikat kecilnya bermain salju. Ryokan dengan gaya arsitektur tradisional berjajar di kedua sisi sungai itu, mengapit pandangan kami ke Pegunungan Zao yang dilapisi salju, menghadirkan dua hal sekaligus: nostalgia dan romantisme. Rasa dingin yang meruap membuat reflek tanganku sesekali bersedekap merapatkan baju.

“Baru kali ini?” Tubuhnya sedikit berpaling menghadap padaku, membuatku tak bisa melupakan sorot mata yang memancar waktu itu.

“Iya betul, dan suasana ini membuatku merasa seumuran dengan anak-anakmu,” balasku sembari tersenyum, seraya menurunkan tangan kembali berpegangan di pagar jembatan dan pandangan tak bergeser dari pegunungan salju. Ada desir yang tiba-tiba menyergap tetapi harus ku pendam dalam-dalam.

Bagaimanapun, kesempatan berbincang dengannya di atas jembatan kayu saat itu menjadi salah satu alasanku tinggal menetap di Yamagata. Setelah mendengarkan sekian banyak cerita perihal aktivitas dan kecintaannya menjalani pekerjaan, termasuk perjuangannya sekolah hingga lulus kuliah sebagai arsitek, sekilas aku menangkap kesan Arata sebagai lelaki yang tangguh. Belum lagi mengingat latar belakang dia sebagai keturunan hibakusha yang sering mendapat diskriminasi dari pemerintah ataupun warga Jepang pada umumnya. Saat itu aku sangat terkesan dengan Arata karena bisa kupastikan ia bukan termasuk jenis lelaki yang tak gampang berputus asa.

***

Lampu-lampu kota di jalan utama Yamagata City masih menyala ketika tamu terakhir membungkukkan punggungnya sebagaimana yang lain. Terlihat kerlip pelita menyebar di lereng Pegunungan Zao berpadu dengan arsitektur kota yang khas tersorot lampu warna kuning, nyaris membuatku tak pernah berpikir tentang kerinduan terhadap Indonesia. Aku merasa nyaman, hidup bersama kentalnya tradisi dan kemajuan kota di Yamagata. Kota yang kerap mengingatkanku perihal bagaimana kekayaaan alam dan budaya bersanding serasi dengan laju peradaban modern yang mengesankan.

Semenjak tinggal di Negeri Sakura, belum pernah kurasakan kebahagiaan seperti halnya malam ini. Satu persatu kolega dan sahabat menyalamiku, memberi ucapan selamat atas dibukanya kantor perwakilan baru lembaga kami. Mereka yang datang malam ini terdiri dari orang-orang yang selama ini serius membantu. Tidak hanya relawan, tetapi juga utusan beberapa instansi yang menjadi mitra kerja lembaga dalam menangani kasus-kasus terkait pekerja migran.

Kulihat Arata masih berada di tempatnya, duduk termenung di meja paling sudut, dekat pintu menuju ke ruang kerjaku. Bukan tanpa alasan aku memercayakan desain interior kantor ini kepadanya, karena aku pikir hanya teman-teman dekat seperti dialah yang bisa lebih tepat memahami bagaimana memadukan hal-hal yang sudah seharusnya ada, dengan banyak pertimbangan lain, salah satunya selera. Sorot lampu kendaraan lalu-lalang menembus tirai jendela, menandakan masih banyak waktu kami berbincang. Kulangkahkan kaki mendekatinya setelah kusampaikan beberapa arahan kepada stafku untuk segera membereskan tempat ini.

Hontou ni arigatou, imbalan dari kami mungkin tak sebanding dengan kerja anda.” Kusapa dia dengan pilihan bahasa yang sopan, mengingat malam ini perayaan resmi kantor, bukan semacam pesta malam pergantian tahun atau peringatan hari kelahiran.

Malam telah larut dan kulihat di depanku terpasang raut wajah tegang, rambut dan pakaian yang sama kusut, masih ditambah sorot mata kelelahan. Sebagai teman yang mengenal dengan baik kebiasaannya, aku menduga kedaan itu bukan disebabkan tekanan pekerjaan semata.

“Kalian bertengkar lagi?” tanyaku sedikit cemas, sembari menuangkan sake ke dalam cangkir kosong di depannya.

Arata menggelengkan kepala sembari menerima cangkirnya dengan kedua tangan gemetar, lalu ditenggaknya separuh sebelum kemudian ia letakkan kembali cangkir itu ke meja. Sempat kulihat segaris senyum dipaksakan. Aku tahu, setahun terakhir memang dia sedang bermasalah dengan keluarga, tetapi rupanya bukan itu yang saat ini menjadi beban pikirannya.

“Lalu?” tanyaku keheranan sembari menatap wajah yang terlihat menyedihkan.

