005

header ads

GARIS TANGAN | Cerpen: Moehammad Abdoe



DI antara beberapa banyak kendaraan yang terparkir di sana, ia lebih terpikat oleh Mercedes-Benz putih di bahu jalan. Mobil dengan harga yang mungkin dapat mencuci tangan pemiliknya selama jangka lima tahun ke depan bila mau dijual.

Laki-laki dengan bentuk mata sedikit juling itu masih terpaku diam. Saranku, jika mengimpikan sesuatu janganlah sekadar mengagumi. Kejar! Dekatilah! Perhatikan dengan saksama lalu-lalang manusia di sekitarmu yang terus berarak memadat mengejar alunan suara dendang pesta perjamuan di akhir kalender. Jangan sampai semua orang nanti malah menyorakimu.

"Kau pasti bisa teman!"

"Sepertinya mustahil," desisnya pelan saat melihat bayangan hitam dirinya di kaca mobil tersebut. Namun, semua itu masih bisa kubaca melalui gerak bibirnya yang biru kehitam-hitaman. Selalu tidak pernah absen menghisap rokok.

"Apa yang dunia ini mustahil? Kunci keberhasilan semuanya ada di tanganmu sendiri. Dengan tekad yang bulat juga tentunya!"

Kerling matanya kulihat bergerak-gerak di kaca hitam itu seperti ingin mengambil keputusan. Celingak-celinguk. Postur tubuhnya sedikit meringkuk. Hampir ia putus asa. Namun, cepat-cepat aku segera menarik kembali tangannya yang mulai ragu-ragu bertindak.

"Berhasil," ucapnya.

Persis seperti apa yang sudah kubilang, bukan? Bunyi alarm tidak akan ada, kecuali hanya kebetulan saja dipasang untuk sekadar menakut-nakutimu alias berjaga-jaga. Jelas itu semua akan tidak berlaku untuk jiwamu saat kau mempunyai tekad dalam mengambil sebuah sikap. Kau adalah orang kesatria sejati.

"Hahaha, aku hebat. Maksudnya kita sama-sama hebat!" bisiknya pada teman.

Ya, meskipun ia tak acuh kepadaku, paling tidak masih kusimpan rasa bangga di balik busung dadanya yang setia akan daku. Kita ini adalah makhluk kerdil yang sama-sama tidak pernah menelan buku sekolah.

"Terima kasih."

"Yes, aku berhasil lagi!" Terukir kembali lesung pipi setelah bilah pantatnya kedua pemuda itu terjatuh di jok mobil.

"Ah, belum! Masih ada satu kunci lagi," ujar temannya di seberang jok mobil.

Kubaca dari binar matanya saat ini, seperti sulutan api pada lorong belalai yang gelap, atau neraka sekalipun yang paling mengerikan. Yang tadinya ia ragu-ragu dan penuh ketidak-percayadirian, kini ia semakin luas membayangkan sesuatu yang jauh lebih besar dan menguntungkan. Ah, suasana hati manusia setiap saat ‘kan memang selalu berubah-ubah. Tidak bisa fokus pada sebuah titik. Itulah salah satu kelemahan manusia di dunia ini yang sering dimanfaatkan oleh orang lain untuk saling menjatuhkan.

"Lakukan sekarang!" perintahku lebih tegas lagi.

Di zaman ini bisa duduk di jok mobil mewah belum bisa dikatakan seseorang telah berhasil. Ingatlah, sebelum asap warga itu membubung, jangan pernah abai dengan matahari di kepalamu. Percayalah padaku, bahwa kau tidak akan bisa dikalahkan oleh pasukan berkemeja coklat dengan topi baret di kepalanya yang kerap menghalalkan segala cara untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah dari merebut setir kemudimu. Kau harus bisa lebih licik dalam permainan dunia ini. Jangan pernah mau mengalah atau merasa iba kepada orang lain.


"Orang tuamu di kampung pasti sangat bangga setelah kini melihat keberhasilanmu di kota besar Jakarta. Ayo cepatlah selangkah lagi!" perintahku lebih tegas dari sebelumnya.

"Bismillah ...."

Suara decit ban terdengar melengking. Sebentar kemudian, Mercedes-Benz putih tersebut sudah melejit jauh dan menghilang di penghujung aspal sana. Seorang perempuan berompi jingga kemudian kulihat berdiri seraya melambaikan tangan di samping jelaga bekas kenangannya.

"Aduh biyuunggg ... mati aku."