Setelah satu hisapan napas panjang, dia ceritakan persoalan pelik yang saat itu sedang menimpanya. Dia mengaku sedang mengalami depresi berat setelah rancangan landmark kota yang dibuatnya harus menghancurkan salah satu bangunan bersejarah dan menggusur ratusan keluarga yang lebih dulu tinggal di sana. Dia menambahkan penjelasannya seputar campur tangan pemerintah terhadap rancangannya. Ada hal yang tak ia ketahui, lewat kebijakan yang belum lama dibuat, pemerintah bermaksud memindahkan lokasi pembangunan yang menurutnya tergesa-gesa.

Arata betul-betul kecewa, karena berpikir telah menumpahkan sekian banyak pertimbangan yang ia peroleh dari lokasi sebelumnya ke dalam desain, termasuk juga perihal regulasi dan kode etik yang selalu menjadi pedoman dalam berkarya. Selain butuh pertimbangan yang berbeda, lokasi baru yang ditetapkan pemerintah ternyata menyimpan persoalan sendiri, bertentangan dengan disiplin ilmu yang telah ia pelajari. Dia katakan itulah saat-saat yang paling ditakutkannya selama menjadi arsitek profesional sejauh ini.

“Kamu jangan menyerah, Arata.” Kucoba menenangkan.

“Bukan, itu keputusanku,” balasnya tegas.

“Maksudmu?” sanggahku.

“Ya, setidaknya tak ada alasan lagi buatku melanjutkan,” lepasnya.

Baru kali ini kusaksikan kemuraman Arata begitu dalam, membuatnya seolah terdesak pada situasi yang betul-betul sulit. Beberapa saran telah aku sodorkan, tetapi ia tetap bersikukuh menarik kesepakatan kontrak yang telah ditandatanganinya. Meskipun ia sadar keputusan itu bakal mendatangkan risiko besar, menanggung denda yang bisa saja menyita seluruh aset yang dimilikinya, bahkan kehilangan profesi yang membesarkan namanya.

“Itulah yang kupikirkan sekarang.” Perlahan tangannya menggenggam jemariku di meja, seolah mencari ketenangan.

“Bagaimana pekerjaanmu?” tambahnya, berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

Kutarik napas panjang sembari mengalihkan pandangan ke lampu gantung klasik di tengah ruangan yang bergoyang-goyang diterpa angin. Gerak cahayanya menimpa boneka Kokeshi di meja kami, membawakan rasa trenyuh yang seketika menggelayuti kesadaranku berikutnya.

Aku katakan pada Arata, bukan hal yang mudah untuk bisa dipercaya oleh lembaga internasional mendirikan perwakilan di negeri ini. Telah banyak kasus berat kutangani dalam beberapa tahun terakhir, hingga belakangan marak terjadi sindikat mafia antar negara terkait perdagangan ginjal yang melibatkan pekerja migran selaku korban. Rata-rata korban berdalih bahwa satu ginjal saja cukup bagi mereka sehingga menjual salah satunya. Mereka pikir hidup selanjutnya akan lebih mudah setelah mendapat sejumlah besar uang pengganti ginjalnya.

“Oh, ya?” Arata terlihat memicingkan mata sambil mengubah posisi duduknya, seolah mendapatkan topik baru yang menyegarkan.

Tak terasa jalanan di depan kantor berangsur lengang, beberapa lampu dimatikan menandai waktu telah lewat tengah malam. Di ujung perbincangan, kami lanjutkan setumpuk keresahan malam itu dengan melaluinya bersama di kamar apartemenku, di lantai lain bangunan ini. Kami lekas bergumul dengan desah dan peluh, sebelum ia katakan satu keputusan yang justru membuat sepanjang malam sisanya menjadi keruh.

***

Kucoba menghubungi nomor ponsel Arata, namun berkali-kali terdengar nada sambung tidak aktif. Justru setelahnya sebuah pesan masuk dari seorang kolega, mengabarkan kasus baru dalam sindikat perdagangan organ. Semula kuanggap pesan itu seperti hari-hari biasanya, apalagi setelah mengetahui bahwa korbannya bukan warga negara Indonesia. Bersamaan dengan itu, aku lihat sebuah tayangan berita di televisi menyebut ‘Arsitek Balai Kota Mundur dari Kontrak,’ disusul wawancara dengan salah satu pejabat yang menanganinya. Seakan tak percaya, kubaca lebih dekat salah satu nama tertera dalam daftar di ponselku yang masih menyala. Aku tak dapat menghiraukan lagi tayangan berita dan seketika hilang hasratku menyentuh sarapan di meja.  ***


 

Ian Hasan

Lahir di Ponorogo, saat ini tinggal dan bergiat di Sanggar Pamongan Karanganyar, selain juga terlibat di beberapa komunitas, termasuk Komunitas Kamar Kata. Buku Kumpulan Cerpen perdananya berjudul Lelaki yang Mendapatkan Jawaban Atas Kjisahnya Sendiri, terpilih sebagai finalis Hadiah Sastra Ayu Utami untuk Pemula “Rasa” 2022.


 



Posting Komentar

0 Komentar