***

PADA kesempatan lain, aku juga melihat seorang fotografer sedang bernegosiasi dengan sepasang lelaki dan perempuan berpakaian resmi. Barangkali, kamera fotografer yang dikalungnya itu memiliki momentum penting pada saat kejadian itu. Jika Anda mau berpihak padanya, tamu istimewa seperti mereka harus lebih dulu membayar sesuai dengan kualitas gambar yang dihasilkan, karena setiap gambar atau pemandangan di kameranya adalah sebuah karya.

Sementara aku di sini, pura-puranya hanya seorang tukang dorong mobil saja. Aku baru akan pergi setelah mesin mobil mogok yang aku dorong bisa kembali menyala. Sama seperti ketika aku membantu mobil putih tadi. Pengemudinya tidak lain kebetulan sahabatku sendiri. Tidak mungkin aku pamrih masalah jasa atau honor. Tentu pula upayaku sangat tekun dalam setiap pekerjaan. Sebab kata orang terdahuluku itu akan menjadi puncak keberhasilan yang nyata.

Tidak butuh waktu lama setelah kedua pihak menandatangani surat kesepakatan bersama, semua surat kabar di tanah air ini secara intensif memajang foto-foto sahabatku yang dilengkapi dengan nomor seri mobil barunya.

Meskipun namaku tidak ada di sana, setidaknya masih ada rasa bangga melihat kesuksesannya yang sekarang. Karena ia tidak perlu banting tulang mati-matian untuk menjadi orang besar. Sanak tetangga dan keluarganya di kampung juga sudah cukup takjub melihat foto-fotonya tampil keren di koran-koran. Lebih-lebih mereka juga tidak pernah mengira bahwa orang seperti ia bisa mengendarai mobil pengantin yang begitu mewah. Aku juga sangat yakin, mereka pasti mengira bahwa ia menikah dengan anak seorang menteri di Jakarta. Ya, paling tidak begitulah.

"Harus bagaimana anjing?" umpatmu suatu ketika aku menemuimu kembali.


"Lebih baik aku kembali jalan kaki daripada hidup mewah, tapi selalu dibayangi dosa dan ketakutan sepanjang hari begini!" jawab temanmu seraya membanting sisa puntung rokoknya ke asbak. Mengacak-acak rambutnya yang blonde.

***

LIMA hari setelah kau hidup serba kecukupan, temanmu diberondong dengan senjata api dan kau berhasil melarikan diri ke tempat yang terasa asing bagimu. Kau mengasingkan diri ke hutan larangan yang hampir tidak terjamah oleh siapapun. Di tengah hutan yang begitu luas dan mengerikan. Kau di sana hanya dapat makan buah-buahan atau dari hewan buruanmu seperti ikan, rusa, dan ular yang masih banyak ditemukan di hutan itu.

Akan tetapi, bayang-bayang peluru yang memberondong sahabat terbaikmu tempo hari itu lebih tampak mengerikan lagi di benakmu. Mungkin hutan itu memang tempat teraman untuk menghindari teror di kota Jakarta. Meskipun sebenarnya kau juga tidak pernah tahu bahwa nasib temanmu di balik jeruji besi sudah lebih baik daripada harus mati konyol dengan cara melarikan diri sepertimu.

Dan untuk kesekian-kalinya pula, keluargamu di rumah terkejut saat melihat siaran langsung di saluran televisi favoritmu kala biasa kau menonton film hollywood. Mereka saling menitikkan air mata melihat sekelilingmu di layar televisi itu orang-orang penduduk kampung serentak menyumbat hidungnya saat tubuhmu telah ditemukan membusuk di hulu sungai perairan sawah warga.

Kau sendiri juga tidak pernah mengira betapa pun sangat mustahil mengubah polah garis tangan hidup ini. Dan mungkin benar, kau bisa lari dari berondongan peluru itu, tapi kau tidak bisa lepas dari kematian yang telah ditentukan. Ibarat padi sekarang dirimu sudah menjadi nasi aking. Percuma kau punya niat mengulang waktu yang sama.

Malang, 31 Mei 2020.

Moehammad Abdoe, pelopor komunitas Pemuda Desa Merdeka, lahir di Malang. Karyanya berupa puisi dan cerpen beredar di berbagai media massa lokal dan nasional. Buku puisinya yang terbaru "Sebutir Debu" oleh penerbit buku Guepedia.

No. Telp/Whatsapp: 085730551400
Surat elektronik: moehammadabdoe@gmail.com


Posting Komentar

0 Komentar